√18
Ketika aku sudah memiliki sandaran lain, kau datang. Saat aku benar-benar membutuhkanmu, kau pergi. Hey cinta tak selucu itu!
Thalia Novenda
***
"Tha? Lo gak papa?" tanya Dave khawatir karena setelah menyatakan perasaannya kepada Thalia, tiba-tiba saja gadis itu berlari ke toilet restoran dengan salah satu tangan yang menutupi mulutnya. Hanya dengan melihat tingkah Thalia, Dave yakin jika mual itu muncul lagi. Padahal Thalia baru saja memasukkan beberapa suap ramyeon ke dalam mulutnya.
Dave melihat wajah Thalia yang memucat dengan perasaan khawatir dan cemas. Lelaki itu segera beranjak dari kursi dan duduk di samping Thalia. Matanya menatap Thalia dengan pancaran rasa takut yang luar biasa. Dave amat sangat takut jika terjadi apa-apa pada gadis itu. Mungkin jika hal itu terjadi, Dave tak kan pernah memaafkan dirinya sendiri karena telah gagal menjaga gadis itu.
"Tha? Mual ya?"
Thalia menatap Dave lalu mengangguk lemah. Bahkan untuk sekedar berbicara saja rasanya Thalia sudah tak kuat. Badannya seolah remuk. Selain perutnya yang sakit, kepalanya juga pening. Rasanya ia ingin memuntahkan segala hal yang ada di dalam perutnya. Padahal yang Thalia tau, di perutnya sudah tidak berisi makanan apa-apa. Ramyeon yang baru saja ia makan pun terbuang sia-sia.
Dave segera beranjak dari kursinya menuju kasir. Setelah membayar makanan yang sama sekali belum disentuhnya itu, ia segera menggendong Thalia ala bridal style menuju parkiran mobil untuk segera pulang.
Dave mengemudikan mobilnya dengan sedikit tak fokus. Sesekali ia menengok ke bangku penumpang untuk memastikan bahwa Thalia dalam keadaan baik-baik saja. Mata gadis itu setia menutup. Mungkin ia lelah setelah mengalami kejadian yang berat hari ini.
"Tha, udah sampai." Dave membangunkan Thalia dengan pelan-pelan. Sebenarnya ia ingin menanyakan pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di pikirannya. Apalagi kalau bukan mengenai jawaban yang akan Thalia berikan. Namun Dave sadar diri. Tak mungkin jika ia menanyakan hal itu disaat Thalia dalam kondisi seperti ini. Dave tak boleh egois. Ia harus mementingkan kesehatan Thalia di atas apapun, bahkan pada perasaaannya.
Mata Thalia membuka perlahan. Seketika perasaan pusing itu menyerang kepalanya lagi. Rasanya seperti beban yang amat sangat berat sedang berada di kepalanya. Indra pengelihatannya pun juga memburam. Perlu mengedipkan beberapa kali untuk memperjelas objek yang akan ia lihat.
Thalia melihat Dave yang ada di sampingnya. Lalu matanya beralih ke jendela mobil dimana rumah Athan sudah nampak di depan mata. "Dave?" panggil Thalia dengan lirih.
"Iya?"
"Tolong kasih seblak ini ke Athan ya." Thalia menujuk kresek seblak yang ada di bangku belakang. Dave mangangguk mengiyakan.
"Ada lagi?"
"Gue nginep dulu sama lo ya?"
***
Athan sedari tadi mondar-mandir tak jelas dengan ponsel yang selalu ia bawa di tangan. Entah mengapa, perasaannya menjadi tak enak ketika Thalia tak memberitahukan ke mana ia akan pergi. Sebenarnya lelaki itu tau bahwa Thalia akan pergi dengan Dave. Tetapi mengapa Thalia tak mau jujur dan malah menyembunyikannya? Apa yang mereka berdua lakukan sangat rahasia hingga Thalia tak mau memberitahukannya?
Sebuah deringan tanda pesan masuk membuat Athan cepat-cepat membuka lockscreen ponselnya dan membuka pesan yang selama ini ia nantikan. Tentu saja pesan dari Thalia.
Kutu Laut
Athan, seblak lo ada di depan ya. Bilang ke Tante Anggi kalo hari ini gue nginep di rumah temen dulu. Athan nggak perlu khawatir, Thalia baik-baik aja. Athan cepet tidur, jangan mikirin Thalia mulu. Biarin Thalia aja yang mikirin Athan. Love you Athan :)
"Ck! Ni bocah ke mana sih?" Athan segera menuruni anak tangga menuju lantai dasar dengan kesal. Lalu ia mengambil kresek berisi seblak lalu membawanya masuk ke dalam rumah.
"Duh Athan, ngapain sih lo mikirin Thalia? Lo itu seharusnya nggak peduli sama kutu itu. Inget Than, Thalia itu bukan siapa-siapa lo. Dia cuma tetangga lo. Jadi, lo nggak boleh khawatirin dia. Oke?" gumam Athan sembari memindahkan seblak ke sebuah mangkuk besar lalu duduk di sofa televisi untuk menonton salah satu kartun favoritnya, Spongebob Squarepants. Sebuah kartun yang menceritakan tentang kehidupan si spons kuning bersama teman-temannya. Memang sih kartun itu sudah tak pantas lagi dilihat oleh kalangan remaja, apalagi Athan yang notabenenya lelaki cuek. Tapi lebih baik ia melihat kartun ini daripada melihat sinetron atau drama menye-menye yang membuat Athan mual, tak seperti ibunya yang menggilai acara seperti itu.
Athan berusaha fokus pada kartun itu sembari sesekali menyuapkan seblak ke dalam mulutnya. Namun, entah mengapa Athan merasa gusar. Pikirannya tak sepenuhnya tertuju pada tayangan itu. Pikirannya cenderung mengarah ke gadis yang beberapa menit lalu mengiriminya pesan. Bukannya tenang karena mendapat pesan itu, Athan justru lebih khawatir lagi.
"Ck! Kenapa gue nggak bisa berhenti mikirin lo sih Kutu!" Athan bangkit dari duduknya lalu menempelkan ponselnya di telinga dengan salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku. Matanya menatap jendela yang menyuguhkan taman rumah keluarga Darwis yang asri.
"Angkat bego!" gerutu Athan sebal ketika hanya ada nada sambung panggilan yang ia dengar, bukan suara cempreng milik Thalia.
Nomer yang ada tuju—
"Shit!" Athan mengotak-atik ponselnya lalu dalam beberapa saar benda itu sudah kembali ia tempelkan di telinganya.
"Halo? Ini siapa ya?"
"Athan."
"Eh Athan! Ngapain lo nelpon gue? Nggak biasanya—"
"Thalia ada di sana?"
"Thalia? Gue nggak salah denger? Ngapain lo nyariin Thalia? Oh atau jangan-jangan...Hmm gue kok mencium bau-bau lo mulai suka sama temen gue satu itu sih? Buruan deh jadian! Kasian temen gue tuh tiap hari—"
"Deb!"
"Woles mas. Thalia nggak di sini. Emang kenapa?"
Tut tut tut
Athan berdecak sebal. Lalu tangannya mulai menari-nari di ponsel untuk melakukan hal yang sama kepada teman Thalia satunya, Alisa. Namun, jawaban yang ia dapat tak jauh berbeda dari apa yang Debby katakan tadi bahwa Thalia tak berada di sana. Lantas Thalia menginap di rumah siapa jika bukan dengan kedua sahabatnya itu?
"Shit!" Athan mengumpat ketika pemikiran itu muncul. Ia segera mengambil jaket yang ada di kamarnya lalu beranjak keluar dengan mobilnya menuju tempat yang ia benci.
***
"Tha, nih air jahe. Diminum dulu." Dave menyodorkan segelas air jahe hangat untuk Thalia.
Dulu, ketika ia mual, ibunya selalu memberikan air jahe agar perutnya merasa enakan. Dan memang benar, setelah Dave meminum air hangat dengan irisan jahe itu, perut Dave mulai membaik dan Dave berharap jika Thalia akan seperti itu.
Thalia bangkit dari tidurnya untuk mengambil gelas yang Dave sodorkan. "Thanks ya Dave," tuturnya sembari meneguk air jahe itu.
"Gimana? Udah enakan?"
Thalia menyerahkan air jahe yang tersisa separuh itu kepada Dave lalu memposisikan tubuhnya lagi untuk tidur di kasur king size milik lelaki itu. Thalia mengangguk. "Lumayan."
"Yaudah. Lo istirahat dulu aja. Kalo ada apa-apa bilang. Gue ada di depan." Dave mangusap rambut Thalia dengan penuh kasih sayang kemudian keluar dari kamar, membiarkan Thalia istirahat sebentar.
Baru saja Dave mendudukkan pantatnya di sofa, sebuah ketukan membuat Dave mengernyit bingung. Siapa gerangan yang bertamu di saat hampir semua orang tak tau di mana Dave tinggal? Akhirnya setelah menimang-nimang cukup lama, Dave membuka pintu apartemennya. Ia begitu terkejut ketika Athan lah yang berdiri di sana. "Thalia mana?" tanya Athan to the point.
"Urusan lo apa ha?"
Athan sudah tak sabar lagi. Ia segera menerobos masuk ke dalam apartemen Dave, namun segera dicekal oleh Dave dengan kuat. "Thalia nggak ada di sini."
"Bacot!" Athan menghempaskan tangan Dave keras hingga cekalan itu terlepas begitu saja.
"Thalia! Lo di mana?" Athan berteriak sembari berkeliling ke tiap sudut apartemen. "Lo sembunyiin Thalia di mana woy!" kata Athan geram.
"Ck! Sebenarnya urusan lo apa sih? Nggak usah sok perhatian kalo ujung-ujungnya lo nyakitin hati Thalia terus!"
Dalam sepersekian detik, sebuah pukulan keras mendarat di pipi Dave dengan keras. Lelaki itu terhempas lantaran tak siap mendapat serangan yang begitu mendadak. Dave mengusap sudut bibirnya, disana darah segar mengalir hingga menimbulkan rasa yang perih. Lelaki itu tersenyum penuh arti. Kini ia tau satu hal jika emosi Athan dapat tersentil dengan begitu mudah.
Tak mau kalah seperti ini, Dave segera bangkit lalu membalas tonjokkan yang Athan berikan hingga lelaki itu ikut terhempas. Mereka berdua saling beradu tonjok satu sama lain demi memuaskan hasrat masing-masing.
"Apa-apaan ini!?" bentak Thalia ketika bunyi gaduh terdengar di indra pendengarannya.
Keduanya tak mengidahkan ucapan Thalia. Mereka masih sibuk menyalurkan emosi yang masih membara. Melihat hal itu tak membuat Thalia diam.
Dengan tubuh yang masih lemas, ia menerobos masuk untuk menengahi keduanya. Namun, tanpa disengaja tubuh Thalia malah ikut terpukul oleh salah satu serangan yang tak terduga, membuat tubuh mungil itu terjatuh di lantai.
Dave dan Athan segera menghentikan aksinya untuk berkelahi. Mereka secara bersamaan menghampiri Thalia yang tanpa sengaja terkena pukulan dari Athan. Siku Thalia memar lantaran terbentur dengan sudut meja dengan keras. Dave yang melihat itu segera berlari mencari kotak P3K yang tak jauh dari tempat kejadian.
"Lo nggak papa?" Athan menuntun Thalia agar duduk di sofa yang dijawab anggukan disertai senyuman tipis di bibir pucat Thalia. "Thalia baik-baik aja Athan."
Tak berselang lama, Dave datang membawa kotak obat-obatan yang segera disambar oleh Athan dengan cepat. "Woy! Gue yang bawa tai!" Dave merebut kapas beserta obat merah di tangan Athan.
"Gue yang ngobatin Thalia!" seru Athan tak terima.
"Gue!"
"Gue! Gue yang buat Thalia celaka. Jadi gue yang bakal tanggung jawab!"
"Gak! Gak bakal gue biarin lo modusin Thalia!"
"Eh siapa juga yang mau modusin si Kutu? Nggak guna!"
"Bagus! Minggir, gue mau ngobatin Thalia!"
Athan tak menyerah begitu saja. Ia segera merebut obat merah di tangan Dave. "Thalia itu tanggung jawab gue. Jadi gue yang bakalan ngobati dia."
"Ck! Nggak usah sok tanggung jawab lo! Thalia nggak butuh pertanggung jawaban dari cowok yang bisanya cuma nyakitin dia doang!"
"Apa maksud lo ha!"
Thalia yang mendengar perdebatan tak bermutu itu segera berteriak dengan sekuat tenaga. "Gue bisa ngobatin sendiri! Puas kalian?!"
Gadis itu segera mengambil obat merah dari tangan Athan lalu mengobai lukanya sendiri. Karena lukanya berada di siku, tentu saja Thalia merasa kesulitan. Namun, ia tak ingin meminta bantuan dari kedua lelaki itu. Yang ada malah mereka berantem lagi. Kan jadi berabe urusannya.
Thalia menuangkan obat merah dengan susah payah. Kedua lelaki itu dengan sigap hendak membantu, namun lagi-lagi Thalia mencegahnya. "Jangan mendekat! Gue bisa sendiri!" tegas Thalia dengan muka garangnya.
Athan dan Dave hanya bisa mendengus kasar ketika Thalia sudah seperti itu. Sebenarnya sedari tadi keduanya sudah gemas untuk mengobati gadis itu, namun Thalia terus saja menolaknya. "Tuh kan gue bisa!" seru Thalia senang ketika sikunya sudah berbalut dengan perban yang ia lilitkan sendiri.
Athan dan Dave tertawa. Bagaimana tidak? Thalia melilitkan perban dengan kapas yang sudah diberi obat merah dibagian luar. Bukankah seharusnya letaknya kapas dahulu baru perban. Bukan malah perban dulu baru kapas. Dasar Thalia!
"Kenapa? Salah ya?" tanya Thalia polos.
"Dasar bego!" ejek Athan.
"Lain kali gue ajarin deh Tha." Dave mengedipkan sebelah matanya, genit.
"Eh mata lo kenapa? Mau dicolok keris?" Athan berseru dengan geram, membuat Thalia tersenyum hangat.
"Eh Athan ngapain ke sini?" tanya Thalia sembari merapikan kotak P3Knya.
Athan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Disuruh nyokap pulang."
"Kan Thalia udah bilang mau nginep sini! Lo buta huruf apa gimana?" balas Dave sewot.
"Emang lo siapa berani-beraninya nginep berdua sama Thalia? Entar kalo Thalia hamil siapa mau—"
Huwekk!
Thalia segera berlari menuju kamar mandi dengan tangan yang memegang mulut. Athan yang melihat itu terkejut bukan main. Ia segera mencengkeram leher Dave dengan kuat. "Lo apain Thalia ha!"
Dave tersenyum miring. "Mungkin dia lagi ngandung anak gue."
"Shit! Bacot lo!" Athan memukul rahang Dave dengan keras lalu segera pergi menuju Thalia untuk segera membawa gadis itu pergi.
"Lo malah bikin Thalia kesakitan bego!" Dave berteriak ketika Thalia diseret dengan begitu kasarnya oleh Athan untuk keluar dari apartemen itu. Thalia pun hanya pasrah karena dirinya benar-benar lemah sekarang. Namun, Athan tetap bersikeras membawa gadis itu pulang. Ya, membawa gadisnya kembali padanya.
Tak butuh banyak waktu untuk keduanya sampai ke kediaman keluarga Darwis. Athan segera turun dari mobil tanpa mengucap sepatah kata pun untuk Thalia. Wajahnya menyimpan kekesalan yang luar biasa. Sedangkan Thalia tak begitu memusingkan hal itu karena antara pikiran dan tubuhnya tak mau sinkron.
Dengan hati-hati Thalia tertatih-tatih memasuki rumah itu. Yang pertama ia lihat adalah Anggi yang sedang membaca buku di ruang keluarga seperti biasanya.
"Tante ngapain nyuruh Thalia pulang?"
Anggi yang sedang membaca majalah menatap Thalia dengan raut heran. "Pulang? Emang kamu barusan dari mana?" tanya wanita itu heran.
Mamah Anggi lupa dibriefing sama Athan wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top