The Bell

Pukul 06.56. 4 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Aku suka sekali suara bel masuk. Dan sebaliknya, aku benci suara bel istirahat. Kau akan mengerti kalau sudah tahu alasannya. Kali ini aku tidak terlalu senang karena dia belum datang. Kemana anak itu? Berbagai pikiran buruk berputar-putar dikepalaku. Ayolah, cepat datang. Kalau hari ini terlambat lagi, dia pasti akan dihukum. Aku menatap kursi yang ada di dekatku dengan cemas.

3 menit lagi. Kumohon--

Permohonanku disela oleh ketukan di pintu. Pelan, tapi langsung membuat murid-murid yang tadinya sibuk bergosip berhamburan kembali ke bangkunya. Aku duduk lebih tegak, mengira itu Guru Kim yang biasanya  datang lebih awal, tapi pelakunya ternyata Ten. Beberapa orang mendengus, sementara Ten terbahak puas. "Guru Kim ada urusan, jadi bakal telat bentar."

"Bener tuh?!" Seru si ketua kelas, Taeyong, dengan wajah berbinar-binar.

Anggukan Ten menjadi jawabannya. "Yo. Nggak ada tugas, tapi jangan berisik."

Kalimat itu langsung disambut dengan teriakan antusias seisi kelas. Pria yang kutunggu-tunggu itu akhirnya duduk di kursinya dan memberiku senyum manis, yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar-debar.

"Hampir dihukum lagi?" Tanyaku, memulai percakapan.

Ten, yang hari ini mengenakan topi berwarna hitam, menghela napas. Jengkel. "Gara-gara si Tern! Dia adikku, kamu ingat kan? Sengaja nggak ngebangunin dia, soalnya marah aku ngabisin semua kuenya."

Aku tertawa. Benar-benar hiburan yang menyenangkan. Logatnya yang lucu dan ekspresinya selalu membuatku betah mendengarkan cerita Ten. Apalagi dia orang yang cerewet. "Emangnya orangtuamu kemana?"

"Thailand. Mereka ada urusan disana. Berdua di rumah sama adik yang lagi menstruasi itu bencana. Dia marah tiap 5 menit sekali. Bikin pusing." Ten menggeleng-gelengkan kepala, lalu membuka topinya. Aku kembali tertawa saat melihat rambutnya yang berantakan. "Kamu bawa sisir, Roa? Aku nggak sempet tadi saking buru-burunya."

"Jorok!"

Ten memperlihatkan cengirannya. "Tapi masih wangi, santai."

Aku menyerahkan sisirku padanya, yang segera digunakan Ten sambil menghadap jendela. Saat musim gugur, angin sepoi-sepoi akan berhembus dari sana sampai aku harus mengikat rambutku.

Selain posisinya yang strategis, tempat duduk kami punya pemandangan yang bagus. Aku bisa melihat lapangan basket dengan jelas dan hamparan langit biru yang luas (kalau tidak mendung atau hujan). Pas sekali untuk murid pemalas. Semuanya akan sempurna kalau sekolahku tidak menggunakan kursi dan bangku untuk perorangan. Aku benar-benar berharap mereka menggantinya karena aku ingin duduk sebangku dengan Ten.

Tapi yang sekarang juga tidak buruk.

Aku memperhatikannya sambil menopang dagu, namun tiba-tiba, melihat benda yang mencurigakan. "Ten, kayaknya ada sesuatu dirambutmu."

"Apa? Bukan serangga kan?" Ten berbalik dengan ekspresi panik.

Dia selalu seperti itu. Begitu ekspresif dan tidak pernah sok keren. Ten mengaku sendiri dia takut pada serangga. Ralat, dia menyamarkannya dengan kata 'geli'. "Bukan. Ada di belakang, coba cek."

Dengan kening berkerut seolah sedang mengerjakan soal bahasa Korea yang sulit, Ten berusaha membersihkan rambutnya. Tapi tidak berhasil. "Udah?" Aku menggeleng. "Bantuin dong."

Tanpa diminta 2 kali, aku bangkit dan mendekatinya. Meski tidak ada yang memperhatikan kami, aku tetap saja gugup. Ini pertama kalinya aku menyentuh rambut Ten. Kami memang akrab, tapi jarang melakukan kontak fisik. Sesuatu yang kulihat itu berwarna putih dan lengket. "Ini permen karet."

Ten meringis. "Pasti anak itu, siapa lagi kalau bukan dia!"

"Nggak banyak kok. Aku bersihin, ya?"

Ten merespon dengan duduk manis seperti murid yang rajin. Aku sengaja bekerja dengan lambat agar bisa lebih lama menyentuh rambutnya. Ten yang sedang menunduk tidak melihat senyumku. Rambutnya terasa sangat lembut di jari-jariku dan hmmm ... memang wangi. Aku penasaran shampo merk apa yang ia pakai. Mungkin shampo dari Thailand? "Kalian mirip nggak?"

"Siapa?" Ten sedikit mendongak untuk menatap mataku.

"Kamu sama Tern." Untung saja aku bisa menemukan topik pembicaraan. Aku tidak ingin ia jadi bosan.

"Nggak juga. Apalagi sekarang Tern ngewarnai rambutnya pake warna pirang. Dia jadi kelihatan kayak orang yang kejatuhan mentega."

Aku tertawa lagi. Entah sudah yang keberapa. Bersama Ten, aku selalu bisa tertawa. Dia memang punya banyak lelucon dan cerita lucu untuk diceritakan.

"Selesai."

"Bener? Bersih semua nih?"

Aku mengiyakan. Tanpa bisa dicegah,  mengelus rambutnya sekali lagi untuk sekedar merapikannya. Dulu, saat masih berstatus murid baru, potongan rambutnya jelek sekali, semacam shaved side tanpa poni. Bagus bagi orang lain, tapi tidak untuknya. Aku senang dia mulai memanjangkannya. "Aku mau cuci tangan bentar."

Ten tersenyum. Pagi rasanya jadi lebih cerah saat ia melakukan itu. "Makasih, Roa. Kapan-kapan mampir ke rumah, ya? Kenalan sama Tern, mau?"

Aku memberi tanda 'ok' dan mengangguk cepat. Satu langkah lebih dekat dengannya.

Berani taruhan, matematika pasti punya kekuatan magis untuk membuat orang-orang mengantuk. Contohnya saat ini. Aku sampai harus mengedipkan mata dengan cepat; salah satu tips menghilangkan kantuk yang kubaca disebuah artikel, tapi tidak berhasil. Kelihatannya artikel itu berbohong, atau mungkin alergiku pada pelajaran ini sudah semakin parah.

Guru Im sebenarnya guru yang menyenangkan. Dia cantik--salah satu yang paling cantik malah--dan punya selera humor yang bagus, tapi aku benar-benar tidak suka pelajaran yang ia ajarkan. Angka-angka selalu membuatku pusing. Dengan malas, aku menyalin coretan-coretan yang ada di papan tulis meski kurasa ini percuma  karena aku sama sekali tidak paham.

Tapi, tunggu. Kenapa Ten diam saja? Dia bukan tipe orang yang bisa duduk tenang dalam waktu yang lama. Apalagi dia juga tidak menyukai pelajaran ini. Biasanya Ten akan bertanya 'ngerti nggak?' atau sekedar mendengus.

Aku menoleh, dan mendapati dia sudah tertidur. Pantas. Si cerewet ini bahkan tetap terlihat tampan meski tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Semua rumus mendadak jadi tidak penting. Ten yang tidur jelas jadi pemandangan yang lebih menarik daripada tulisan Guru Im.

Mataku mengerjap.

Benakku kembali ke masa lalu.

Aku masih ingat pagi itu. Pagi ketika aku datang lebih awal untuk mendapat tempat duduk di belakang. Awalnya aku ingin duduk di dekat jendela, tapi urung karena kursinya jelek. Tak berapa lama, Ten masuk ke kelas. Orang Thailand aneh yang tersenyum pada siapa saja, bahkan padaku, yang tidak terlalu akrab dengannya meski kami sekelas. "Wah, untung masih kosong. Duduk di depan nggak enak."

Aku mengangguk, tidak yakin dia sedang bicara padaku. Bisa saja kan dia tengah bermonolog dengan dirinya sendiri? Lagipula aku tidak tahu harus membalas bagaimana.

"Hei, kamu Kim Minkyung kan?" Membuat kaget, Ten tiba-tiba duduk di kursi yang ada di depanku, menyapa seolah kami teman akrab.

Aku mundur sambil mengerutkan kening. Ku akui, sedikit terganggu. "Panggil aku Roa."

Ten masih tersenyum lebar seperti orang bodoh. "Kenapa Roa?"

Mengapa dia tidak pergi saja dan membiarkanku tidur sih? Aku mendengus dengan ekspresi yang jelas-jelas menunjukkan kekesalan, tapi Ten tampak tidak menyadarinya. "Di kelas kita ada 2 Minkyung. Jadi supaya nggak bingung, banyak yang manggil aku Roa."

"Artinya apa?"

Pagi bukan saat yang tepat untuk mengajakku bicara. Aku menghela napas. "'Ro' berarti senyum, kalo 'A' artinya cantik."

Ten mengangguk, dengan mulut membulat sambil menggumamkan 'oooh' panjang. "Jadi seseorang yang punya senyum yang cantik, gitu?"

Aku diam saja. Mulai capek merespon. Menurutku dia aneh, apalagi saat dia mendekat, untuk mengamati wajahku lekat-lekat. Apa sih maunya?

"Yuta ternyata nggak bohong."

Rasa penasaranku terpancing. "Soal apa?"

"Kamu." Secara refleks, aku menunjuk diriku sendiri. Bingung. "Yuta bilang kita mirip. Aku baru sadar sekarang. Makin kelihatan jelas kalau kamu nggak pakai make up. Kita jadi kayak anak kembar!" Ujar Ten, terlihat sangat bersemangat. Seolah menemukan orang yang mirip dengannya sama dengan menemukan sekoper uang.

Aku bisa melihat bayangan diriku di mata Ten. Kini giliranku yang mengamatinya. Bentuk hidung kami berbeda, tapi ... aku tertawa. Dia benar. Kami memang punya kemiripan, terutama di bagian mata. Ten ikut tertawa. Begitulah. Semester baru jadi semakin menyenangkan dengan adanya Ten sebagai 'tetangga'ku.

"Minkyung!" Teriakan itu membuatku terlonjak kaget. Minkyung yang lain juga sama kagetnya denganku. Tapi jelas yang dimaksud adalah aku karena Guru Im melotot padaku. "Sejak kapan papan tulisnya pindah ke jendela?"

Seisi kelas langsung terbahak, kecuali Ten. Aku berdiri dan berkali-kali membungkuk serta meminta maaf, tapi Yuta, yang memang terkenal usil, tiba-tiba menyahut. "Bukan jendela yang dia lihat, tapi Ten. Roa kan suka sama dia."

Aku mendelik, tapi itu hanya membuat tawa Yuta semakin keras. Begitupun dengan teman sekelas lain yang sekarang ikut-ikutan menggodaku. Suara mereka jadi membangunkan Ten. Apakah dia mendengarnya? Aku sedikit panik.

Guru Im sendiri tampaknya ingin mengatakan sesuatu tapi urung, karena bel istirahat yang berbunyi. Aku kembali duduk di bangkuku dengan wajah merengut. "Pelajarannya udah selasai, ya? Cepet banget." Ten menguap.

Aku meliriknya dengan waspada. Kalaupun mendengarnya, Ten pasti hanya akan menganggapnya sebagai gurauan saja bukan? Tapi aku penasaran. "Ten, apa tadi--" aku memulai, bersamaan dengan seorang gadis yang meneriakkan "TEN!" dari pintu kelas.

Kami menoleh ke asal suara itu. Disana, tampak seorang murid Thailand lain yang sedang melambai-lambaikan tangannya. Kehadirannya langsung mengundang senyum di wajah Ten. Dengan cara yang membuatku tidak nyaman. "Tunggu bentar!" Serunya, lalu menoleh padaku. "Ada apa, Roa?"

Terlambat. Aku menggeleng pelan. Aku lupa saat bel istirahat berbunyi, Ten akan menjadi milik gadis itu. "Nggak penting. Nanti aku omongin."

"Oke!" Ten yang bodoh, Ten yang tidak peka, dengan santainya memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. "Aku latihan dulu sama Lisa. Kamu tahu kan tim kita dipilih buat mewakili sekolah di perlombaan dance? Kamu harus nonton waktu kami tampil, ya?"

Aku mencoba tersenyum, tapi gagal. Bagaimana bisa aku menonton dia dengan gadis itu? Tidak. Tidak lagi.

Ten pun bangkit, sudah akan pergi, tapi kemudian berbalik. Aku mengira dia mau mengatakan sesuatu yang penting, yang bisa  sedikit mengurangi rasa sakit dalam hatiku, tapi ternyata...

"Boleh aku pinjam catatanmu lagi?"

Hanya itu.

Harapanku yang sudah melambung tinggi langsung anjlok, tapi toh, aku tetap tersenyum. Enggan kelihatan sedih di matanya.

Dengan itu, Ten akhirnya berlalu bersama Lisa. Terlihat sangat akrab. Tidak mengherankan karena Ten bilang Lisa adalah salah satu teman pertamanya dan merupakan orang yang membantunya belajar bahasa Korea. Ditambah lagi, keduanya sama-sama pandai menari dan bergabung di klub dance. Sekali, aku pernah melihat mereka menari bersama. Dan jujur saja, mereka kelihatan cocok. Aku penasaran apakah dia sudah bertemu Tern.

Memikirkan semua ini kadang membuatku sedih...

Oh, sudahlah. Aku menghela napas dan kembali mencatat. Tidak ada gunanya membandingkan diriku dengan Lisa. Kami berbeda. Inilah kenapa aku benci jam istirahat. Karena ia selalu pergi meninggalkanku ketika bel sialan itu berbunyi.

Aku yang hanya teman sekelasnya tak bisa melakukan apa-apa selain menunggunya sampai dia kembali. Aku selalu disini. Roa yang selalu ada saat Ten bercerita, atau saat dia membutuhkan seseorang untuk membersihkan permen karet dari rambutnya. Aku hanya Roa yang bisa meminjamkan buku catatannya pada Ten.

Setelah selesai, aku meletakkan buku-ku diatas meja Ten, lalu memasukkan pena ke dalam tas, tapi sesuatu berwarna ungu menarik perhatianku. Sisir itu. Aku mengambilnya. Ada beberapa helai rambut hitam pendek yang tertinggal disana.

Sambil menggenggam rambut-rambut itu, aku berjalan ke jendela. Kujulurkan tanganku keluar, membiarkan rambut Ten terbawa angin entah kemana. Kuharap suatu hari nanti Ten akan sadar kalau aku bukan dan tidak ingin jadi Tern kedua meski wajah kami cukup mirip.

Ten tersayang, kalau aku kenal kamu lebih dulu daripada dia, kira-kira ada perbedaan nggak ya diantara kita?

Note : Dibikin pas gua liat pic roa sama Ten. Kaget gua ternyata mereka mirip wkwk. Oh iya soal arti nama roa tadi gua ambil di kpopfiles, gak tahu bener apa kagak, tapi kalo liat roa ya bener hehe

STARTED & FINISHED : 10 FEB 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top