√19

Tak masalah jika kau mengabaikanku. Tapi jika kau sudah bahagia dengan yang lain, aku menyerah. Sudah tak ada lagi kesempatanku untuk memperjuangkanmu.

Thalia Novenda

***

"Lo duluan ke kantin aja, Al. Gue mau ngajak Athan juga."

Jika Thalia sudah begitu, tak ada yang bisa Alisa dan Debby lakukan selain mengangguk. "Gue tunggu!" teriaknya sembari berjalan bersama Debby ke arah kantin.

Thalia bersenandung pelan dalam perjalanannya menuju kelas Athan sekaligus memikirkan tentang kejadian beberapa hari yang lalu ketika ia berada di apartemen Dave. Entah mengapa memikirkannya saja membuat pipi Thalia memerah hingga sebuah pertanyaan melesat di pikirannya. Apakah Athan sebegitu khawatirnya kepada dirinya hingga ia nekat pergi ke apartemen Dave?

Tak sampai dua menit gadis itu sudah sampai di ambang pintu kelas Athan, bersamaan dengan Farell dan Reza yang baru saja keluar kelas. "Hai cantik!" sapa Farell genit.

"Nggak usah panggil gue cantik! Gue udah tau kalo gue emang cantik!" jawab Thalia judes sembari berkacak pinggang.

"Galak bener sih Mbak, Bang Athan mana mau yang galak-galak kayak gini. Mending sama Bang Farell aja. Ya kan?" Farell menaik turunkan alisnya menggoda hingga membuat Reza segera menabok wajahnya karena merasa geli.

"Nyariin Athan? Dia tadi ke perpustakaan," ucap Reza disertai kekehan dari Farell ketika mendengar respon dari Thalia.

"Gue nggak nanya. Tapi thanks infonya. Bye!" Thalia segera berlari menuju lantai dasar bagian selatan, tempat di mana perpustakaan berada dengan hati yang berbunga-bunga. Bagaimana tidak berbunga-bunga jika ia akan bertemu dengan pangerannya?

Thalia menengok ke sana-ke mari sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Ini adalah kedua kali ia memasuki perpustakaan selama dua tahun ia berada di SMA Gajah Mada. Selain karena mengembalikan buku paket pinjaman sekolah, ia sama sekali tak pernah datang ke tempat ini. Melihat buku yang ada di meja belajarnya saja sudah membuatnya mual, apalagi berrak-rak buku ini? Pasti sudah membuatnya pingsan. Gadis itu tak pernah masalah dengan buku sejenis komik, novel, ataupun majalah. Tapi jika itu sudah menyangkut buku tentang ilmu pengetahuan, ensiklopedia, kamus, Thalia angkat tangan.

Thalia masuk dengan hati-hati setelah melihat poster bertuliskan "JANGAN BERISIK!" di belakang seorang penjaga perpustakaan. Lalu kaki kecilnya melangkah perlahan-lahan untuk menyusuri setiap rak yang ada. Siapa tahu, Athan berada di salah satunya hingga kakinya berhenti pada rak keempat.

Badannya seolah lemas dan jantungnya berdegup menggila. Thalia membeku di tempatnya dengan air mata yang tiba-tiba meluruh di kedua bola matanya.

Kini, tepat dihadapannya sudah ada Athan dan juga seorang gadis yang bersandar di rak. Kedua tangan Athan seolah mengunci tubuh gadis itu dan jarak mereka sungguh berdekatan. Yang Thalia lihat, mereka tengah bercumbu dengan mesra. Tangan Athan nampak seperti menutupi keduanya seolah lelaki itu sengaja menyembunyikannya agar tak ada yang melihatnya.

Thalia hendak pergi, namun salah satu tangannya menyenggol buku hingga buku itu terjatuh, menimbulkan suara yang membuat kedua insan tadi tersentak kaget. Athan yang mendengar suara kegaduhan segera menoleh kepada sumber suara.

"Thalia?"

Mendengar namanya disebut, Thalia hanya diam. Ia menyeka air matanya terlebih dahulu sebelum akhirnya berbalik menatap keduanya dengan senyum simpul. "Ha—hai Athan! Ha—hai Kak Kiren!" sapanya lalu segera berlari menjauhi area perpustakaan dengan air mata yang berjatuhan. Ia tak peduli jika sepanjang jalan hampir semua siswa menatapnya dengan aneh, berlari dengan cucuran air mata. Thalia hancur, sehancur-hancurnya. Namun, tanpa disangka, tubuhnya menabrak seseorang. Thalia hendak pergi, tetapi tangan orang itu mencengkeram bahu Thalia dengan kuat.

Thalia memberontak. Namun cengkeraman lelaki itu lebih kuat hingga mau tak mau Thalia menatap lelaki itu. "Dave?"

"Ikut gue," ajak Dave sembari membawa Thalia ke suatu tempat yang sepi agar gadis itu bisa meluapkan segala kekesalannya dengan leluasa.

"Nih." Dave menyodorkan sekotak susu rasa strawberry kepada Thalia. Gadis itu menerimanya dengan senang hati lalu meneguk habis susu kesukaannya itu dengan sekali teguk. Setelah habis, beberapa detik kemudian gadis itu kembali menangis, bahkan lebih keras karena memang di aula indoor ini sedang sepi.

"Lo kenapa Tha?"

Thalia menggeleng.

"Thalia, please cerita sama gue. Jangan bikin gue khawatir dong." Dave memegang tangan Thalia dengan lembut. "Kalau ada apa-apa tuh cerita, jangan dipendam sendirian."

Mendengar perkataan Dave yang sungguh tulus membuat Thalia itu mendongak menatap lelaki itu. Well... Mungkin Dave adalah orang yang tepat untuk ia jadikan tempat cucol dadakan kali ini. "A—Athan."

"Athan kenapa?"

"Gue tadi liat Athan ciuman sama Kak Kiren," terang Thalia dengan sesenggukan. Hatinya benar-benar perih ketika kejadian beberapa waktu lalu terulang kembali dibenaknya. Pupus sudah harapannya untuk mendapatkan Athan. Melihat lelaki itu mencintai orang lain semakin memperjelas hubungan keduanya yang memang tak diijinkan Tuhan untuk bersatu. Dan Thalia rasa, sudah waktunya ia untuk mundur perlahan-lahan. Menata kembali hatinya untuk melabuhkannya kembali kepada seseorang yang tepat.

Thalia yakin ia pasti bisa. Dulu saja, ketika ia putus dengan Dave, ia bisa move on bukan? Lantas mengapa melupakan Athan menjadi begitu masalah? Seharusnya lebih mudah mengingat tak banyak kenangan yang mereka buat selama ini.

Dave segera merengkuh tubuh mungil Thalia di dalam dekapannya. Ia membiarkan seragamnya basah dengan air mata gadis itu. Dave mengepalkan tangannya erat. Melihat Thalia menangis membuat hati Dave teriris perih. Mungkin setelah ini ia akan menemui Athan untuk memberinya pelajaran berharga.

***

"Than lo mau ke mana?" Kiren mencekal tangan Athan ketika lelaki itu hendak pergi dari area perpustakaan dengan wajah yang khawatir.

"Gue mau nyusul Thalia."

"Tapi Than, kita kan—" tiba-tiba saja Athan segera melepas cekalan tangan Kiren dengan agak kasar lalu segera berlari menjauhi gadis itu. Masalah olimpiade bisa ia urus nanti. Tetapi untuk masalah Thalia, sungguh tak bisa ia tunda-tunda lagi. Ia tak mau gadis itu berspekulasi yang tidak-tidak mengenai dirinya dan entah mengapa, hati Athan terasa bergemuruh hebat ketika Thalia memandang dirinya dengan perasaan terluka. Thalia pernah memandangnya seperti itu. Hanya saja apa yang liat di kedua mata gadis itu tadi sungguh gurat kecewa yang amat dalam.

Athan tahu apa yang dipikirkan Thalia. Pasti gadis itu sudah mengira hal yang tidak-tidak. Padahal sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pendapat dari segi sudut pandangnya saja dan itu amat salah.

Athan sendiri bahkan tak tahu alasan yang jelas mengapa ia begitu khawatir mengenai kesalahpahaman ini. Bukankah ia bisa bersikap cuek saja? Bukankah dengan begini Thalia bisa menyadari jika Athan sungguh membencinya? Tapi entah mengapa, Athan tak bisa. Rasanya ia ingin menjelaskan semuanya agar gadis itu percaya padanya dan tak pergi dari sisinya.

"Lo liat Thalia nggak?" tanya Athan pada salah satu siswa yang ada di pinggir lapangan.

"Kayaknya tadi ke sana deh." siswa itu menunjuk pada sebuah gedung. Tempat dimana aula indoor berada. Setelah mengucapkan terima kasih, Athan segera berlari menuju aula tersebut.

Benar saja. Pintu aula itu sedikit terbuka. Athan dapat mendengar sayup-sayup suara isakan tangis. Mungkin itu suara tangis Thalia, pikir Athan. Sungguh, hati Athan terasa sakit ketika mendengar hal itu. Rasanya seperti dihujam dengan ribuan batu tepat di hatinya. Tapi tunggu. Mengapa ia mendengar suara bariton seorang lelaki? Dan mengapa suara itu sungguh familiar di telinganya?

Dengan rasa penasaran yang dalam, Athan membuka pintu indoor itu dengan pelan.

Damn! Ini sungguh diluar dugaannya. Kini, di tengah tribun sudah ada Thalia yang ada di dalam dekapan seorang laki-laki dan Athan yakin betul jika itu adalah Dave. Gadis itu nampak nyaman dengan posisi sedemikian. Athan mengepalkan tangannya pada gagang pintu aula. Perasaan khawatir itu berubah menjadi kecewa. Ucapan maaf serta alasan yang sudah ia susun di dalam otaknya ia kubur dalam-dalam. Athan segera pergi dengan emosi yang memuncak. Ah, untuk apa ia mengkhawatirkan orang yang ternyata terlihat baik-baik saja bersama dengan orang lain?



Jangan lupa vote dan komen ya! Perasaan votenya dikit banget deh. Vote dikit gue mutung lanjutin nih cerita😈

Jangan lupa juga buat follow instagram @aameliars dan juga @duniamelia ya!

Kita lihat seberapa banyak vote part ini! Jika dikit, bakal nggak next :v

Btw the next chapter insyaallah bisa buat kamu baper! Ahahaha udah ada di kepala nih idenya. See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top