√13

Sakit itu saat aku anggap kamu segalanya, tapi kamu anggap aku seenaknya

Thalia Novenda

***

Semua di dunia ini selalu berdampingan. Ada siang, ada malam. Ada hitam, ada putih. Ada baik, ada buruk. Ada suka, tentu saja ada duka. Seperti pada perasaan Thalia saat ini. Setelah mengalami duka lara yang dalam sehabis pulang dari rumah sakit dan juga karena kepergian orang tuanya ke Negara Menara Eiffel secara mendadak, Thalia bagaikan mendapat suntikan semangat kala ponselnya mendapat pesan masuk tadi pagi.

Thalia sangat menyesal tak segera membalas pesan itu kemarin malam lantaran ponselnya lowbatt. Pesan itu ia buka tadi pagi, sehingga senyum Thalia terbit menenggelamkan perihnya hati.

"Selama Papa Mama nggak ada, kamu tinggal sama Tante Anggi ya Tha?" Ratna menuangkan susu ke gelas kosong milik Thalia. Ucapan ibunya itu sontak membuat Thalia terbatuk-batuk karena tersedak roti selai yang baru saja ia buat.

"Pelan-pelan dong sayang." Aldhi menyodorkan segelas air. Persis seperti kejadian saat kedua orang tua Athan memberi tahu kabar baik ini.

"Beneran Ma?" Thalia menatap Ratna dengan berbinar. Ratna tersenyum senang. Memang anaknya ini sangat mudah sekali berubah. Kemarin saja ia menangis tersedu-sedu. Tetapi sekarang cengar-cengir tak jelas seolah melupakan beban yang ada. Sungguh, hati Ratna terenyuh dengan begitu mudahnya Thalia merasa baikan dalam situasi yang berat sekalipun. Menurut Thalia, ia tak ingin melewatkan banyak hal kecil yang ada di dalam hidupnya karena hal kecil itulah yang memiliki makna spesial di hidup gadis itu.

Ratna mengangguk. "Suka?"

"Pastinya dong!" seru Thalia riang.

"Besok mulainya, sekalian Papa Mama berangkat. Kamu jaga diri baik-baik ya Tha. Jangan lupa mi—"

"Iya Pa. I know. Papa udah bilang itu jutaan kali setiap Papa mau pergi. Thalia janji Papa," ucap Thalia yang memeluk ayahnya dengan rasa sayang luar biasa.

Aldhi tersenyum lalu mengecup tangan anaknya dengan sayang. "Anak Papa emang hebat."

Setelah sarapan roti gandumnya, Thalia bersenandung riang menuju rumah sebelahnya. Di sana, sudah ada lelaki dengan seragam yang sama sudah dipakai rapi olehnya. "Selamat pagi, Athan!" sapa gadis itu riang.

Athan menoleh lalu diam-diam bernafas lega. Ya Tuhan, betapa bahagianya dia melihat gadis itu dalam keadaan yang baik-baik saja. "Nebeng ya Than!" Thalia berujar lagi dengan riangnya membuat Athan tersenyum dalam diamnya. Thalia tetap sama, tak ada yang berubah meski telah dikecewakan dengan tak menolong gadis itu di saat ia membutuhkan bantuannya.

Athan masuk ke dalam mobil. Tadinya ia ingin berangkat naik sepeda, tetapi ia urung lakukan karena Thalia datang. Lebih baik menggunakan mobil jika bersama gadis itu. Selain agar tidak membuang tenaga karena gadis itu sangat berat, ia tak ingin jika gadis itu lebih parah karena terkena polusi serta paparan matahari yang menyengat.

"Naik!" tutur Athan tegas.

Thalia tersenyum ketika Athan tak memprotes seperti biasanya. Sebuah keajaiban yang besar.
"Gimana keadaan lo?" tanya Athan dengan ragu sekaligus cuek yang dibuat-buat padahal dalam hati yang terdalam ia sangat penasaran sekaligus khawatir.

"Cieee Athan khawatir sama Thalia ya?" Bukannya menjawab, Thalia malah menusuk-nusukkan jemari lentiknya di lengan Athan, menggoda.

Athan berdecak. "Tinggal jawab apa susahnya sih!" bentak lelaki itu kesal. Padahal ia sudah membuang jauh-jauh harga dirinya demi menanyakan pertanyaan ini, tetapi apa yang ia dapat? Hanya godaan semata. Sungguh mengesalkan.

Bentakan Athan sontak membuat Thalia berhenti menusuk-nusukkan jarinya. Mulutnya juga bungkam seribu bahasa. Ia takut, sangat takut melihat Athan yang terlihat sangat marah padanya. Karena tak segera mendapat tanggapan dari Thalia, Athan melirik Thalia sekilas. Ia dapat melihat gadis itu tengah menundukkan kepalanya, sedih. Hal itu membuat Athan kembali dilanda rasa yang tak nyaman. "Sorry," lirihnya.

Mendengar satu kata itu, Thalia mengerjap tak percaya. Apa? Ia tak salah dengar kan ketika kata maaf keluar dari mulut seorang Athan untuk dirinya? Ini tidak mimpi bukan? Wah, ini benar-benar sangat gila! Memang Athan salah minum obat atau bagaimana sampai kata itu lolos dari bibirnya.

"Gue harap lo baik-baik aja." Athan keluar dari mobil dengan cepat ketika mereka sudah sampai di parkiran sekolah, membiarkan Thalia yang masih mematung dengan kejadian yang barusan terjadi. Pipinya bersemu merah lalu dalam jarak beberapa meter, Athan dapat mendengar pekikan bahagia dari gadis itu.

Dari kejauhan, Athan tersenyum tipis lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Sekarang ia tau satu hal bahwa bahagia sesederhana itu, ketika melihat dia tertawa dan kamulah penyebabnya.

"Hmm Robi, saya mencium bau-bau es mencair ini." Farell mengibaskan tangannya di depan hidung sambil sesekali mendengus kasar.

"Apa yang kamu lihat Roy? Apa pria di samping anda ini terkena pelet cinta?"

"Hmm..." Farell menekan pelipisnya kuat sambil memejamkan matanya. "Saya melihat Thalia sudah berhasil daan ini bukan karena pelet, Robi. Ini karena cinta tulus."

"Bacot lo njing!" bentak Athan ketika kedua sahabatnya menganggu kegiatan belajarnya. "Stop liat Kurma tai! Otak kalian jadi gesrek kayak gini!"

"Karma woy karma!"

"Apalah itu. Stop liat! Ditaksir setan baru tau rasa lo!"

"Hmm Roy bukannya itu ada di episode tadi malam? Kenapa partisipan kita tau ya? Atau jangan-jangan..." Reza menggantung ucapannya dengan senyum yang merekah diikuti oleh Farell yang sependapat.

"Lo liat karma juga kan tai!" seru Farell dan Reza kompak.

Athan salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nyokap gue yang liat!"

Jawaban dari Athan membuat kedua lelaki itu menyipit curiga. Sebelum kebohongannya terbongkar, Athan lekas keluar dari kelas untuk menghirup udara segar.

Benar, Athan memang berbohong. Sebenarnya ia adalah pecandu acara televisi tersebut. Bahkan ia tak pernah melewatkan satu episode sekalipun. Ia juga membeli buku karangan Roy Kiyoshi itu.

Menurutnya hal seperti itu sungguh misterius dan Athan menyukai hal-hal yang bersangkutan dengan misteri. Ia juga mengoleksi berbagai buku yang mengandung unsur misteri, entah itu pembunuhan, pembantaian, maupun konspirasi di mana otak kita disuruh untuk mencari dalang dibalik masalah itu semua. Entahlah, rasanya ketika tebakannya benar dalam menyikapi masalah itu, Athan merasa sangat senang seolah ada teka-teki yang harus dipecahkan.

"Athan nggak pelajaran?" Thalia berdiri di samping Athan. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi untuk membasuh wajah. Seperti biasa, ia tertidur di kelas, lagi.

"Hmm," gumam Athan tanpa mau mengalihkan pandangannya pada hamparan lapangan yang sudah diisi dengan beberapa siswa yang sedang olahraga.

"Athan udah tau kan kalo besok Thalia bakal tinggal sama Athan?"

Lelaki itu menatap Thalia yang diam-diam tersenyum dalam hati. "Lo seneng?"

Thalia mengangguk. "Yaiyalah! Rejeki nomplok bisa serumah sama Athan!"

Athan menatap Thalia yang sedang tersenyum riang dengan tatapan sedingin es. "Nggak usah terlalu frontal, lo keliatan murahan," ucapnya lalu kembali masuk ke dalam kelas, meninggalkan Thalia yang diam mematung.

Reza yang mendengar itu mengeratkan telapak tangannya. Ia ikut bersedih ketika usaha yang selama ini dilakukan gadis itu berujung sia-sia akibat dari sahabatnya itu yang terlampau sangat cuek dan dingin. Reza tau itu adalah hak Athan, tapi tak bisakah lelaki itu menghargai perasaan Thalia walau sedikit? Walaupun Thalia galak dan judes, banyak sekali yang menyayangi gadis itu. Dia melakukan banyak hal baik tanpa diduga-duga, seperti kadang mentraktir makan, meminjamkan uang dan tak pernah menagihnya, serta senang memberikan pernak-pernik unik setelah ia selesai berlibur sehingga ketika ada seseorang yang menyakiti gadis baik seperti Thalia, rasanya tak tega.

Reza menghampiri Athan yang tengah menyumpal telinganya dengan earphone. "Lo apa-apaan sih Za!" Athan menatap Reza kesal lantaran earphonenya dicopot secara tiba-tiba oleh lelaki itu.

"Than, hargai keberadaan orang yang masih peduli sama lo, masih mewarnai hidup lo karena takdir sama sekali nggak bisa ditebak. Mungkin dia memilih bertahan atau bahkan memilih pergi. Dan ketika mereka memilih pergi, mereka nggak bakal bisa balik lagi. Yang ada cuma rasa menyesal pada diri lo Than. Dan lo nggak mau kan merasa menyesal untuk kedua kalinya?"

***

Thalia berjalan menuju koridor dengan perasaan hampa. Ucapan dari Athan barusan menusuk tepat di hatinya yang paling dalam. Sakit.

Padahal baru tadi pagi Athan membuat dirinya baper setengah mati, namun sekarang semua itu sirna bak ditelan angin. Bagaikan diberi kesempatan melihat bintang lalu bintang itu hilang dimakan siang. Semuanya terlihat berlalu begitu cepat. Entah itu waktu, maupun perasaan pada lelaki itu.

Thalia merogoh sakunya karena sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Ia harap pesan itu dari Athan, tetapi lagi-lagi ia harus memendam harapannya dalam-dalam ketika nama Debby muncul di layar.

Debby Violetta
Gue udah di kantin. Lo cepatan ke sini gih!

Itulah isi pesan tersebut. Thalia yang hampir masuk ke dalam kelas segera berbelok menuju kantin yang terletak di lantai dasar. Di sana, sudah banyak sekali siswa-siswi SMA Gajah Mada yang mengantri untuk membeli makanan. Thalia mendengus kasar ketika pemandangan lautan manusia tersuguh di hadapannya saat ini.

Thalia menatap sekitar bertepatan dengan Debby dan Alisa yang melambai-lambai di ujung kantin. Mereka berdua sudah duduk dengan makanan yang tersaji di meja. Dengan senyum mengembang, ia segera menghampiri keduanya, melupakan ucapan Athan yang membuatnya sakit tadi. Ia harus tersenyum agar sahabatnya tak merasa khawatir. Namun, senyuman itu memudar kala di samping Debby terlihat lelaki jakung yang tengah tertawa bersama Alisa, entah membicarakan apa.
Thalia mengucek matanya berulang kali untuk memastikan jika orang itu benar-benar sesosok yang ia kenali.

"Hai Tha! Gimana kabar lo?" lelaki itu menyapa Thalia sehingga persepsi perempuan itu meningkat 100%.

"Dave?"

Alisa dan Debby berpandangan. "Lo tau Kak Dave? Oh ya, dia kan yang nyelametin lo waktu pingsan kemarin Tha."

"Dave? Nyelametin gue? Maksudnya dia gendong gue?" Thalia menatap tak percaya.

Alisa dan Debby mengangguk serempak. Thalia yang menatap sahabatnya berangsur menatap Dave yang sedang cengar-cengir. Gadis itu segera menarik lengan Dave untuk keluar dari area kantin dan membawanya menuju tempat yang sepi tanpa ada orang yang bisa mendengar percakapan mereka. "Dave! Kenapa lo di sini ha?" tanya Thalia menggebu-gebu.

Dave tersenyum. "Ngapain ya gue di sini? Sekolah mungkin?"

"Dave! Serius!"

Dave tertawa hambar. "Sans My Girl! Gue disuruh Oma buat jagain lo."

Thalia berdecak. "Gue baik-baik aja Dave! Bilang ke Oma gue bisa jaga diri. Sekarang lo mending balik ke Jogja deh!"

Dave menggeleng kuat-kuat. "No to the way. No way! Gue udah terlanjur demen sama Bandung. Ceweknya cakep-cakep," kekehnya.

"Gue pesenin tiket buat lo balik besok!" Thalia berucap sembari pergi dari hadapan Dave tapi lelaki itu segera mencegahnya.

"Tha, keluarga di Jogja udah tau kondisi lo seperti apa. Di sini gue cuma mau nemenin lo ngelewati masa-masa itu. Dan gue bisa tebak, pasti temen-teman lo nggak ada yang tau soal ini kan? Gue bakal selalu ada buat lo Tha. Gue janji itu. Gue cuma mau jadi temen yang berguna buat lo," ucap Dave bersungguh-sungguh.

Thalia mendengus lelah. "Lo tinggal di mana?"
Pertanyaan dari Thalia membuat Dave tersenyum senang. "Di apartemen lah."

"Nggak mau ke rumah gue?"

"No, Thanks. Gue bisa tambah gemuk kalo di rumah lo. Secara kan Tante Ratna suka banget buatin gue kue cokelat."

Thalia bergumam sebentar. "Gue mau lo janji sesuatu sama gue."

"Apa?"

"Jangan ada yang tau kalo kita pernah punya hubungan sebelumnya."




Awww apakah artinya Dave ituuu... Thalia? Hmmm gimana menurut kalian?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top