√15
You were my YES, but I was only your MAYBE.
Thalia Novenda
***
Thalia, Debby, dan juga Alisa terbaring di kasur besar milik Thalia setelah mereka menghabiskan enam cup es kepal dan dua kresek odading serta tahu genjrot yang benar-benar membuat lidah mereka terasa begitu menari-nari. Bagaimana tidak? Parutan es dengan kombinasi dari milo bubuk dan juga susu cokelat kental manis serta taburan topping oreo, wafer, serta Koko Krunch ini sungguh lumer di mulut. Sensasi dingin yang menyegarkan pas sekali dimakan ketika siang hari.
Mereka bertiga sibuk menatap dinding kamar dengan pikirannya masing-masing. Thalia yang memikirkan tentang kebersamaan Athan dengan Kiren tadi, Debby yang memikirkan hutang uang kas yang menumpuk bak gunung, dan Alisa yang memikirkan jodoh di masa depan tiba-tiba saja harus buyar ketika pintu kamar itu terbuka, spontan saja mereka bertiga melirik dan buru-buru bangkit dari tidurnya ketika Athan sudah ada di ambang pintu dengan salah satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku.
Mereka bertiga melongo dengan bibir terbuka. Bagaimana tidak? Ini adalah kali pertamanya Alisa dan Debby melihat lelaki itu tanpa memakai balutan seragam sekolah. Lengan ototnya yang tercetak jelas pada kaos lengan pendek yang ia gunakan membuat keduanya ngiler seketika. It's very hot and sexy!
Thalia segera merapikan rambutnya yang acak-acakan dengan cepat. "Athan ngapain ke sini?"
"Disuruh nyokap. Cepet berkemas!" ucap Athan lalu pergi tanpa kata lagi.
Spontan saja ketika lelaki itu pergi, teriakan kencang keluar dari mulut Alisa dan Debby. Mereka berteriak bak orang kesurupan sehingga membuat Thalia harus memasukkan tahu genjrot ke dalam mulut mereka. Mampus! Rasain tuh cabe!
"Anjir Tha pedes! Minum mana minum? Thaaa minum!" Alisa mondar-mandir tak jelas dengan tangan yang dikibaskan di depan mulut karena dirinya memang tak suka sekali dengan rasa pedas. Sedangkan Debby malah menikmatinya karena memang tahu genjrot adalah makanan favoritnya.
"Sumpah Tha! Athan kok makin cogan sih? Gue iri deh lo bisa tetanggaan, bisa cuci mata gitu tiap hari. Apalagi ototnya itu loh beuhh pasti empuk-empuk gimana gitu!" Debby nyerocos sambil sesekali memasukkan tahu genjrot ke dalam mulutnya dengan rakus. "Btw gue mau dong jadi tetangganya Athan. Jadi ayang beb nya juga boleh tuh."
Thalia mendelik tajam. "Enak aja! Athan punya gue!"
"Emang Athan mau?" tanya Alisa meledek.
"Mau lah! Secara gue kan cantik, imut, ceria, rajin menabung, nggak sombong."
"Nah gitu dong jangan insecure tapi harus tetap bersyukur," kata Alisa menepuk pundak Thalia dengan senang. Memang kekuatan odading dan es kepa sungguh luar biasa bisa membuat tingkat kepercayadirian Thalia meningkat.
"Eh Tha tadi dia nyuruh lo berkemas? Emang lo mau ke mana?" Debby bertanya dengan serius.
Bibir Thalia mengangkat ke atas membentuk sebuah lengkungan yang menawan atau malah menjijikan.
"Bangsat! Ngapa dah lo senyum-senyum gitu? Najisin tau nggak!" Debby mendorong muka Thalia ke belakang dengan jijik sedangkan Thalia hanya mencibir.
"Sini-sini, gue kasih tau." Thalia menginstrupsi kedua sahabatnya untuk mendekat. "Gue... Bakal..."
"Bakal apa, njing?"
"Ck! Sabar dong!"
"Gue bakal serumah sama Athan!" ucap Thalia lirih.
"Oohh..." Debby dan Alisa beroh ria. Lantas
beberapa detik kemudian mata mereka membelalak bersamaan. "APA! LO SERUMAH BARENG SUAMI GUE!?"
***
Thalia mendelik tajam ketika kedua sahabatnya ini bersikeras untuk berkunjung ke rumah Athan. Bahkan mereka rela mengeluarkan uang saku selama satu bulan untuk menraktir Thalia sebagai uang suap agar gadis itu mau membawa mereka ke rumah yang sangat besar ini. Padahal dulu aja mereka tak mau saat dengan teganya menyuruh Thalia belajar bersama lelaki itu. Aneh.
Thalia mendengus kesal ketika di seberang sofa, kedua sahabatnya tengah mengobrol ria bersama Anggi. Nampaknya wanita itu juga merasa senang dengan kedatangan tamu yang tak diundang itu.
"Ehem. Tante kayaknya mereka harus pulang deh. Tuh kan, udah jam lima. Sono balik!" Thalia menatap Debby dan Alisa tajam. Namun, kedua sahabatnya itu pura-pura tak peka dan malah mengacuhkannya.
"Gimana kalo kalian nginep sini aja sekalian. Lagian besok kan libur."
Mati!
"Tante mereka nggak—" ucapan Thalia terpotong, kalah dengan ucapan Debby dan Alisa yang sangat antusias untuk mengatakan kata 'mau' sekeras-kerasnya. Hey kapan lagi bisa menginap di rumah seorang Athan? Pasti jika diceritakan mereka yakin akan banyak yang iri. Apalagi rumahnya sangat instagramable, cocok dibuat foto-foto ala selebgram.
Debby dan Alisa segera menelpon orang tua masing-masing. Sungguh mulus Tuhan memberikan jalan untuk mereka menginap ketika orang tua mereka mengijinkan mereka menginap karena mereka berbohong akan menginap di rumah Thalia. Tentu saja diijinkan mengingat mereka sudah biasa melakukan hal itu.
Thalia memijit pelipisnya pelan. Rencana untuk berduaan dengan Athan yang sudah ia susun matang-matang akan gagal total dengan begini caranya. Huft!
Debby dan Alisa beranjak dari sofa ketika Anggi akan pergi ke salah satu rumah temannya. Mereka nampak kagum dengan wanita itu lantaran diusianya yang sudah menginjak kepala empat, wanita itu sangat stylish dan fashionable. Gaya bicaranya pun sangat kekinian layaknya seorang remaja sehingga mereka sangat nyaman berbincang-bincang bersamanya. Apalagi Anggi menyuruh mereka untuk memperlakukannya sebagai teman, bukan sebagai seorang orang tua.
Mereka sempat tak percaya jika Anggi adalah ibu dari Athan. Mengingat jika sifat mereka yang sangat bertolak belakang. Anggi yang ramah dengan Athan yang dingin. Sungguh nampak seperti bukan ibu dan anak. Bagaimana bisa Athan nampak dingin itu ternyata memiliki ibu yang cerewet dan penuh kasih sayang? Sebenarnya apa yang membuat lelaki itu bersikap demikian?
Thalia melirik kamar di sampingnya yang tertutup rapat. Lalu ia mendesah pelan. Sudah hampir tiga jam lelaki itu tak keluar dari singgasananya. Apa yang dilakukan lelaki itu di kamar? Mengapa sangat betah sekali?
"Dor!" Debby mengejutkan Thalia dengan menyerukan suara yang lantang. "Ketaun kan lo ngintipin Athan! Wah wah wah kalo kalian berdua di satu rumah yang sama tanpa Tante Anggi nih, bisa bahaya!"
Thalia berdecak. "Trus maksudnya kedatangan kalian di sini membantu gitu?"
"So pasti. Btw Tha, tuh cowok kok nggak keluar-keluar ya dari tadi? Lo nggak khawatir gitu? Siapa tau dia udah mati di sana!"
Thalia mendelik menatap Debby yang sok serius. "Hust! Ngawur lo! Kalo dia mati gue sama siapa woy!"
"Guys! Filmnya mau mulai! Buruan!" Alisa memekik dari dalam kamar sehingga kedua gadis itu segera mengenyahkan segala pikiran buruk dari kepalanya lalu mengambil posisi masing-masing di sofa. Thalia berada di tengah, diapit oleh Debby dan Alisa.
Di hadapan mereka sudah ada layar televisi 20 inchi yang sedang menayangkan sebuah film horror barat Insidious The Last Key. Sebenarnya Thalia tak mau melihat film horror, namun lagi-lagi kedua sahabatnya itu memaksanya terus menerus. Sehingga Thalia hanya pasrah dan menutupi wajahnya dengan bantal ketika tokoh hantu mulai bermunculan.
Lampu kamar di sana juga sengaja dimatikan untuk mendramatisir jalannya film. Thalia memegang mangkuk besar berisi pop corn yang sudah dipersiapkan sebelum bioskop dadakan ini dimulai.
"Aaaaa!" Ketiganya menjerit kencang ketika hantu muncul secara tiba-tiba. Namun beberapa saat kemudian, suara mendadak hening, yang terdengar hanyalah suara dari dialog antar tokoh di film.
Tok tok tok!
Terdengar suara pintu yang diketuk. Thalia, Debby, dan Alisa saling berpandangan dengan ngeri. Mereka tak mau beranjak dari posisi walaupu satu senti. Mendadak tubuh mereka merinding dan degup jantung mereka menggila.
Tok tok tok!
Bunyi pintu itu terdengar lagi. Mereka saling berpelukan dengan doa-doa yang mereka panjatkan dalam hati. Raut wajah mereka ketara sekali jika mereka sedang takut. Amat sangat takut.
Mendadak bukan lagi ketukan yang mereka dengar. Melainkan suara gagang pintu yang terus menerus diayunkan, memaksa untuk masuk. Untung saja tadi Thalia sudah menguncinya.
"Buka gih Tha!" bisik Alisa takut.
"Kenapa harus gue? Lo deh Deb!"
"Gue takut banget anjir! Entar kalo dia—"
"Hust! Jangan disebut!" Thalia dan Alisa berkata bersamaan.
"Kita hom pim pah aja deh. Yang kalah buka pintu. Deal?" Alisa mengeluarkan satu tangannya dari balik selimut, diikuti oleh Thalia dan Debby.
"Hom pim pah alaium gambreng. Mak Ijah pakai baju rombeng."
Percobaan pertama gagal karena ketiganya menampilkan telapak tangan yang sama. Percobaan kedua dimulai, begitupun ketiga. Hasilnya tetap sama. Pada percobaan keempat, Thalia mengumpat ketika dirinya lah yang menampilkan telapak tangan yang berbeda dari kedua sahabatnya itu.
"Cepet Tha! Siapa tau maling!" Debby menyuruh Thalia bergegas padahal ia tau jika diam-diam mereka tersenyum lega karena bukan dirinya lah yang menjadi partisipan uji nyali kali ini. Memang hari ini hari sialnya Thalia!
Thalia berdecak pelan lalu diambilnya guling sebagai alat perlindungan diri. Dengan keadaan yang remang-remang, Thalia membuka pintu kamar dengan hati yang berdebar tak karuan. Ia takut jika dibalik pintu adalah makhluk halus atau sejenisnya yang sama sekali tak ingin Thalia temui sepanjang hidupnya.
Gadis itu memutar kunci dengan tangan gemetar. Bunyi klik menandakan bahwa pintu sudah dalam keadaan tak terkunci. Thalia maju selangkah, lalu memejamkan matanya. Diayunkannya guling itu kuat-kuat kepada siapapun yang ada di hadapannya saat ini dengan kuat, tanpa ampun.
"Woy! Lo kesurupan?"
Thalia tau persis suara siapa itu. Suara bariton yang sangat dingin namun tetap merdu di telinga Thalia. Gadis itu masih terpejam, berpikir keras bahwa jika dia benar-benar hantu, tak mungkin kan bisa berbicara dan mengaduh kesakitan seperti ini? Akhirnya dengan hati-hati, Thalia membuka matanya secara perlahan. "Athan?"
"Iya ini gue. Lo pikir gue maling apa!"
Thalia spontan mendekati Athan, lalu meraba-raba tubuhnya dengan khawatir. "Athan nggak papa? Nggak ada yang luka kan?"
Athan mundur dari posisinya lalu menghempaskan tangan Thalia agak kasar. "Guling lo nggak bikin gue luka bego! Nih, hari ini jadwal lo belajar. Kalo udah bawa ke gue." Athan menyerahkan beberapa lembar kertas ke arah Thalia.
"Hari ini? Astaga Athan, besok kan libur! Masa iya belajar?"
"Terserah lo sih. Gue cuma melaksanakan amanat dari nyokap lo." Athan berbalik pergi. Namun beberapa langkah kemudian ia berbalik menatap Thalia yang masih mematung di depan pintu.
"Jangan buat suara sedikitpun atau kalian bakal tau akibatnya!"
Dan gagal lah mereka melanjutkan menonton filmnya.
Thalia menggigit pensil mekaniknya terus menerus. Ia berusaha berpikir pada deretan angka yang ada di hadapannya ini. Tak lama kemudian, ia menatap kedua sahabatnya yang sudah pergi ke alam lain.
Sial! Bagaimana bisa Thalia mengerjakan ini tanpa bantuan mereka? Teman macam apa itu ha? Dasar.
Akhirnya Thalia mengendap-endap menuju kamar yang ada di sebelahnya. Sunyi senyap, tanpa ada suara. Dengan perasaan takut, Thalia mengetuk pintu itu pelan. "Athan! Psst, Athan!" panggil gadis itu lirih.
"Hmm?"
"Nomer satu gimana?"
Athan merebut kertas yang Thalia sodorkan. "Udah satu jam dan lo belum ngerjain apa-apa?"
Thalia hanya nyengir tak bersalah. Athan menghembuskan nafasnya lelah. "Ck! Emang dasarnya udah bego!" ujar Athan kesal namun lelaki itu tetap berusaha sabar untuk menerangkan materi itu kepada Thalia.
"Paham?"
Thalia mengangguk semangat. "Ini mah gampang banget. Thanks—" belum saja ucapan Thalia selesai pintu kamar berwarna putih itu sudah menutup dengan keras.
Thalia mengerjakan soal nomer satu sesuai dengan penjelasan dari lelaki tadi barusan. Namun, di tengah-tengah pengerjaannya, ia lupa harus mengambil langkah selanjutnya.
"Ini tadi x nya diapain ya? Kok gue lupa sih?" Thalia bergumam tak jelas. "Aha! Tanya Athan lagi aja. Sekalian modus keke." Thalia berjalan menuju kamar sebelahnya lagi lalu mengetuknya pelan.
Athan keluar dengan wajah kesal. "Apa lagi?"
"Habis ini x nya diapain Than?"
Athan mengusap wajahnya gusar. "Gue barusan nerangin ini lima menit yang lalu Thalia, dan bisa-bisanya lo lupa?"
"Ya, kan tadi itu anu..."
Athan menarik kertas dan pensil di genggaman Thalia lalu menuliskan langkah-langkah pengerjaan serinci mungkin. "Jangan ganggu gue lagi!"
Thalia tersenyum puas ketika tulisan Athan berada di kertasnya. Buru-buru ia kembali ke kamar dan memotret tulisan tangan itu untuk dijadikan pajangan.
Sekarang nulisnya di kertas soal ya Than, esok di buku nikah kekeke
Thalia mengerjakan lagi soal matematika itu dengan semangat yang membara. Namun, ketika ia menemukan soal yang sulit, ia segera browsing atau membuka buku catatan milik Alisa. Thalia tak mau jika ia menyusahkan Athan dan menganggu waktu tidurnya lagi sekalian sekali-kali membuat lelaki itu terkesan.
"Akhirnyaaaa!" Thalia merenggangkan tangannya ke udara dengan menguap lebar bak kuda nil. Lalu ia menatap jam weker yang ada di nakas. Matanya membelalak terkejut ketika jam sudah menunjukkan angka satu. Astaga, artinya ia sudah mengerjakan lima soal dalam waktu 5 jam! Wah, itu merupakan sebuah rekor di hidup Thalia.
Thalia mengendap-endap di depan kamar Athan, lalu ia menggantungkan post it dan juga kertas berisi jawaban di depan pintu kamar Athan. Gadis itu tak berhenti tersenyum puas menatap soal yang sudah terisi jawaban tersebut.
Setelah puas memandanginya, Thalia berbalik untuk menuju kamarnya. Namun sebuah suara menghentikannya. Suara erangan penuh kesakitan itu berasal dari kamar milik Athan. Thalia bingung haruskah ia masuk untuk mengeceknya atau diabaikan begitu saja?
Bagaimana jika ternyata di dalam Athan sedang sakit? Tapi jika ia masuk tanpa seizin Athan, pasti lelaki itu akan marah besar. Lantas Thalia harus melakukan apa?
Hayoo loo Thalia harus apa?
A. Masuk
B. Diam
Jawab yaa! Jangan lupa kasih alasannya :)
Jangan lupa follow instagramku @aameliars dan juga untuk perkembangan setiap cerita aku di @duniamelia ya!
See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top