√11

I've been acting like I'm okay. But, I'm not.

Thalia Novenda

***

"Thalia! Liat! Kita olahraga bareng kelasnya Athan!" Alisa menunjuk pada kerumunan siswa dengan seragam olahraga yang melekat persis seperti apa yang mereka kenakan sekarang. Senyum Thalia kembali merekah melihat di antara kerumunan itu terdapat pangerannya, Athan. Lelaki itu tengah melakukan pemanasan ringan dengan merentangkan tangannya ke udara sembari berjinjit. Apalagi lengan kaos olahraganya yang pendek terlihat pas memenuhi otot-otot lengan Athan yang super seksi. "Wah... pemandangan yang sangat indah," gumam Thalia tanpa sadar.

Bunyi peluit dari Pak Burhan membuat lamunan Thalia buyar seketika. Gadis itu segera berlari kecil menyusul teman-temannya yang sudah berkumpul di hadapan pria berkumis tebal macam Super Mario tersebut.

"Hari ini jam olahraga kita nggak bisa berlangsung lama." Pak Burhan berbicara dengan nada serius. Namun, sang lawan bicara diam-diam tersenyum senang ketika kalimat itu diucapkan. "Bapak akan menghadiri rapat dengan guru olahraga se-Bandung untuk mewakili sekolah kita. Jadi, kalian latihan bola basket sendiri lalu besok akan saya ambil penilaian."

Terdengar sorak-sorak gembira yang tak bisa ditutupi. Surgawinya anak sekolah selain libur adalah jamkos. Lagipula siapa sih yang tak suka jamkos? Jam olahraga lagi! Jadinya kan nggak perlu panas-panas dan berkeringat. Membuat make up luntur saja.

"Priitt!" Pak Burhan meniup peluitnya sekali lagi.

"Sekarang kalian lari lapangan. Yang perempuan lima kali yang laki-laki sepuluh kali, kecuali Thalia."

Semua siswa tak heran dengan hal itu. Thalia memang jarang sekali berolahraga. Bahkan jika diharuskan olahraga, itu pun cuma diperbolehkan sebentar. Banyak yang penasaran dengan alasan yang dibuat Thalia hingga gadis itu bisa tak melakukan olahraga. Namun, dari sekian banyak orang, tak ada yang tau alasan yang jelas terkait hal itu selain Thalia, Pak Burhan sendiri, serta Pak Santoso selaku pihak kepala sekolah. Yang mereka tau, gadis itu akan selalu pingsan jika terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

Thalia mengangkat tangannya ketika matanya menatap Athan tengah berlari di lapangan bersama teman-teman sekelasnya juga. "Saya mau lari Pak!"

"Tapi kan kamu—"

"Saya kuat kok Pak!" balas Thalia cepat. Pak Burhan diam sejenak lalu mengangguk. "Baiklah jika itu mau kamu. Tapi kalau nggak kuat, langsung istirahat saja."

Kata-kata dari Pak Burhan membuat senyum Thalia melebar. "Terima kasih Pak."

"Lo beneran nggak papa Tha olahraga gini?" Debby berujar sembari berlari di samping kanan Thalia. Sedangkan Alisa berada di samping kirinya. "It's Okay! I'm so strong Deb. Don't worry! Lagian ada Athan kok yang siap jagain gue." Thalia terkekeh membuat Debby dan Alisa langsung memperagakan gaya muntah seketika.

Sebenarnya Debby dan Alisa juga tak tau apa yang disembunyikan di balik senyum Thalia. Namun, keduanya memilih bungkam dan pasti akan mencari tahu sendiri rahasia yang Thalia tutup rapat-rapat sedari dulu. Memang, Thalia ini orangnya riang nan ceria. Namun, dalam segi masalah hidup, gadis itu memilih untuk menyimpannya sendiri. Entah itu masalah yang luar biasa besar maupun yang sepele. Ia tak ingin jika orang di sekitarnya akan ikut bersedih dengan masalah yang ia hadapi. Ia hanya ingin menularkan kebahagiaan bukan sebuah kepedihan.

Pernahkah kalian mendengar bahwa orang yang tertawa paling keras adalah orang yang memiliki rasa sakit yang mendalam? Itulah yang dirasakan Thalia. Tegar di luar namun hancur di dalam.
Thalia segera mempercepat larinya meninggalkan kedua sahabatnya yang berlari dengan ogah-ogahan. Terdengar nada protes dari kedua orang itu, namun Thalia lebih memilih untuk menulikan indra pendengarannya untuk sebentar.

"Hai Athan!" Thalia menyapa Athan dengan riang— seperti biasanya. Bukannya mendapat balasan dari lelaki itu, Thalia malah mendapat balasan dari duo makhluk gaib yang ada di samping prince charmingnya. "Hallo juga Thalia! Ih lo kok tiap hari tambah cantik sih Tha!" Farell menggoda Thalia sembari mengedipkan sebelah matanya.

Thalia yang melihat itu segera menampilkan ekspresi jijik luar biasa. "Gue kok denger ada yang ngomong ya? Tapi kok nggak keliatan wujudnya?"
Farell langsung mendekap Reza yang ada di sebelahnya. "Dia ngira gue setan, nyet," ucapnya dengan nada sedih. Reza hanya menepuk punggung Farell dengan iba. "Padahal lo lebih dari itu ya Rel. Lo kan bukan setan lagi."

"Trus apa?"

"Tainya setan!" Reza buru-buru berlari menyusul Athan dan Thalia yang sudah berlari di depan untuk menghindari amukan dari Farell. "Bangsat lo Za!"

Thalia tetap menyetarakan larinya dengan Athan walaupun lelaki itu sudah berusaha menjauh dengan berlari secepat mungkin. "Athan nggak capek ya? Mau minum?" Thalia bertanya dengan nafas tak terkontrol. Namun, ia masih terus berlari di samping Athan.

"Enggak." Athan menjawab tanpa melirik Thalia sedikitpun. Matanya tetap tertuju ke depan tanpa berniat untuk menatap Thalia walau sesaat.

Thalia berhenti sejenak dari larinya. Rasanya tenaganya sudah habis dan kerongkongannya sudah kering bak di padang pasir, tetapi gadis itu tak mau menyerah. Ia kembali berlari untuk menyusul Athan yang telah meninggalkannya di depan sana. Hey mana mungkin seorang Athan menunggu Thalia? Mustahil! Semustahil Upin Ipin yang punya rambut kribo dan tinggi 170 cm.

Debby dan Alisa yang sudah duduk di pinggiran lapangan lantaran sudah menyelesaikan larinya, lebih tepatnya berpura-pura sudah menyelesaikan larinya karena sudah tak kuat lagi menatap Thalia khawatir. "Thalia beneran nggak papa tuh? Kayaknya kok pucet gitu." Alisa bertanya setelah meneguk air putihnya dengan rakus.

Debby tak menyahuti. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Thalia dengan cepat. Tak memperdulikan bahwa sedari tadi gadis itu belum minum setetes pun sehabis berlari. Alisa menutup botol minumannya dengan asal lalu menyusul Debby yang tengah menahan Thalia untuk tidak berlari lagi.

"Ngapain sih lo Deb? Tuh kan gue ditinggal lagi sama Athan!" Thalia hendak melepaskan cengkraman tangan Debby di lengannya namun lengan satunya lagi sudah ditahan oleh Alisa. "Stop doing this stupid thing Thalia! Muka lo udah pucet gitu! Sekarang lo harus ke UKS bareng kita!"

"Gue masih kuat! Kalian kenapa sih? Nggak usah lebay deh!" Thalia menyentak pegangan tangan dari kedua sahabatnya lalu segera berlari menyusul Athan.

"Cinta sama bodoh itu emang beda tipis, ya kan Deb?" Alisa menatap Debby yang sedang menatap setiap gerak-gerik Thalia dengan khawatir. "Yeah. You're right! Let see. Seberapa kuat Thalia menantang tubuhnya sendiri." Debby dan Alisa berangsur kembali ke pinggir lapangan untuk duduk di bawah rentangan pepohonan yang rindang. Namun, mata mereka tak pernah berhenti menatap Thalia yang masih saja tersenyum walaupun wajahnya sudah pucat pasi. Hell! Apakah Athan sebodoh itu hingga tak memperhatikan bahwa wajah Thalia sudah mirip dengan mayat hidup?

"Mau sampe kapan lo ngikutin gue kutu!?" Athan berkata dengan sebalnya. Namun seberapa kasar ucapannya tak pernah membuat Thalia menyerah dalam berjuang. "Sampe... lo... juga... istirahat." Thalia menjawab dengan nada ngos-ngosan.

"Alah basi! Nggak usah sok kuat deh lo!"

Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima belas detik.

Tak ada jawaban dari mulut Thalia. Namun, yang terdengar di telinga Athan justru pekikan histeris dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Athan berhenti dari larinya lalu menoleh ke belakang. Ia begitu terkejut kala melihat tubuh mungil Thalia sudah tumbang ke tanah. Bukannya lekas menolong, Athan malah diam seperti patung panjangan di museum. Entah mengapa otaknya menjadi lemot memproses apapun.

Beberapa saat kemudian, seorang lelaki membelah kerumunan itu dan dengan cekatan merekuh tubuh Thalia dalam dekapannya, menggendong gadis itu menuju UKS sesegera mungkin. Bahkan melihat hal itu tetap tak membuat Athan bergerak sesenti pun.
Keringatnya bercucuran di seluruh tubuhnya. Ia juga tak peduli jika paparan matahari yang panas menusuk kulitnya. Semuanya terjadi begitu cepat, melihat Thalia yang tumbang dengan darah yang keluar dari hidungnya membuat kepala Athan berdenyut sakit. Rasanya ia pernah deja Vu dengan kejadian ini. Argh! Entah mengapa Athan menjadi membenci dirinya sendiri seperti ini.

"Tha? Thalia? Lo bisa denger gue?" Debby dan Alisa panik luar biasa ketika sahabatnya lagi-lagi pingsan disaat jam olahraga. Memang sudah biasa, namun ini lebih parah karena tak biasanya Thalia mimisan seperti ini.

Petugas medis yang ada di UKS langsung menangani Thalia dengan cepat. Mereka yang ada di sana disuruh untuk keluar ruangan agar Thalia leluasa menghirup udara dan agar UKS itu tidak pengap, walaupun besarnya setara dengan salah dua kali ruang kelas mereka.

Alisa dan Debby berjalan mondar-mandir di depan UKS. Mereka sedang harap-harap cemas dengan keadaan sahabatnya itu. Mereka berharap jika Thalia dalam keadaan yang baik-baik saja dan tak ada masalah yang perlu ditakuti.

Menunggu detik demi detik yang berjalan sungguh terasa begitu berabad-abad. Alisa segera menyenggol lengan Debby ketika pandangannya bertemu dengan seorang lelaki yang sama-sama menunggu Thalia sedari tadi. Lelaki yang asing di mata mereka berdua yang telah berbaik hati menolong Thalia disaat Athan malah diam tak berkutik. Ish! Berkuranglah kadar ketampanan Athan di mata mereka berdua jika menolong orang saja dia tak bisa.

Debby mendekat ke arah lelaki itu dengan penasaran. Tak sengaja ia melihat bet yang terjahit rapi di lengannya. Bet berwarna merah, tanda bahwa dia sekarang berada di kelas dua belas. Memang di SMA Gajah Mada memiliki bet identitas dengan warna berbeda di masing-masing angkatan. Tujuannya untuk mempermudah dalam mengenali senior maupun junior. Bet biru untuk anak kelas sepuluh, bet kuning untuk anak kelas sebelas seperti Thalia, dan juga bet merah untuk kelas dua belas.

"Kak makasih ya udah nolongin Thalia." Lelaki itu menoleh ke arah Debby dan Alisa setelah sebelumnya menatap lantai cukup lama. "It's Okay. Ini emang kewajiban buat gue."

Dahi Debby dan Alisa mengernyit heran dengan perkataan lelaki itu yang terdengar sungguh ambigu. "Kewajiban apa yang kakak maskud?" tanya Alisa.

Lelaki itu menggaruk rambutnya tak gatal. Bingung harus menjawab apa. Lalu tangannya terulur menyapa mereka berdua secara bergantian. "Oh ya, kenalin nama gue Devano. Panggil aja Dave."

Dan demi sejagad raya yang indahnya mempesona ini, Debby dan Alisa di buat bungkam dengan senyum Dave yang sangat manis. Bahkan lebih manis dari gula dan madu! Mungkin jika Dave berada di taman bunga, kupu-kupu dan lebah bukannya menghisap nektar pada bunga tetapi malah mengikuti Dave kemana saja.

Kulit putih Dave yang kontras dengan rambut hitam legam yang melawan gravitasi serta lesung pipit yang ada di kedua pipinya nyaris membuat kedua gadis itu pingsan karena diabetes. Bagaimana tidak? Dave benar-benar tampan dan manis. Kolaborasi yang sangat pas dan juga langka! Alisa jadi ingin melihat wajah kedua orang tua Dave. Mungkin dia mendapat gen yang sempurna dari kedua orang tuanya. Apalagi ketika lelaki itu tersenyum. Beuhh rasanya seperti di hawaii! Sejuk sejuk gimana gitu.
Debby berbicara dengan gugup lantaran masih berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah sekian lama tak menggila. "Gu-gue Deb-Debby."
Alisa segera menyahut dengan cepat. "Gue Alisa kak!"

Dave tersenyum lagi membuat keduanya mabuk untuk kedua kalinya. Rasanya mereka ingin membungkus senyuman itu dan membawanya pulang ke rumah untuk ditonton setiap detik berharga di hidup mereka.

"Btw lo siapanya Thalia ya kak?" Alisa bertanya dengan suara yang centil, menggoda.
Dave tersenyum untuk kesekian kalinya. Crot! Hidung Debby dan Alisa langsung mimisan dibuatnya. Memang efek senyuman Dave sangat maut sekali pemirsa. Bahkan bisa membuat kedua insan disana pingsan diabetes!

"Gue temennya... mungkin," ujarnya santai sembari tersenyum kembali. Dan tewaslah Debby dan Alisa sekarang juga.

Hayolooo temen apa temen tuchhh hihi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top