√25

Kamu berubah. Menjadi lebih baik. Tetapi mengapa aku menjadi takut jika ini tak berlangsung lama?

Thalia Novenda

***

Thalia mengucek matanya beberapa kali untuk memperjelas indra pengelihatannya. Setelah sudah lebih jelas, matanya beralih menatap jam digital yang ada di nakas. Thalia buru-buru keluar dari pulau kapuknya yang nyaman ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Baik, kurang tiga puluh menit lagi dan gerbang sekolah akan ditutup. Ia masih mempunyai waktu sepuluh menit untuk mandi bebek, sepuluh menit untuk berganti pakaian, dan WHAT! Lima belas menit untuk berangkat sekolah! Itu sudah melampaui batas aman! Gadis itu segera berlari dari lantai dua menuju lantai dasar. Jantungnya terus bergemuruh hebat. Ruang makan sudah kosong. Fix! Pasti keluarga ini sudah memulai aktivitasnya masing-masing.

Thalia segera berlari menuju pintu dengan tergesa-gesa. Pasti jika begini Athan sudah berangkat. Lantas ia harus berangkat naik apa? Angkot? Bus? Hey, bukankah Thalia sudah bilang bahwa dia trauma menaiki kendaraan umum?

Damn it! What the Hell! Apa ia harus membolos saja hari ini?

"Singkirakan pikiran bodoh lo itu!" Tiba-tiba saja ada yang merangkul pundak Thalia lalu menggiring gadis itu untuk keluar dari rumah dan menaiki motor sport hitam milik lelaki itu.

Lelaki itu adalah Athan.

Thalia mengucek kembali matanya ketika Athan benar-benar di hadapannya. Tangannya mengulurkan helm berwarna pink kepada Thalia. Ha? Sejak kapan Athan mempunyai helm berwarna pink? Dan untuk apa coba dia memilikinya?

"Lo mau kita tambah telat? Cepet pake!" Athan mendorong helm itu di depan dada Thalia. Thalia yang masih melongo segera mengambil helm itu dan memakainya dengan tergesa.

"Pegangan, gue mau ngebut!"

Lagi-lagi Thalia hanya diam dan patuh. Tangannya dengan gemetar memeluk perut Athan yang sudah berlapis dengan jaket kulit berwarna cokelat. Lelaki itu segera menarik tangan Thalia agar menyentuh perutnya itu. Lalu dalam sepersekian detik, motor itu sudah membelah Kota Bandung yang sudah nampak padat merayap.

Thalia tersenyum di balik helm pink lucu itu. Pipinya ia sandarkan di punggung Athan yang gagah. Tangannya yang melingkar di perut Athan ia peluk dengan erat. Merasakan sedekat ini dengan Athan, seperti sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Bahkan sedari tadi jantungnya bergemuruh hebat. Jika dipikir-pikir kembali, ini adalah pertama kalinya Thalia menaiki motor sport milik Athan. Dulu, ketika Thalia meminta, Athan pasti menolak. Lelaki itu lebih memilih menaiki mobil maupun sepeda jika bersama Thalia.

Thalia dulu pernah bertanya pada Anggi. Katanya, motor itu memang sangat spesial bagi Athan, mengingat motor itu ia beli hasil dari menabungnya selama bertahun-tahun dan tentu saja tak sembarang orang diperbolehkannya duduk sebagai penumpang di motor itu.

"Harus jadi orang spesial Tha, buat duduk di motor Athan," kata Anggi waktu itu. Pikiran Thalia langsung menerawang jauh ke angkasa. Apakah kini dia sudah menjadi orang yang istimewa di hati seorang Athanabil Adventiano?

"Than, kita mau ke mana? Bukannya kalo mau ke sekolah kita belok kanan ya?"

Athan nampak menoleh ke spion motor. "Liat aja nanti."

Jadi, mereka akan membolos bersama begitu? Athan dan Thalia? Oh my god! Demi apapun ia yakin pasti pipinya sudah bersemu merah sekarang! Ternyata, motor sport hitam Athan sudah terparkir pada sebuah rumah sakit yang Thalia kenal betul. Rumah sakit yang beberapa waktu lalu ia kunjungi bersama Dave.

Thalia mengikuti Athan yang masuk ke dalam bangunan yang luas itu. Sebelum masuk lebih jauh, Thalia mencekal lengan Athan hingga lelaki itu berhenti.

"Athan, kita beli lolipop dulu yuk?"

Athan mengernyit bingung. Sebelum menanyakan alasannya, Thalia sudah menarik lengan Athan untuk keluar dari rumah sakit menuju supermarket terdekat. Tak hanya membeli lolipop, Thalia juga membeli susu rasa strawberry dan juga roti isi. Jumlahnya tak banyak, hanya sepuluh buah.

Thalia sudah selesai belanja dan tangan kanannya sudah memegangi kresek berwarna putih besar. Gadis itu tersenyum kala Athan mengambil alih kresek itu dan berjalan di depan. Lagi-lagi Athan memberikan perhatian-perhatian kecil yang tak terduga. Begitu menyenangkan.

"Eh Mbak Thalia! Mau—"

"Enggak Sus, saya diajak sama nih orang," ucap Thalia sembari merilik Athan yang hanya diam membisu di sampingnya ketika tiba-tiba saja seorang suster datang menyapa.

"Ini toh pangeran sing sering sampean ceritani? Ganteng yo Mbak!" puji Suster Diana dengan logat jawanya yang kental.

Thalia terkikik melihat reaksi bingung Athan. Lelaki itu menyerahkan bungkusan kresek besar kepada Thalia lalu bergegas pergi. Mungkin, percakapan tak bermutu itu akan berdurasi panjang. Lebih baik ia pergi saja.

"Eh, Athan tunggu! Jangan tinggalin Thalia dong! Ini Sus bagiin ke temen-temen lainnya ya. Thalia mau pergi dulu, pangerannya lagi ngambek keke." Thalia menyerahkan bungkus kresek besar kepada suster itu lalu pergi mengejar Athan.

"Matur suwun mbak! Tak doain langgeng mbak!" teriak Suster Diana dengan heboh. "Mbak Thalia emang debes lah!"

Thalia sudah menjajarkan langkah kaki Athan ketika lelaki itu menengok ke salah satu kaca pintu sebuah ruangan. Setelah memastikannya, Athan masuk diikuti Thalia.

Thalia nampak terkejut ketika Alisa, Debby, dan Reza sudah ada di sana. Sebenarnya ada apa ini? Mengapa mereka semua juga ada di sini? Apa cuma Thali saja yang tak tau apa-apa?

Mereka juga nampak masih mengenakan seragam sekolah, sama seperti dirinya dan Athan. Dapat dipastikan jika mereka sama membolosnya juga. Pandangan mereka cemas, khawatir, dan sendu, beradu jadi satu. Seolah masalah besar baru saja terjadi.

Thalia segera beralih memandang seseorang yang ada di dalam kasur pasien. Ia membelalak terkejut ketika Farell tengah terlelap di sana. Tangannya sudah dihiasi infus dan di hidungnya terdapat selang sebagai alat bantu pernafasan. Terdapat luka-luka memar di sekitar wajahnya dan perban yang melilit di kepalanya. Hey, ada apa dengan lelaki itu? Thalia membungkam mulutnya tak percaya. Ia beralih menatap teman-temannya dengan air yang menggenang di pelupuk matanya. "Farell kenapa?" ucapnya dengan terbata-bata.

Debby menuntun Thalia yang masih syok untuk duduk di sofa. "Farell kecelakaan Tha. Tadi pagi, waktu dia mau berangkat sekolah. Motornya ditabrak sama pengguna mobil yang remnya blong. Untung aja tenaga medis cepet-cepet dateng soalnya—"

"Soalnya apa?"

Alisa mengusap air matanya yang menetes. Ia menggenggam tangan Thalia dengan kuat. Mereka sama-sama menguatkan ketika dilanda keterpurukan melihat seseorang yang sudah menjadi sahabatnya itu tengah terbaring lemah di ranjang. "Soalnya tubuh Farell terpental jauh di trotoar," sambung Alisa dengan berat.

Air mata lolos jatuh di pelupuk matanya. Tak ia sangka Farell yang terus mengoceh dan menggodanya akan mengalami hal seperti ini. Lebih baik lelaki itu berbicara panjang lebar daripada harus diam membisu di sini. Ia tak tahan. Dan ia merindukannya.

Athan menarik Thalia untuk keluar dari ruangan Farell. Lelaki itu mengajak Thalia menuju kantin rumah sakit yang sedikit ramai. Gadis itu duduk sembari melamun. Bayangan tentang Farell yang tersenyum ceria menari-nari di pikirannya. Ia jadi menyesal. Ia menyesal pernah mengabaikan orang itu. Ia menyesal selalu beradu debat dengan Farell. Rasanya ia ingin mengulang waktu agar bisa berbaikan dengan lelaki itu.

"Farell belum mati, Tha." Athan sudah duduk di hadapan Thalia dengan sepiring nasi goreng dan juga teh hangat. "Makan, lo belum sarapan."

Thalia menatap nasi goreng itu dengan tak selera.

"Thalia nggak nafsu."

Athan berdecak. "Lo mau ikutan sakit, ha? Makan!"

Thalia mengambil sendok itu dengan malas. Athan yang geram langsung mengambil sendok itu dan menyuapkan nasi goreng ke mulut Thalia membuat gadis itu terkejut dengan reaksi yang Athan berikan. Bahkan Thalia masih terbengong dengan sendok yang menempel di bibir.

"Ayo makan!" Athan mendorong sendok itu ke bibir Thalia agar gadis itu mau membuka mulutnya.

Thalia tersenyum singkat lalu membuka mulutnya. Melihat Athan yang tengah menyuapinya membuat perasaan Thalia sedikit tenang. Entah mengapa pipinya terasa panas. Wajahnya pasti sekarang sudah merah padam bak tomat. Ia malu, senang, dan tentu saja bahagia. Terbesit sebuah pertanyaan di pikirannya. Mengapa Athan berubah seperti ini? Tadi pagi dia merangkulnya, menyuruhnya berpegangan, mengambil alih kresek, dan sekarang ia hendak menyuapinya? Apakah Athan salah obat atau bagaimana?

Tetapi pikiran itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja Thalia kembali teringat dengan Farell. Memang ketika seseorang yang sudah menjadi bagian hidup Thalia, gadis itu akan sangat bersedih jika terjadi apa-apa pada orang itu. Seolah Thalia akan merasakan hal yang sama dengan orang itu rasakan.

Thalia, Debby, Alisa, Farell, dan Reza dulunya memang tak saling mengenal dengan dekat. Mereka hanya sekedar mengetahui nama serta kelas masing-masing. Namun dengan kedatangan Athan sebagai sosok yang Thalia sukai, mampu menjadi penghubung jembatan persahabatan mereka. Thalia yang ceria mampu membuat mereka berbaur satu sama lain hingga makan bersama di meja yang sama di kantin sudahlah menjadi tradisi. Bahkan kepedulian serta rasa kasih sayang sebagai seorang sahabat itu mengalir dengan sendirinya walaupun mereka sering beradu debat dan cekcok sederhana.

"Kak Thalia!"

Gerakan tangan Athan terhenti ketika seorang anak yang duduk di kursi roda bersama ibunya datang. Thalia segera bangkit lalu menyalami wanita paruh baya tersebut.

"Lama nggak ketemu Tha," kata wanita itu sembari tersenyum. "Nih Rahma sering nanyain kamu mulu."

"Iya nih, Rahma kangen sama Kak Thalia. Udah sering nggak ke rumah sakit. Rahma kan jadi kesepian," ucap gadis yang bernama Rahma itu dengan raut sedih. Gadis itu memakai pakaian rumah sakit berwarna putih bermotif bunga-bunga kecil dengan wajah yang amat pucat, tubuhnya juga sangat kurus. Terdapat selang infus yang setia ada di tangannya. Kepalanya pun tak dihiasi mahkota, gadis itu botak. Entah mengapa mahkotanya itu hilang, Athan sama sekali tak tahu. Mungkin dia menjalani pengobatan keras di rumah sakit ini dan itu salah satu efeknya.

Tiba-tiba rasa prihatin menggelayuti hati Athan. Hatinya tiba-tiba trenyuh menatap gadis itu. Di usianya yang masih belia seharusnya ia bermain bersama anak-anak lain bukan mendekap di sini bak penjara. Seharusnya ia menikmati berbagai macam permen aneka rasa, bukannya obat-obatan pahit. Seharusnya ia berlarian di lapangan, bukannya duduk di kursi roda. Seharusnya ia tertawa bersama kawan-kawannya, bukan sendirian dengan infus yang setia menemani. Seharusnya itu yang ia dapat. Bukan keadaannya yanh seperti ini. Namun, Athan sadar. Gadis ini kuat. Lihat, ia masih bisa terus ceria di hadapan semua orang seolah dia adalah gadis sehat, bukan gadis yang tengah berperang melawan rasa sakitnya.

Athan nampak bersyukur. Ia bersyukur hari ini telah diberikan kesehatan oleh Tuhan. Benar kata orang. Sehat itu mahal harganya. Matanya terbuka lebar saat ini juga. Ke mana dirinya selama ini hingga mengabaikan hal-hal yang patut ia pedulikan? Ah, Athan jadi sosok kecil di hadapan gadis yang tengah tersenyum di atas semua penderitaannya ini.

Wanita itu segera mengusap pundak Rahma pelan. "Bagus dong Kak Thalia nggak di rumah sakit terus, berarti dia—"

Ucapan wanita itu terpotong ketika Thalia tiba-tiba menyelanya dengan memberikan lolipop yang ia beli tadi. "Lihat, Kakak punya apa?"

"Lolipop! Yeay! Kak Thalia selalu nepati janjinya!" Rahma memeluk lolipop itu dalam dekapannya. Bibirnya yang pucat tersenyum bahagia. Padahal itu hanyalah lolipop dan benda itu sudah membuat gadis ini bahagia. Memang bahagia sesederhana itu.

"Yaudah Tha, titip Rahma ya. Tante mau beli makanan dulu." Wanita itu pergi, menyisakan Rahma, Thalia, dan juga Athan yang masih memahami situasi yang sedang terjadi.

"Kak, ini siapa?" tanya Rahma kepada Athan.

Athan tersenyum lalu jongkok di hadapan Rahma.

"Kenalin, nama Kakak, Kak Athan."

Rahma membalas uluran tangan yang diulurkan Athan dengan senang. "Ini Pangeran Athan yang sering Kakak ceritain itu?"

Athan menoleh ke arah Thalia. "Dari tadi banyak yang bilang pangeran-pangeran. Maksudnya apa sih?"

Mandadak Thalia jadi gugup seketika. Ia terus menggaruk rambutnya yang tak gatal, tak tau harus menjawab apa.

"Gini lo Kak, setiap Rahma ketemu sama Kak Thalia, Kak Thalia selalu aja cerita tentang pangeran. Pangeran yang ada di mimpi Kak Thalia. Ceritanya seruu banget! Pangerannya cuek banget tapi Kak Thalia selalu berjuang buat dapetin pangeran itu. Apalagi Kak Thalia bilang kalo pangerannya jadi kenyataan dan kisah yang ada di mimpi Kak Thalia benar-benar terjadi." Rahma bercerita dengan antusias. Sesekali ia menatap Thalia yang tersenyum kikuk.

"Trus endingnya gimana?"

Rahma tiba-tiba menunduk. Ia bersedih, tak berani menatap manik mata Athan. "Endingnya... Endingnya..."

"Ayo Rahma. Mama udah selesai beli makanannya. Pamit dulu ke Kak Thalia sama pacarnya ini." Ibu Rahma datang, menghentikan ucapan Rahma yang menggantung di udara.

Apa? Pacar? Mendadak pipi Thalia bersemu merah. Ia malu dengan sebutan yang Ibu Rahma berikan. Apakah memang mereka sudah pantas menjadi sepasang kekasih? Ah yang benar saja...

"Kak Thalia, Kak Athan, Rahma pergi dulu ya! Sampai jumpa! Kak Thalia jangan lupa sering ke sini bawain Rahma lolipop ya!" Rahma tersenyum ceria kembali. Lalu kursi roda itu sudah didorong menjauh dari mereka.

Setelah Rahma menghilang di koridor rumah sakit, Athan menatap Thalia intens."Bukannya seharusnya gue dapat penjelasan?"

"Penjelasan apa?" Thalia segera berdiri. "Udah yuk, balik lagi ke kamarnya Farell." lalu ia lekas pergi dari kantin rumah sakit meninggalkan Athan sendirian dengan penuh tanda tanya.

Mengapa ia merasa gadis itu menyembunyikan sesuatu?



Ayo komen dan vote cerita Athan dan Thalia!

Jangan lupa rekomendasikan cerita ini sama temen-teman kalian ya!

Bagaimana dengan part ini? Athan udah gentleman belum? Keke

Nggak mau nanya next or no lah, soalnya komenannya next mulu. Bosen :( yang lebih seru ada nggk sih? Biar semangat gitu👉👈👉👈

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top