√12
I keep ignoring you. But I still care
Athanabil Adventiano
***
Anggi menyesap teh panasnya sembari membaca majalah wanita di hadapannya. Matanya yang sibuk membaca kata demi kata yang tertuang manis di dalamnya terusik ketika pintu rumah ditutup secara kasar, sehingga menimbulkan suara yang menggema.
"Bisa pelan-pelan nggak sih Than?" Anggi menatap Athan garang. Namun, anaknya itu malah berjalan dengan lesu dan duduk di sampingnya. Matanya menatap kosong ke depan. Bahkan ucapan-ucapan dari ibunya yang bertanya tentang apa yang sedang terjadi sengaja ia abaikan begitu saja.
"Athan! Kamu kenapa sih?" Anggi mulai menaruh perhatian penuh pada anaknya. Wanita itu juga sudah tak berselera lagi untuk melanjutkan aktivitas yang sangat disukainya itu. Apalagi kalau bukan membaca.
Athan bangkit dari duduknya. Tas yang ada di punggung ia tenteng dengan tangan kanan sedangkan tangan lainnya mengusap wajah dengan gusar. "I'm Okay Mom."
Sebelum langkah Athan mulai menjauh. Anggi memegang tangan Athan dengan erat. "Cepet mandi trus ganti baju. Mama mau ngomong," ucap Anggi dengan lembut yang dijawab Athan dengan anggukan lesu, setelah itu ia kembali berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
Athan menyalakan lampu kamarnya lalu entah mengapa langkah kakinya tak menuju kamar mandi seperti perintah ibunya tadi. Dirinya malah melangkah menuju balkon kamar, menatap langit yang sangat indah dengan warna orange yang mendominasi, bagaikan sebuah cat yang tumpah di kanvas angkasa. Lelaki itu memejamkan matanya sebentar, membiarkan angin dingin menyapu wajah serta tubuhnya yang terasa amat lelah.
Namun, masih beberapa detik ia memejam, perasaan bersalah itu tiba-tiba muncul di lubuk hatinya yang paling dalam. Athan merasa tak berguna sekaligus pengecut ketika melihat Thalia yang tadi pingsan tepat di hadapannya, tetapi dirinya hanya diam mematung tanpa tau harus bertindak apa. Ia masih syok berat dengan hal itu. Rasanya kejadian itu bak Deja Vu pada kejadian beberapa tahun silam. Tentu saja Athan ingin menolong Thalia, membawanya menuju UKS dengan lengannya sendiri, namun entah mengapa tubuhnya kaku tak bisa bergerak. Hatinya juga terus berdebar dengan keringat dingin yang bercucuran di pelipis.
Athan takut. Ia takut jika kejadian dahulu terulang kembali. Ia masih tak kuat. Bahkan hatinya belum sepenuhnya pulih.
Athan menatap sebuah ruangan yang ada di seberang rumahnya. Ruangan itu masih gelap, tak ada pencahayaan yang menerangi. Athan tau, setelah dibawa ke UKS, Ratna dan Aldhi segera datang dan membawa Thalia menuju rumah sakit terdekat. Entah apa yang disembunyikan dari keluarga itu tentang Thalia, Athan benar-benar ingin tahu. Hatinya kembali mencelos sakit ketika perilaku kasarnya selama ini terulang di memorinya. Bentakan, ucapan kasar, serta semua usaha Thalia untuk meluluhkan hatinya menerkam Athan perlahan. Kini Athan sadar jika perbuatannya selama ini sangatlah kejam dan tak adil untuk Thalia.
Lelaki berseragam abu-abu itu mengacak rambutnya frustasi. Ia kesal, ia marah, ia ingin melampiaskan semuanya. Tapi dengan apa? Tak mungkin ia berteriak dengan keras di sini, pasti para tetangga akan marah. Merokok? Tidak. Athan bukan tipikal perokok. Ia masih sayang dengan paru-parunya. Mabuk? Tentu saja ia masih ingat dosa. Lantas ia harus bagaimana? Athan tersiksa. Batinnya membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah. Tapi dengan siapa setelah dia pergi darinya untuk selamanya?
Athan turun dari kamarnya menuju lantai dasar. Kedua orang tuanya sudah menunggu untuk makan malam, seperti biasanya.
"Gimana sekolah kamu Than?" Darwis memasukkan potongan kentang ke dalam mulutnya.
"Baik Pa," jawab Athan dengan lesu.
"Athan, kamu kenapa sih dari tadi lesu melulu? Bilang dong sama Mama Papa kalau ada masalah. Siapa tau kita bisa bantu, ya kan Pa?"
"Gapapa Ma. Athan Cuma kecapekan aja, paling kalau Athan tidur besoknya udah fresh lagi."
"Oh ya! Mama punya kabar penting!" Ucapan dari Anggi membuat kedua lelaki di sana menghentikan aktivitasnya untuk makan dan menatap wanita itu yang tengah tersenyum lebar. "Thalia bakal tinggal disini untuk beberapa minggu! Asik kan?" lanjutnya dengan antusias.
Seketika saja Athan tersedak dengan ludahnya sendiri. Buru-buru Darwis mengulurkan segelas air kepada Athan yang diminum dengan rakusnya.
"Hell! No! Kenapa Thalia pake nginep sini sih!"
"Athan!" Darwis memperingati Athan dengan kata-kata yang tak sepatutnya ia ucapkan di depan ibunya.
"Maaf Pa," ucap Athan menyesal. "Ma! Emang Tante Ratna sama Om Aldhi mau ke mana sih sampe si kutu itu harus tinggal di sini? Athan nggak mau!"
"Ratna sama Aldhi mau ke Prancis. Ada bisnis katanya. Sedangkan Thalia kan nggak mungkin ikut ke sana. Dia harus sekolah bukan?" Anggi menjawab dengan senang. Bagaimana tidak? Akhirnya ia bisa menghabiskan banyak waktunya bersama Thalia. Pasti akan sangat menyenangkan mengingat ia ingin sekali mempunyai seorang anak perempuan.
"Kenapa nggak ke rumah neneknya atau temennya sih? Kenapa harus kesini?"
"Papa kira keputusan Mama sudah tepat, Athan. Papa juga setuju kalau Thalia nginep disini untuk beberapa waktu." Dan Athan hanya bisa mendengus pasrah ketika ayahnya sudah bicara, yang artinya tak bisa lagi diganggu gugat, apapun alasannya.
"Kapan Ma Thalia pindah ke sini?" Darwis bertanya.
"Lusa Pa. Hmm enaknya kamar mana ya yang dipakai?"
"Kamar sebelah Athan kan kosong Ma."
Athan lagi-lagi melotot tak terima. "Papa apaan sih? Athan kan benci keributan. Apalagi Thalia pasti buat gaduh. Athan nanti nggak bisa konsen Pa. Pindah aja dia di kamar bawah."
"Kamar di lantai bawah kan kotor Athan. Belum sempet dibersihin waktu kita pindahan."
Athan kembali mendengus untuk kedua kalinya. Kenapa takdir begitu kejam padanya hah?
***
Thalia sudah berkemas untuk pulang setelah dokter benar-benar mengijinkan dirinya untuk pulang, tentu saja dengan paksaannya. Di depannya, sudah ada Aldhi yang tengah memasangkan jaket ke tubuh mungil anaknya itu. "Papa nggak mau kamu sakit lagi, sayang."
"Maaf Pa udah buat Papa khawatir."
Aldhi mengangguk dengan sendu lalu menutup resleting jaket berwarna biru dongker itu dengan hati-hati. Tak ingin jika udara malam memperburuk keadaan anaknya itu.
Ratna yang sudah selesai melipat baju seragam Thalia ikut bergabung. "Udah nggak ada yang ketinggalan lagi kan?" tanyanya.
"Thalia rasa nggak ada Ma."
Mereka bertiga menuju parkiran di mana mobil mereka berada. Thalia duduk di bangku penumpang dengan perasaan yang tak karuan. Ia begitu tak percaya ketika yang menggendong tubuhnya ketika pingsan tadi bukanlah Athan, tetapi orang lain. Sungguh sangat jauh dari ekspetasinya, di mana ia ingin sekali Athan menggendongnya dengan raut wajah cemas. Ia juga mengecek ponselnya setiap detik untuk menunggu pesan dari Athan. Namun rasanya penantian itu berujung sia-sia karena tak mencemaskannya sama sekali.
Thalia sadar jika Athan benar-benar tak memperdulikannya. Namun mengapa hati ini tetap tak ingin meninggalkan Athan? Mengapa ia justru memilih menunggu dan terus berharap jika Athan akan mencintainya kelak?
"Tha, Mama sama Papa udah mutusin untuk ke Prancis, lusa." ucap Ratna dengan berat.
Thalia yang sedang melamun sembari menatap jendela mobil segera menatap ibunya dan ayahnya secara bergantian.
"Papa sama Mama mau cari dokter, sayang." lanjut Aldhi yang mengerti tatapan bingung dari anaknya itu.
Mata Thalia berkaca-kaca dibuatnya. "Harus ya Pa?" tanyanya dengan suara parau.
Aldhi memegang kemudi dengan erat untuk menyalurkan rasa sedihnya ketika putri semata wayahnya bertanya dengan suara yang sangat putus asa, tak seperti biasanya yang amat ceria dan periang. Hatinya mendadak sangat perih bak ditusuk oleh ratusan jarum.
Ratna segera mengusap air matanya yang sudah menetes lalu menatap Thalia lama. "Mama dan Papa akan berusaha sayang. Kami janji akan pulang cepat."
"Maaf. Maafin Thalia Pa Ma kalau kehadiran Thalia cuma bisa menyusahkan kalian berdua. Thalia nggak bisa buat kalian bangga." Air mata Thalia berderas hebat. Rasanya ia begitu tak berguna di dunia ini. Ia selalu membuat susah kedua orang tuanya dengan segala sikapnya ini.
"Thalia, kami senang dan bersyukur punya anak sekuat kamu. Papa mohon, jangan berkata seperti itu. Ya?"
Mobil itu sudah memasuki halaman rumah minimalis itu. Tepat pukul sembilan malam mereka tiba. Thalia segera keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa. Ia tak kuasa jika melihat kedua orang tuanya bersedih karena dirinya. Ia hanya ingin melihat mereka tersenyum bahagia. Bukan seperti ini.
Thalia segera memeluk gulingnya dengan erat. Air mata itu terus mengalir di pipinya dengan deras. Ia bahkan menyalahkan takdir karena membuatnya dalam keadaan seperti ini. Mengapa harus dirinya yang merasakan ini semua? Mengapa Tuhan? Mengapa?
Athan yang mendengar suara deruman mobil serta lampu yang menyala dari ruangan seberang segera beranjak dari tempat belajarnya. Ia menatap jendela yang bertirai itu lalu membuka pintu balkon dengan perlahan. Sayup-sayup ia dapat mendengar isakan yang memilukan dari ruangan seberang.
Athan mengernyit bingung. Apakah Thalia sedang menangis? Tetapi kenapa?
Athan terpaku sebentar. Ia dapat merasakan kesedihan yang Thalia rasakan. Rasanya begitu memilukan dan sangat menyedihkan. Entah mengapa tangan Athan mengambil sebuah ponsel yang ada di sakunya lalu mengetik sesuatu di sana.
Athanabil A.
G ush mewek. Lo bikin gue merinding
Send
Athan tersenyum singkat lalu kembali masuk ke dalam kamar dengan perasaan yang mulai menghangat. Ditambah lagi ketika ponselnya tiba-tiba berdering menandakan sebuah pesan masuk.
Ia membuka pesan itu dengan cepat lantas ia mendengus kesal ketika pesan itu berasal dari operator yang sedang menawarkan paketan data.
Sial!
Aish! Mengapa Athan sangat berharap jika itu tadi berasal dari Thalia? Mengapa ia jadi seperti ini sih? Ah, sudahlah Athan segera membaringkan tubuhnya di kasur karena ia sudah tak konsen lagi untuk belajar. Bagaimana bisa ia konsen jika sekarang seisi kepalanya sudah dipenuhi oleh perempuan itu. Argh! Are you fuck kidding me Athan? Bukannya dia benci Thalia? Lantas mengapa kini ia memikirkan perempuan itu?
Nggak bisa tidur mikirin balesannya Thalia eakkkk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top