√24

Aku ingin mendekat, tapi aku tak bisa. Aku ingin menjauh, tapi aku tersiksa. Ketika ditanya, apa mau hati?

Athanabil Adventiano

***

Athan dan Thalia kini sudah ada di gazebo belakang rumah, Athan asik dengan rubiknya sedangkan Thalia menatap tak berminat dengan lembaran soal yang baru saja lelaki itu berikan.

Athan benar-benar menepati janji yang diberikan oleh Ratna untuk selalu membimbing Thalia dalam pelajaran sekolah. Hal itu ia lakukan karena ia tahu Thalia adalah tipikal orang pelupa sedangkan dia menyentuh buku saja rasanya seperti menyentuh air kobokan. Jijik. Jadi perlu ada bimbingan rutin agar nilai Thalia tetap stabil. Dan itu ia lakukan sekarang.

Thalia melirik Athan yang kini berkutat pada buku biologinya setelah beberapa saat mengotak-atik rubik kesayangannya itu dengan diam-diam, dibalik buku paket matematikanya. Athan nampak fokus membaca kalimat demi kalimat yang Thalia tak ingin tau. Bahkan ia lebih memilih menghafal lirik lagu korea daripada menghafal nama spesies yang ada di buku tersebut. Malas, tentu saja itu alasannya. Tak berminat, tambahannya. Lagipula siapa yang mau menghafal nama-nama aneh itu? Yang ada bikin pusing kepala saja.

"Fokus aja sama soal lo." Athan berucap tanpa melirik membuat Thalia salah tingkah. "Kenapa?" kini Athan melihat Thalia intens lalu beralih menatap soal gadis itu yang masih kosong mlompong.

"Lupa lagi?" tanya Athan sedikit geram. Thalia mengangguk pelan. Soal di hadapannya ini benar-benar luar biasa membuatnya pening. Athan menghembuskan nafasnya kasar. Ia kembali menjelaskan cara mengerjakan soal yang sudah tersaji sedangkan Thalia mendengarkan dengan saksama walaupun rasa kantuk sudah menggelayutinya. Suara Athan benar-benar bagaikan dongeng di telinganya sehingga Thalia sudah tak dapat menahan kantuknya!

"Paham?" Athan menatap Thalia dengan lembut.

"Kerjain lagi!"

Thalia mengetuk-ketukkan pensil mekaniknya dengan bosan. Lelaki di hadapannya ini sudah kembali berkutat dengan buku biologinya lagi hingga tak terasa matanya memejam perlahan-lahan setelah berusaha berjuang menahan kantuk. Thalia tertidur.

"Selesai?" Athan menutup bukunya serempak. Ia sedikit terkejut ketika gadis di hadapannya ini sudah tertidur pulas. Bahkan gadis itu mendengkur dengan
halus. Pasti Thalia lelah, pikirnya.

Athan meletakkan pensil mekanik yang mengapit diantara jari jemari lentik Thalia dengan pelan. Lalu dengan senyuman, Athan menggendong Thalia bak bridal style menuju kamarnya.

Lelaki itu sedikit tercengang ketika Thalia yang dulu menurutnya berat berubah menjadi ringan. Bahkan lengannya seolah tak merasakan ada beban di sana. Ini karena ototnya yang mulai kuat atau memang berat badan Thalia yang menurun? Apakah gadis ini melakukan program diet di saat proposi tubuhnya sudah termasuk dalam tubuh ideal?

Athan meletakkan tubuh Thalia dengan hati-hati. Tak terasa melihat Thalia yang begitu polos membuat bibirnya tertarik ke atas secara otomatis. Tak mau berlama-lama merasakan debaran di dadanya ini, Athan segera menyelimuti Thalia dengan lembut lalu bergegas pergi. Lelaki itu sudah duduk di depan kolam renang sembari membaca kata demi kata yang ada di soal matematika yang ia buat. Kini soal itu sudah tidak kosong lagi. Isinya pun bukan jawaban, melainkan curahan perasaan yang Thalia tulis. Ada gambar animasi Athan disana.

Athan! Athan jangan cakep-cakep dong. Entar Thalia tambah sayang hehe :)

Athan tersenyum membacanya lalu matanya kembali membaca komentar lainnya.

Satu-satu Thalia sayang Athan
Dua-dua Thalia sayang Athan
Tiga-tiga Athan benci Thalia
Satu dua tiga Thalia harus kuat!

Ayo Thalia! Semangat! Athan pasti bisa cair, hatinya :)

Athan kini nampak tak dapat menahan tawanya. Membaca tulisan Thalia yang begitu polos membuat dirinya terasa sangat kejam disini. Memang sih semua yang dilakukan Thalia selalu ia abaikan bahkan ia nampak tak peduli. Tapi apa benar itu yang lelaki itu rasakan? Yeah, who knows.

"Tumben ketawa? Ada apa nih?" Tiba-tiba saja Darwis datang lalu duduk di samping Athan. Pria itu baru saja pulang dari kerja lembur setelah beberapa hari pergi ke luar kota. Sibuk, memang. Namun, ia tak lupa kewajibannya sebagai seorang ayah untuk terus memantau tumbuh kembang putranya.

Athan menatap ayahnya dengan senyuman. "Papa udah pulang?"

"Seperti yang kamu lihat." Darwis menatap lembaran kertas yang ada di genggaman Athan. "Apa yang membuat anak Papa ini tertawa huh?"

"Oh, bukan apa-apa Pa," jawab Athan sesantai mungkin.

Kini Athan dan Darwis menatap langit malam yang kebetulan sangat cerah. Tak ada awan yang menutupi angkasa, hanya ada bintang dan bulan yang saling beradu memancarkan cahaya. Mempercantik langit yang sangat memikat hati para penikmatnya. Mereka berdua saling diam, menikmati angin malam yang semilir dengan pikiran masing-masing yang berkecamuk di kepala.

Athan bertanya kepada Darwis, tanpa menatapnya. Langit malam telah menghipnotis dirinya untuk tak berpaling. "Pa, may I ask you something?"

Darwis menatap Athan sedikit terkejut. Pasalnya anaknya itu tak pernah ijin jika ingin bertanya. Athan terlalu frontal dan to the point. Nampaknya kini ada pertanyaan penting yang akan ditanyakan anak semata wayangnya itu.

"Of course. You can ask me anything."

Athan nampak ragu ingin bertanya perihal ini. Masalahnya pertanyaan ini sangatlah sensitif bagi dirinya. Namun, jika tidak ditanyakan, ia pasti akan kebingungan setengah mati. Jika saja pertanyaan itu sudah ada di buku, ia pasti sudah mencarinya hingga ke pelosok perpustakaan. Tapi ini bukan pertanyaan sesepele itu. Ini masalah perasaan, dan hatilah yang mampu menjawabnya. Sedangkan Athan sendiri bingung, sebenarnya hati ini maunya apa?

"Jika Papa masih muda, Papa bakalan suka sama Thalia nggak?" tanya Athan dengan lirih. Ragu. Malu. Semua bercambur menjadi satu.

Darwis sontak menatap Athan lama, lalu tersenyum singkat sebelum akhirnya kembali menatap langit.

"Maybe yes. Maybe not."

"Why?"

"Soalnya Papa udah punya Mama kamu," kekeh pria itu sembari memandang wajah Athan yang kesal akan reaksi yang ia berikan.

"Papa, Athan serius!"

Darwis tersenyum. "Thalia itu seperti bintang Athan," Pria paruh baya itu menujuk ribuan bintang yang ada di atas langit malam. "Dari berjuta-juta bintang di langit, mereka memang nampak sama, tapi sebenarnya mereka berbeda. Coba lihat, di sana ada bintang yang lebih terang dan di sana juga ada yang lebih redup. Memang yang lebih terang jauh lebih menarik, Papa yakin bukan cuma kamu saja yang menyukainya. Pasti semua orang lebih suka bintang itu. Tapi coba deh kamu bayangin jadi bintang yang redup. Dia sudah berusaha keras memancarkan sinarnya. Tapi apa yang dia dapat? Cuma pengabaian. Tentu saja karena orang-orang lebih tertarik melihat bintang terang atau mungkin saja, orang-orang sudah terlalu nyaman untuk melihat bintang itu. Ia tak mau berpaling dan tak mau memberikan kesempatan bagi bintang lain untuk menunjukkan keistimewaannya. Athan, bintang redup itu karena apa sih?"

"Jaraknya terlalu jauh dari bumi?"

Darwis mengangguk. "Yap, kalau seandainya dia dekat?"

"Dia akan memancarkan cahaya yang sama."

Darwis lagi-lagi mengangguk. "Bintang redup pun juga bisa berubah menjadi bintang terang jika kamu mau memberikannya kesempatan. Mendoronganya untuk lebih maju dan lebih bersemangat."

Athan mengangguk setuju dengan pendapat Darwis. Lelaki itu masih memandangi kedua bintang antara bintang redup dan bintang terang.

"Athan, Papa tau masih ada bintang lain di hati kamu. Papa tau dan Papa mengerti. Tapi, cobalah memahami bagaimana menjadi Thalia. Dia sudah berusaha keras untuk membuat kamu bahagia. Bahkan Papa nggak yakin dia masih peduli dengan kebahagiaannya sendiri. Seseorang yang sudah jatuh cinta begitu dalam, pasti mengabaikan kebahagiaannya asal seseorang yang ia sayangi bahagia, walaupun dengan hal itu ia harus merasakan luka."

Darwis menatap anaknya yang masih diam, menyimak. "Kalau kamu tanya jika Papa masih muda bakalan suka sama Thalia atau enggak untuk memastikan perasaan kamu, Papa nggak bisa jawab. Itu semua tergantung pada diri kamu sendiri, bukan Papa, bukan pula orang lain. Papa yakin kamu sudah tau jawabannya apa. Hanya saja kamu masih ragu bukan?"

Athan mengangguk, mengiyakan. Benar, ia masih bimbang dengan perasaan ini. Sungguh hati ini ingin apa, Athan pun tak tau. Yang ia tau adalah ia takut. Takut jika harus merasakan penyesalan yang sama.

"Jalani saja. Hati kamu tau tempat untuk berlabuh. Ikuti alur yang sudah disiapkan Tuhan. Kamu hanya perlu mengikuti arus, seperti air." Darwis bangkit dari duduknya lalu menepuk bahu Athan pelan. "Pikirkan baik-baik. Jangan gegabah. Ini masalah hati, bukan soal matematika yang mudah kamu pecahkan hanya dengan rumus-rumus. Papa masuk dulu. Jangan lama-lama. Udaranya udah dingin."

Athan diam merenung. Setiap kata yang diucapkan Darwis menusuk hatinya tajam. Benar. Semua yang dikatakan papanya benar dan tepat sasaran. Athan mengacak rambutnya frustasi. Kenapa perasaannya rumit begini sih? Argh! Lelaki itu bangkit dari duduknya hingga kertas soal Thalia tiba-tiba terjatuh dari pangkuannya. Athan sedikit terkejut ketika di lembar selanjutnya terdapat tulisan Thalia yang sama sekali tak ia mengerti apa maksudnya.

Athan, kalau Thalia pergi, apa Athan akan rindu?

Memang gadis itu mau pergi kemana heh?


SANGAD PUITIS SEKALI BAPACK DARWIS INI YA SODARA-SODARA. PANTAS SAJA MAMA ANGGI KLEPEK2 HEHE

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top