My Dear Little Friend
"Oh. Aku cinta ketenangan," Aku mendesah dengan gaya berlebihan, lalu meletakkan kepalaku di atas meja. Tepat disebelah cangkir kopi yang dipesan Mina. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, satu dari beberapa hal yang membuatku iri padanya. Aku selalu ingin melakukan itu, tapi selalu berakhir dengan mengangkat kedua alisku. "Kau masih bermasalah dengan tetangga barumu?"
Aku tidak menjawab karena sibuk memperhatikan uap yang mengepul dari cangkir. Entah kenapa, pemandangan itu terlihat indah. Mungkin kalau aku menatap dengan sungguh-sungguh, uap itu akan mulai membentuk sesuatu. "Yeri!"
Seruan itu membuatku terkejut. Lamunanku langsung hilang seperti coretan yang terharpus dari papan tulis. Aku menatap Mina dengan tajam. "Bisakah kita tidak membahasnya? Kau berisik."
Mina memutar bola matanya. Ada jeda sebentar saat ia menyesap tehnya dengan gerakan seanggun ratu. Kami duduk di meja yang dekat dengan jendela. Sinar keperakan bulan membuat rambut kecoklatannya jadi berkilau. Ia sangat cantik, bahkan dimataku yang sesama jenis dengannya. "Aku kan cuma bertanya, tidak perlu bicara seperti itu."
Sementara itu, pantulan diriku di kaca jendela membuatku meringis. Rambutku mulai lepas dari ikatannya, poniku mencuat kesegala arah dengan liar, lengkap dengan kaus tipis yang mulai kusut. Aku benci mengatakannya, tapi semeja dengan Mina dalam keadaan seperti ini membuatku merasa seperti gembel. "Maaf. Aku hanya ingin melupakan dia sebentar. Orang gila itu terus menggangguku setiap hari. Tapi ibuku malah menyukainya dan berkata dia adalah anak baik. Hebat sekali."
Orang gila? Kata sebuah suara menyebalkan di kepalaku. Tapi dia orang gila yang tampan kan? Akui sajalah! Aku mengerang frustasi.
"Tidak mengherankan," Mina mendengus. "Para ibu biasanya menyukai cowok-cowok yang tampan dan menganggap mereka anaknya sendiri."
Aku tergelak. Pengetahuan Mina terkadang membuatku bingung. Perlahan, aku mengangkat kepala dan menyentuh bagian luar cangkir kopiku. Masih terlalu panas. "Ku akui ia memang tampan, tapi sikapnya menyebalkan."
Jari-jari lentik itu mengibas di udara seolah berusaha mengusir lalat yang melintas. "Coba saja dulu dengannya."
Aku mendongak mentapnya. "Apa maksudmu?"
"Maksudku adalah," Mina menarik napas panjang, seolah bersiap membocorkan rahasia negara. Sorot matanya tampak serius. Dan ini aneh. "Sejak kapan kita berteman? Lama sekali kan? Jadi kurasa, ini adalah saatnya untuk-"
"Untuk apa?" Aku memotong cepat. Sangat penasaran meski tidak tahu ke arah mana pembicaraan ini.
"Untuk menggunakan pesonamu sebagai cewek." Ia diam sejenak, seolah menungguku menyela lagi. Tapi aku hanya mengernyit. "Memangnya kau tidak lihat drama? Mungkin dia memang bad boy, tapi bukan berarti tidak bisa ditaklukkan. Seseorang dari kita berdua harus mulai berkencan agar.." Kali ini kata-katanya terhenti secara misterius.
"Agar apa?"
"Agar tidak ada yang menganggap kita lesbian."
"Kau mau mati?" Aku menginjak kakinya dari bawah meja. Tawa Mina meledak tidak terkendali. Ia bahkan sampai harus memegangi perutnya. Dan seperti halnya semua tawa, tawa itu menyebar. Jadi meski kesal, aku ikut tertawa.
"Nah itu dia," kata Mina, masih terengah. "Akhirnya aku berhasil membuatmu tertawa. Tapi-" tubuhnya menegang. Tangannya yang tadi hendak meraih cangkir tehnya mendadak terhenti. Tatapan Mina terkunci pada suatu titik dibelakangku. "Wah." Ia tampak terperangah. "Lihat, disana ada makanan lezat."
Aku tahu yang dia maksud bukanlah pizza atau menu lain café ini. 'Makanan lezat' adalah kode kami untuk cowok-cowok tampan yang enak dipandang. Aku pun menoleh ke arah yang sedang ditatap Mina... dan langsung membeku. Berdiri tidak jauh dari pintu masuk, dan tampak kebingungan mencari meja kosong, tampaklah seseorang yang sangat ingin kuhindari. Seseorang yang baru saja kami bicarakan..
Winwin.
Pertemuan kami terjadi disuatu sore yang cerah. Sore dengan udara hangat yang memberimu kesan semua akan baik-baik saja. Sore yang membuatmu ingin bermalas-malasan di tempat tidur dengan makanan ringan dan cola dingin. Semuanya sempurna-setidaknya kupikir begitu. Lalu bel berbunyi. Ibu sedang tidak ada. Kakakku, Irene, menggunakan kesempatan itu untuk bersenang-senang dengan teman-temannya dan mungkin baru akan pulang tahun depan.
Jelas itu pasti tamu. Aku menghela napas dan meletakkan laptopku setelah sebelumnya menghentikan sementara tayangan drama yang ku tonton. Diganggu saat bersantai seperti ini benar-benar membuatku kesal. Tanpa repot-repot memasang senyum, aku membuka pintu dengan kasar. "Yaaa?"
Hanya 2 langkah didepanku, adalah cowok asing yang luar biasa tampan. Semua gerutuanku lenyap. Tanpa bisa dicegah, aku menatapnya dengan mulut terbuka seperti orang bodoh. Ia tinggi, dengan kulit putih yang membuatku bertanya-tanya apakah ia albino. Rambut hitamnya berantakan dan sedikit basah. Matanya yang segelap tinta dihiasi riasan berwarna hitam. Biasanya aku tidak suka cowok berpenampilan seperti itu, tapi dia terlihat sangat cocok dengan riasan tersebut. Hidungnya bagus, meski bibirnya sedikit terlalu tebal.
Ia mengenakan sepatu kets yang talinya di ikat sembarangan, celana abu-abu yang sedikit kebesaran, pullover hooded sweat berwarna biru, dan kemeja bermotif kotak-kotak. Ada seutas kalung emas tebal di lehernya. Sedangkan ditelinga, ia memasang 3 tindik yang terbuat dari perak. Vampir, pikirku kacau. Aku tahu itu gila, tapi ia benar-benar terlihat seperti vampir. Kalau mereka benar-benar nyata, pasti seperti inilah salah satunya. Oke, kataku pada diri sendiri. Tenanglah, tena- "Tutup mulut. Air liurmu menetes."
"Oh," aku menutup mulut dengan malu. Cowok itu ternyata sendirian padahal aku setengah berharap ada Edward Cullen menemaninya.
"Apa aku setampan itu? Kau kelihatan sangat terpesona," ada sedikit aksen samar saat ia berbicara, yang membuatku berpikir mungkin ia bukan berasal dari Korea. Tapi mungkin saja aku salah.
"Huh?" Aku mengernyit bingung. Lalu tersadar, dia menggunakan banmal padahal kami belum pernah bertemu. Kalaupun sudah, mana mungkin aku melupakan wajah seperti itu. Jenis wajah yang akan membuatmu menoleh 2 kali jika berpapasan dijalan... aku memutuskan untuk tidak memusingkan banmal itu, lagipula kami kelihatan seumuran. "Siapa kau?"
"Winwin," ia menyeringai, mengucapkan namanya dengan bangga. Jantungku berdetak lebih cepat. Kemudian, ia mengangkat sebelah tangannya, "halo, tetangga."
Perlu sesaat untuk kembali menemukan suaraku. Dengan gugup, aku mundur selangkah. Samar-samar, aku teringat ucapan ibu yang mengatakan kami akan punya tetangga baru. Tapi nama macam apa itu Winwin? Kenapa kedengaran seperti... merk mainan anak-anak atau semacamnya? "Oh, jadi kau," aku memutar otak berusaha menyusun sapaan yang cerdas. Apa yang biasanya orang katakan pada tetangga baru mereka yang super tampan? Aku berdeham, "Selamat datang. Aku tidak tahu kau sudah sampai."
Sudah terucap. Aku mengutuki diriku sendiri. Itu benar-benar kalimat yang payah.
Winwin mengangkat bahu. "Baru beberapa jam yang lalu. Penerbangan dari China ke Korea agak lama. Kau tahu kan?"
Tidak. Tapi aku mengangguk. Melihat gambar bandara? Sudah. Berjalan disekitar bandara? Sudah. Tapi aku belum pernah pergi keluar negeri. "Jadi kau orang China?" Pantas saja namanya aneh. Mendadak aku bersyukur diberi nama Kim Yerim. Meski sangat biasa, setidaknya nama itu normal.
Winwin tersenyum. "Benar. Orangtuaku baru akan tiba 2 minggu lagi."
Dasar beruntung. Bayangkan 2 minggu penuh yang dia miliki untuk bersenang-senang. Kalau jadi dia, aku pasti masih sibuk menari-nari. "Bahasa Koreamu sangat bagus. Jadi ada perlu apa?"
"Aku pernah tinggal disini saat masih anak-anak." Ia mengangkat sebelah alisnya, seolah menungguku mengatakan sesuatu. Matanya yang cantik menatapku lekat-lekat hingga aku tidak tahan dan mengalihkan tatapan ke engsel pintu. Ia mendesah. Entah kenapa terdengar kecewa. "Ini. Sebagai salam perkenalan."
Chocolate strawberry. Aku menerima bungkusan yang dia bawa dengan mulut berair. Banyak sekali hal-hal di dunia ini yang membuatku senang, salah satunya adalah ini. Dia, atau mungkin toko tempat dia membeli makanan ini sudah melukiskan wajah-wajah tersenyum di masing-masing strawberry dengan krim vanilla hingga tampilannya semakin menarik. Aku mengambil satu dan menggigitnya dalam potongan besar. Rasa asam dan manis membuatku tersenyum. "Enak. Sangat enak. Terimakasih banyak."
Tangan Winwin terangkat. Aku terlambat menyadari apa yang akan ia lakukan sampai jempolnya ada dibibirku. Ia berhenti disana dan mengusapnya perlahan. "Kau makan seperti anak-anak."
Butuh usaha keras untuk menelan strawberryku dan tidak tersedak. Aku menjauhkan kepala dengan gugup. Ini memang menyedihkan, tapi belum pernah ada yang melakukan itu padaku sebelumnya. Percayalah, di usiaku yang menjelang 20 tahun, aku belum pernah berciuman. Yah, kecuali saat anak-anak. Jadi kurasa itu tidak perlu dihitung. "Jadi," kataku, dengan suara agak melengking. "Salam kenal, tetangga. Kalau kau butuh sesuatu, katakan saja. Mungkin aku bisa membantu."
Ia tertawa. Sial. Winwin pasti tahu aku gugup setengah mati. "Sebenarnya ada."
"Apa itu?" Aku menelan potongan terakhir strawberry pertamaku. Kali ini dengan lebih rapi.
"Kau bisa mengantarku berkeliling, menunjukkan tempat-tempat menarik, kau tahu kan? Bagaimana?"
Tak ada alasan untuk menolak. Aku tak punya rencana khusus untuk liburan kali ini. Lagipula permintaannya sederhana. Aku mengangguk. "Bukan masalah."
"Terimakasih.." ia mencongkan tubuh. Satu tangan bertumpu pada daun pintu, yang lain berpegangan tembok. Kemudian, Winwin mencium bibirku. Bukan di pipi. Tepat. Di. Bibir. "...Yeri." Ia menambahkan dengan seringai seperti kucing liar. Lalu berbalik dan pergi.
Aku terlalu terkejut untuk mengejar dan memukulnya. Seorang gadis terhormat tidak akan membiarkan dirinya dicium sembarang orang kan? Lama setelah dia pergi, aku masih mematung ditempatku. Bingung, marah, dan ... sesuatu yang lain. Keputusanku yang langsung menyetujui permintaannya langsung membuatku menyesal. Sejak saat itu, Winwin selalu membuat hariku tidak tenang. Dan sekali lagi, ibuku malah menyukainya.
"Yeri! Yeri, apa yang kau lakukan?"
Aku menoleh kesana kemari sambil berdoa semoga Winwin memutuskan pergi sejauh mungkin dari sini. Lebih tepatnya, sejauh mungkin dariku. Tapi dia masih disana, menutup satu-satu pintu keluar dan masuk untuk pelanggan. Berarti aku tejebak. Apa sih yang membawanya kemari? Aku mengumpat sambil melipat tubuh dan meringkuk dibawah meja tanpa menghiraukan tatapan aneh orang-orang. Apapun asal aman asal darinya. "Bersikaplah seolah aku tidak ada."
"Kau ini bicara apa?" Ia tersenyum kikuk pada orang-orang dengan pipi mulai memerah. "Cepat duduk dan jangan membuatku-" ocehannya terhenti oleh suara dering ponsel. Gadis itu kembali duduk di kursinya dan menerima panggilan itu. Suaranya mendadak berubah kesal meski aku tak tahu siapa yang ia ajak bicara. Tapi jelas, Mina mengumpat. "Harus pergi," katanya, beberapa saat kemudian. "Adikku membuat masalah seperti biasa. Ini giliranmu membayar kan? Sampai jumpa."
"Mina! Mina, tunggu!" Tapi dia sudah pergi. Hilang sudah harapanku untuk keluar dari sini dengan bersembunyi dibelakang punggungnya. Aku mengintip sedikit : Winwin tidak ada. Apa dia sudah pergi? Mataku menatap semua meja dengan liar.
"Sedang apa kau?" Aku tersentak kaget hingga membenturkan kepalaku ke meja. Si pemilik suara tertawa. Saat aku sibuk mengerang, orang itu meraih lenganku dan menarikku bangkit dengan begitu mudah seolah aku masih 7 tahun. "Mencari tikus? Atau kecoa? Atau-"
Aku menatapnya dengan sengit. "Akulah yang harusnya bertanya begitu. Kau mengikutiku, ya?"
"Memang ada gunanya?" Winwin mencibir. "Aku hanya mampir kesini setelah membeli sesuatu. Lalu mendekat untuk melihat apa yang menarik perhatian orang-orang. Ternyata hanya kau."
Meski kesal, aku tidak bisa tidak memperhatikan penampilannya. Winwin tampak hebat dalam balutan celana jins, jersey dari Adidas yang lagi-lagi berwarna biru, dan jeket Levi's. Tentu saja lengkap dengan riasan matanya yang khas. Mungkin lain kali aku bisa memintanya mengajariku tekhnik riasan mata seperti itu.... aku menggeleng dengan bingung. Bisakah kau kesal dan terpesona pada seseorang pada saat yang sama? Mungkin hanya aku. "Membeli apa?"
Sejenak, aku mengira Winwin tidak akan menjawab karena ia diam begitu lama. Tatapannya fokus padaku, lalu ia meraih sesuatu dari sakunya yang kemudian diletakkan di atas meja. Ia sendiri duduk di kursi Mina. Ternyata kotak seukuran genggaman tanganku. "Ini."
Aku ragu-ragu, tapi dia tidak memprotes saat aku mengambil dan membuka kotak itu. Didalamnya, ada cincin berbentuk mahkota yang terbuat dari perak berkilau. Napasku tercekat. "Indah sekali. Kau membelinya untuk siapa?"
"Sahabatku."
Mataku menyipit. "Siapa? Selama ini kan kau selalu menempel padaku seperti anak ayam."
Winwin menghela napas, "Itu untukmu, bodoh."
Aku buru-buru melepaskan cincin itu dan mengembalikannya ke kotak. "Kau tak pernah memberi sesuatu dengan gratis." Bahkan sampai saat ini, aku masih ingat bagaimana rasa bibirnya, meski hal itu hanya terjadi beberapa detik. Bahkan 2 hari pertama, aku hanya menatap langit-langit tanpa bisa memikirkan hal lain.
Ia menahan senyum. "Tidak ada." Tangannya bergerak meraih tangan kiriku. Aku berusaha menghindar, tapi gagal. Tangan Winwin yang lain mengeluarkan cincin mahkota itu dan memakaikannya di jari manisku. Sedikit terlalu besar. "Kenapa jarimu kecil sekali? Padahal ini sudah ukuran terkecil." Gerutunya.
"Tak ada yang memintamu membelikanku cincin." Tapi perhiasan ini tampak sangat cantik di jariku.. sayang sekali kalau dikembalikan.
"Memang, tapi beberapa jam lagi kan hari ulang tahunmu." Aku membeku. Winwin tidak melihat ekspresiku karena ia sedang menyesap kopi yang sama sekali belum ku minum. "Ini terlalu manis."
"Darimana kau tahu?"
"Apa? Kopinya?"
Aku berdecak. "Bukan. Hari ulang tahunku."
Ia tersenyum. Bukan seringai atau senyum mengejek. Hanya senyum biasa yang membuatku berdebar. "Kau masih belum sadar juga, ya?"
"Sadar apa?"
"Hmm.." jari-jari Winwin mengetuk meja dengan pelan. "Begini, apa dulu kau punya teman yang sering bermain di kolam renang bersamamu? Biasanya kau akan pura-pura tenggelam dan anak itu akan menyelamatkanmu lalu memberi napas buatan."
Suara yang keluar dari tenggorokanku seperti suara orang tercekik. "Dong Sicheng?"
Winwin menyandarkan punggungnya di kursi, tampak seperti guru yang sangat puas pada muridnya. "Aku heran kenapa kau sangat terkejut waktu itu. Kita kan sudah pernah berciuman dan..." ia menunjukkan seringai kucing itu lagi, "tidak hanya sekali kan?"
Banjir kenangan menyerbuku. Tentu saja aku ingat meski wajahnya sudah tidak terlalu jelas. Kami sering bermain bersama. Bisa dibilang dia adalah temanku yang paling dekat. Aku dan Dong Sicheng sering membuat kastil-kastil aneh dari lego, memandangi langit-langit kamarnya yang dulu dilapisi wallpaper galaksi glow in the dark, berpura-pura menjadi superhero, dan tentu saja... bermain di kolam renang. Wajahku memanas. Saat kami kecil, permainan apapun terasa menyenangkan. Sekarang aku hanya merasa malu mengingatnya. Yang pasti Winwin sama sekali tidak terlihat seperti teman masa kecilku. "Dia tidak mungkin kau."
"Kenapa tidak kau tanyakan pada ibumu?" Aku bersyukur tidak sedang minum. Kalau tidak, aku pasti tersedak. Ibu yang sering tersenyum padanya...? Pikiranku mendadak kacau. Tidak mungkin kan dia tahu Sicheng sudah kembali dan tidak memberitahuku? "Aku memintanya merahasiakannya." Kata Winwin, seolah membaca pikiranku. "Dan menemuimu dengan nama lain. Tapi kau malah tidak mengenaliku."
"Jadi kau benar-benar dia?" Winwin tidak menjawab. Ia justru menggulung lengan rompinya dan memperlihatkan padaku bekas luka kecil di pergelangan tangannya.
"Masih ingat? Ini gara-gara lilin ulang tahunmu."
Aku menutup wajah dengan kedua tangan. "Jadi kau dan ibu.."
"Ya."
"Siapa yang mengira kau akan jadi seperti.. seperti ini?"
"Maksudmu setampan ini?"
Aku tertawa kecil. "Kau memang tampan dan..."
"Kau mengakuinya? Sudah kuduga." Ia terkekeh seolah pujianku adalah sesuatu yang lucu dan membanggakan. "Dan apa?"
"Brengsek." Kemudian aku menamparnya. Cukup keras hingga pelanggan-pelanggan di dekat meja kami menoleh dengan penuh ingin tahu. Aku belum pernah menampar seseorang sebelumnya, tapi rasanya tidak buruk. Semua kekesalanku padanya hilang setelah di lampiaskan seperti itu.
Mata Winwin membelalak. Kurasa lebih karena terkejut daripada sakit. "Untuk apa itu tadi, Yeri?"
"Untuk tidak memberitahuku dan menciumku tanpa izin." Kali ini akulah yang terseyum puas melihat bekas kemerahan dipipinya. "Terimakasih cincinnya, Winwin."
Note : Fanfic ini gua bikin pas jaman Limitless, jadi gaya tulisannya emang agak beda dari gaya tulisan gua yang sekarang hehe.
Judulnya keinspirasi dari Narnia ni. Kalo soal cast gua asal aja milihnya.
STARTED & FINISHED : 10 FEB 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top