√16

Saat kamu luka dan menderita, aku ada menghapus luka. Saat aku jatuh dan tak berdaya, kamu lupa aku pernah ada.

Thalia Novenda

***

Thalia terus menggigit kukunya sembari mondar-mandir di depan pintu warna putih itu. Suara erangan itu tiba-tiba menghilang, tetapi perasaan cemas dari Thalia tak kunjung lenyap. Ditatapnya jam yang ada di ponsel yang ia bawa. Deretan angka yang menujukkan pukul setengah dua pagi membuat Thalia terbelalak seketika. Ia segera berjalan menuju kamarnya, namun suara erangan itu muncul lagi. Bahkan lebih keras.

Tak mau berpikir panjang lagi, Thalia berlari memasuki kamar Athan dengan perasaan yang cemas luar biasa. Hal pertama yang ia liat dari kamar lelaki itu adalah gelap. Hanya ada lampu tidur yang menyala di dekat kasur lelaki itu. Gadis itu berjalan cepat menuju kasur Athan. Ia nampak terkejut ketika lelaki itu terlihat gelisah dan nampak kesakitan dengan buliran-buliran keringat yang membasahi seluruh tubuhnya, namun matanya setia menutup. Dengan lembut ia menggoyang-goyangkan tubuh Athan pelan sembari memanggil nama Athan berulang-ulang. "Athan! Wake up!"

Lelaki itu masih terpejam tetapi terus bergerak gelisah.

"Athan! Athan! Bangun!" Thalia menggoyangkan tubuh Athan lebih keras hingga lelaki itu terbangun dengan nafas yang memburu dan tiba-tiba saja Athan memeluk tubuh mungil Thalia di dalam dekapannya. Dengan hal itu, Thalia dapat merasakan basahnya baju Athan karena keringat.

"Please, don't go. I need you... Lisa," ucap Athan lirih tepat di telinga Thalia. Gadis itu tercekat ketika sebuah nama yang asing terdengar di indra pendengarannya. Tiba-tiba saja hatinya mendadak ngilu dan sakit. Degup jantungnya juga menggila. Siapa Lisa? Mengapa Athan mengigau nama itu terus menerus?

Namun, Thalia sadar. Ia harus mengesampingkan perasaannya karena saat ini bukanlah saatnya untuk memikirkan hal itu. Yang terpenting sekarang adalah kondisi Athan yang jauh berbeda seperti biasanya. Lelaki ituu terlihat rapuh dan tak berdaya.

"Tenang Than, tenang. Nih minum dulu." Thalia menyodorkan segelas air putih yang ada di nakas yang langsung diteguk habis oleh lelaki itu. Thalia tersenyum senang ketika Athan mulai tenang.

"Sekarang lo tidur lagi, okay?" Thalia mendorong tubuh Athan dengan hati-hati menuju kasurnya kemudian menyelimutinya dengan penuh kasih sayang.

Setelah hatinya lega lantaran Athan sudah terlihat baik-baik saja, Thalia bangkit dari duduknya lalu pergi karena matanya sudah memberat. Dilihatnya jam di ponsel untuk kesekian kalinya. Pukul setengah empat. Baik, Thalia tak pernah tidur selarut ralat sepagi itu.

Ketika Thalia berjalan menjauhi ranjang, sebuah tangan mencekal lengannya. "Jangan pergi," ucap Athan dengan suara yang serak. Sontak saja Thalia terkejut bukan main dengan ucapan Athan barusan. Ia tidak sedang bermimpi kan? Athan meminta dirinya untuk tidak pergi meninggalkannya? Benarkah itu?

Senyum Thalia mengembang di luar batas. Bahkan rasanya raganya berada di angkasa, menari-nari dengan begitu indahnya.

"Jangan pergi, Lisa."

Deg!

Senyum lebarnya memudar seketika ketika bukan namanya yang Athan sebut. Lagi-lagi Athan menyebut nama Lisa, Lisa, dan Lisa. Hatinya kembali ngilu. Rasanya baru sebentar sekali Thalia merasakan apa itu bahagia. Baru beberapa detik yang lalu Thalia merasa di awan-awan. Namun pada detik ini juga Thalia jatuh sejatuh-jatuhnya dan baru sadar jika awan tak terlalu kuat untuk menapung tubuhnya. Thalia tertawa miris. Seharusnya ia tau jika Athan tak kan mungkin mengatakan hal semacam ini. Lantas mengapa ia masih terus berharap?

"Lisa?" panggil Athan.

Thalia menoleh. Menampilkan senyum palsunya yang sedang ia buat-buat di tengah hatinya yang sedang tak bersahabat. "Iya?"

"Temani aku."

Thalia kembali duduk di karpet beludru berwarna hitam yang ada di lantai, memandang wajah Athan dengan sayatan hati yang berusaha ia sembunyikan.

"You must sleep, Athan. I'm with you. Don't be afraid."

Athan mengangguk patuh layaknya seorang anak kecil yang patuh pada ibunya. Matanya kembali tertutup dengan pulas. Thalia tersenyum memandangi wajah Athan sedekat ini. Setidaknya ia bisa sedekat ini dengan Athan walaupun yang lelaki itu tau bukan nama Thalia yang ada di sisinya, melainkan sosok Lisa yang ada dibayangan lelaki itu.

Thalia terus memandangi lelaki itu hingga matanya tak mau terpejam. Gadis itu takut. Takut jika ini adalah waktu terakhirnya bisa memandangi wajah Athan sedekat ini.

Goodnight my prince charming. I love you although you hate me so much.

***

Athan menguap lebar-lebar ketika sinar matahari masuk dari celah-celah tirai putihnya. Lelaki itu segera baranjak dari kasurnya. Namun kakinya seolah sedang menginjak sesuatu. Ha? Ponsel? Ponsel siapa yang ada di karpetnya ini?

Dengan penasaran, Athan menekan tombol berbentuk lingkaran sebagai tombol power yang ada di bagian bawah ponsel. Dan yang pertama kali dilihatnya adalah wallpaper sebuah foto siluet seseorang perempuan di bawah langit-langit orange yang begitu indah.

Athan terdiam sejenak lalu ia berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan memori tentang kejadian semalam. Matanya nyaris keluar karena betapa terkejutnya dia akan suatu memori yang sekelebat masuk tanpa diminta itu.

Lelaki itu membuka pintu kamar dengan tergesa-gesa sehingga membuat sebuah benda yang ada di pintu terjatuh. Tanpa basa-basi, Athan memungutnya. Ternyata benda itu adalah sebuah kertas yang sudah terisi penuh dengan jawaban. Athan tau itu milik Thalia. Dan Athan semakin yakin jika ponsel yang sedang ia bawa adalah ponsel gadis itu.

Debby keluar dari kamar dengan mata yang setengah terpejam. Ia hendak menuju lantai satu untuk minum karena tenggorokannya sangat haus sekali. Namun, ketika ia hendak menuju tangga, Athan mencegahnya dengan pertanyaan yang membuat mata Debby terbuka sempurna.

"Gue nggak salah denger kan kalo lo nyariin Thalia?" tanya Debby heran mengingat begitu langkanya lelaki di hadapannya ini mau berurusan dengan Thalia.

"Hmm. Di mana dia?"

Debby mengangkat dagunya mengarah ke pintu kamar. "Dia masih tidur. Dari tadi nggak bangun-bangun mungkin dia kecapekan."

Athan mengerti betul mengapa gadis itu lelah seperti ini. Bagaimana bisa seorang manusia tidak lelah jika harus mengerjakan soal begitu sulitnya lalu menunggu seseorang itu hingga tertidur di tengah larut malam? Bahkan Athan yakin itu bukan larut malam lagi. Mengingat ia selalu saja mengalami mimpi buruk di pagi-pagi buta. Seolah pada jam itu sudah disetel secara otomatis untuk lelaki itu menerima hukumannya.

Athan kembali ke kamarnya, lalu berganti baju untuk bersepeda. Kegiatan rutin yang selalu ia lakukan di Hari Minggu sekaligus menyegarkan pikirannya yang sedang awut-awutan akibat kejadian semalam.

Badan Thalia seolah remuk. Punggungnya nyeri bukan main, kepalanya juga berdenyut sakit entah karena apa. Mungkin karena semalaman menemani Athan membuat tubuhnya sangat lelah. Setelah merasa sedikit enakan sehabis tidur, ia segera berdiri dari kasurnya dan melihat jika kamar Athan sudah kosong. Bagus. Lelaki itu sudah bangun.

Thalia segera berjalan tertatih-tatih dengan tangan yang memegangi kepalanya. Rasa pusing mendera bukan main. Thalia meraih segala benda sebagai tumpuan hingga ia sampai di sebuah almari. Dengan cekatan ia menyusupkan tangannya dari balik tumpukan baju untuk mencari sebuah botol kecil berisi puluhan pil beraneka warna. Benda terkutuk yang selalu menemani Thalia selama ini.

Gadis  itu segera menuju kamar mandi yang tak jauh dari almari. Ia terus mengumpat karena botol obat itu tak mau terbuka. Entah karena memang sulit atau tenaga Thalia yang sudah habis terkuras.

"Kumohon Ya Tuhan..." rintih Thalia dengan kesakitan dan juga air mata yang menetes deras karena sudah tak tahan dengan kepala yang sudah berdenyutan ini.

Beberapa detik kemudian, tutup botol itu terbuka, Thalia tersenyum bersyukur lalu diminumnya benda-benda itu dengan air tegukan dari keran yang sengaja ia nyalakan dari tadi agar orang-orang dari balik pintu tak bisa mendengar apa yang ia lakukan sekarang.

Thalia menggap-menggap ketika pil demi pil masuk ke dalam tubuhnya. Hatinya nyeri dan dadanya sesak bukan main. Ia lelah. Sangat lelah dengan kondisinya saat ini. Sampai kapan dirinya harus merasakan siksaan seperti ini Tuhan? Ia benar-benar tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi...

Keadaan Thalia jauh lebih baik setelah meminum obat-obatan yang selama ini menjadi teman hidupnya. Sebenarnya Thalia sudah lelah. Amat sangat lelah dengan hidup ini. Ia pernah putus asa dan meminta Tuhan untuk mencabut nyawanya. Ia hanya tak ingin melihat kedua orang tuanya bersedih, ia tak ingin menjadi beban untuk mereka. Dan ketika itu terjadi, ia ingin meminta kepada Tuhan agar ibunya diberikan anak lagi. Tentu saja anak yang sehat dan membanggakan, bukan seperti dirinya.

Thalia tahu, mendoakan hal seperti itu tidak baik. Namun, mengingat kondisinya yang seperti ini, Thalia menyerah. Namun, ketika Thalia benar-benar berada di titik terrendah, Athan datang. Lelaki itu datang seperti pangeran yang selalu ada di dalam mimpinya. Membangkitkan semangat baru dan harapan baru untuknya agar dapat menjalani hidup dengan ikhlas dan tabah walaupun lelaki itu selalu saja membuang muka ketika bertemu, mengucapkan kata-kata yang pedas, dan juga berperilaku seolah nama Thalia tak pernah ada di dunia ini. Sedih? Jelas. Tetapi, setidaknya ia masih bisa melihat Athan bahagia, tertawa, meskipun bukan dirinya yang menjadi penyebab tawa itu.

Thalia sedang makan bersama keluarga Darwis. Debby dan Alisa sudah pulang sedari tadi karena ada urusan keluarga yang mendadak. Di samping Thalia, sudah ada Athan yang senantiasa diam dan tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga acara makan siang pun berakhir.

"Ini hp lo?" Athan menyodorkan ponsel ke arah Thalia. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban.

"Pantesan Thalia cariin nggak ada. Thanks ya Than!"

"Hmm. Soal malam itu, gue harap lo nggak buka mulut ke siapa-siapa. Sampai lo buka mulut, lo bakal tau akibatnya!"

Thalia berlagak hormat kepada Athan layaknya prajurit kepada komandan. "Siap bosku!"

Athan pergi menuju lantai dua, bertepatan dengan panggilan masuk dari ponsel Thalia. Panggilan dari Dave.

"Lo kemana aja sih kok nggak diangkat-angkat dari tadi?"

"Sabar elah! Ngapain sih marah-marah mulu? PMS?"

"Keluar sekarang! Gue udah di depan rumah lo. Lumutin nih gue Tha nungguin lo. Nungguin lo itu ibarat nunggu siput balapan. Lama!"

"Trus siapa juga yang nyuruh lo nungguin gue, Dave? Nggak ada!"

"Ck! Gue tau lo pasti lupa. Coba liat sekarang tanggal berapa."

Thalia melihat kalender di ponselnya lalu membelalak terkejut. "Ya ampun gue lupa!"

"Tuh kan! Cepetan! Jadwal lo jam 11 kan? Kita masih punya waktu 15 menit buat sampai ke sana."

"Yaya, bentar. Gue ambil dompet dulu."

Thalia mematikan teleponnya dan bergegas menuju kamarnya. Langkah kakinya terhenti ketika tepat di ujung tangga sudah ada seseorang yang selama ini diam-diam menguping pembicaraan antara dirinya dengan Dave.

Dia Athan.

"Mau kemana lo?" tanya Athan dingin.


Nanya baek2 kenapee bangg? Gengsii? Wkwkwk hadeh hadeh Athan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top