Murid Baru

Huang Renjun sedang tidak bisa diajak bicara.

Ia sibuk berpikir, merenung, sekaligus mengumpat, bingung mengapa ini terjadi padanya. Asyik tinggal di China, tiba-tiba harus pindah ke Korea karena pekerjaan ayahnya.

Renjun tidak bodoh; ia paham konsep karma. Kau akan menuai apa yang kau tabur. Tapi sungguh, menurutnya, ia anak baik. Kadang, ia memang membantah orang tuanya, dan pernah mengerjai teman sampai jatuh dan terluka, tapi serius, siapa yang tidak melakukan itu?

Tindakannya normal kok一setidaknya menurutnya begitu.

Sayang, semua terlanjur terjadi. Mereka tetap pindah, tak mempedulikan semua ucapan protes yang ia suarakan berhari-hari. Sarapan dan makan malam merupakan ajangnya menyampaikan aspirasi, sedangkan orang tuanya adalah pihak yang menentukan nasibnya. Mereka pindah, titik.

Maka disinilah Renjun; berdiri di sekolah barunya yang muridnya terlalu banyak. Sekali lihat saja membuat Renjun tidak suka; ia alergi keramaian. Rasanya ia ingin berbalik, pergi ke bandara lalu kabur secepatnya.

Tapi Lee Haechan, teman baru yang juga tetangganya, menahan Renjun dengan menarik ranselnya. "Eh eh, mau kemana, kunyuk? Masuk, ntar aku kenalin sama cewek-cewek cantik!"

Renjun mendengus. Cewek-cewek cantik bukan prioritasnya. Ia ingin kembali ke China, itu saja. Pulang ke kampung halamannya yang ia kenal baik, bukan berada di tempat asing ini, bersama Haechan yang selalu kelebihan energi. "Buruan, anter ke tempat kepala sekolah."

Mata lebar Haechan mengerjap. Pemuda berkulit eksotis yang merangkulnya itu memiringkan kepala, belum melepasnya. "Nggak mau kenalan sama temen-temenku dulu?"

"Ogah," ujar Renjun acuh tak acuh, tidak menyembunyikan ekspresi suntuknya. Jam masih menunjuk angka 06.16, tapi suasana hatinya sudah tidak tertolong. Ia punya perasaan ini akan jadi hari senin yang amat ... panjang, dan ia tak menyukainya.

"Yaudah ayo," tukas Haechan singkat, tak ambil pusing. Bersama, mereka berjalan, meniti satu demi satu anak tangga, kadang dua. Sesekali, Haechan melambai dan menyapa teman-temannya, tapi tidak berhenti. Agaknya paham Renjun malas berinteraksi.

Akhirnya, keduanya sampai di lantai tujuh.

Beberapa murid yang lebih dulu datang menatap Renjun penasaran; wajah baru yang menarik perhatian. Tapi ada juga yang mengabaikannya, melengos pergi ke kelas masing-masing.

Renjun celingukan, menatap ke kanan dan ke kiri, mencari petunjuk ruangan kepala sekolah. "Di mana?"

Yang ditanya malah bergerak-gerak gelisah, meringis. Haechan membungkuk, memegangi perutnya, menyerupai pemain bola yang cedera. "Njun, duduk dulu, ya? Tungguin di kursi itu tuh, aku kebelet nih. Nggak tahan. Jangan keluyuran, oke?"

"Anterin dulu lah! Woi, Haechan! Haechan!"

Terlambat. Haechan telah melesat cepat menuju toilet, menubruk murid lain dalam perjalanannya. Siluet tubuh bocah cerewet itu menjauh, semakin jauh, hingga tak terlihat lagi. Menghilang di balik pintu biru yang di tengahnya memiliki gambar hitam laki-laki. Membiarkan Renjun sendiri.

Oh, sialan.

Dalam rentang waktu singkat, Renjun kembali mendengus. Terpaksa menuruti perintah Haechan, duduk di kursi dekat sebuah kelas bertuliskan angka "2-3". Ia meluruskan kakinya, bengong. Tidak tahu harus melakukan apa.

Renjun bisa saja bertanya pada salah satu murid, atau mencari sendiri, tapi ia terlalu malas. Lagipula menurut pengalamannya, penduduk Korea itu tidak ramah. Ia enggan ditertawakan lagi karena aksennya, atau bahasa Koreanya yang belum tepat.

Jadi Renjun memilih mengeluarkan ponsel, membuka salah satu koleksi game-nya demi mengusir kebosanan.

Baru mengklik ikon game, suara halus khas wanita tiba-tiba mengusiknya, menyapa indra pendengarannya. "Hey! Ssstt ... lagi ngapain?"

Refleks, Renjun menoleh, mengikuti asal suara tersebut. Itu seorang gadis rupanya; melambai dari pintu kelas 2-3, tersenyum ramah dan lebar padanya. "Sini, sini, jangan duduk di koridor."

Awalnya, Renjun bingung. Tidak yakin. Ragu gadis itu bicara padanya. Ia berpaling ke belakang, memastikan dirinyalah targetnya. Kemudian pelan-pelan, mendekati pemanggilnya. "Manggil aku?"

Anggukan kuat menjadi jawaban si gadis berambut panjang. Matanya berseri-seri gembira. Ia meraih lengan Renjun yang ditutupi seragam dan dengan satu tarikan, menggiringnya masuk ke kelas.

Renjun berniat protes, namun tidak sempat. Gadis itu mendahuluinya, bertanya, "Murid baru, ya? Seragammu bau toko."

"Iya," sahut Renjun pelan, terheran-heran karena kelas 2-3 sangat sepi. Tidak ada murid lain selain ia dan gadis aneh yang menariknya. "Ini kok一"

"Kenalin," untuk kedua kalinya, Renjun disela. Kali ini tidak cuma melalui kata-kata, tapi juga uluran tangan. "Aku Yeh Shuhua, kamu?"

Perhatian Renjun seketika teralih. Yeh Shuhua. Itu jelas bukan nama orang Korea. Yang berarti satu hal : mereka sama-sama orang luar yang terdampar di pusat budaya Kpop ini. Senyum merekah di wajah Renjun. Kesamaan antara ia dan Shuhua membuatnya merasa menemukan teman. "Huang Renjun."

"Renjun?" Ulang Shuhua, melafalkannya namanya dengan sempurna. "Bagus namamu. Pindahan dari mana?"

"China," selagi menjawab begitu, Renjun menunduk, menatap tangan Shuhua yang bukan main dinginnya. Sampai-sampai rasanya seperti menyentuh es. "Tanganmu dingin banget. Sakit?"

Tawa. Shuhua tertawa, segera menarik tangannya dan beringsut menjauh. Ia bergerak luwes ke jendela, menyandarkan tubuh di sana. "Emang aku kelihatan sakit?"

Renjun mengamatinya. Mulai dari ujung rambut Shuhua, hingga kakinya yang terbungkus sepatu putih. Pikiran pertama yang terlintas di benaknya adalah, dia cantik. Sedangkan yang kedua, dia nggak sakit. Karena pipinya merona, memancarkan kesan sehat. Ia sesegar bunga yang mendapat sinar mentari yang cukup.

"Kalau sakit," lanjut Shuhua. "Aku nggak sekolah dong. Duduk dulu, Renjun. Kepala sekolah datengnya sekitar jam 7 nanti, santai aja."

"Terus murid-murid disini? Kenapa kelasmu," Renjun menyapukan tangan ke seluruh ruangan, yang jangankan orang, tas saja tidak ada. Papan di belakangnya pun kosong melompong, dihiasi debu tebal. Meja dan kursi berderet rapi, tiada yang menghuni. "Mirip kelas terlantar?"

Shuhua mengangkat bahu, cuek. Tidak begitu mempermasalahkan seolah kelas yang kosong pada jam setengah tujuh adalah hal normal. Ia justru menatap ke luar jendela, memejamkan matanya menikmati angin musim dingin. "Temen-temenku bandel semua, mereka kebiasaan telat."

Alasan yang sungguh tidak masuk akal.

Di setiap kelas, memang pasti ada murid nakal, tapi bagaimana bisa sekompak ini, dan hanya menyisakan 1 murid rajin? Itu mustahil. Guru-guru harusnya melakukan sesuatu, meningkatkan disiplin mereka. Kecuali...

"Ini kelas khusus anak nakal, ya?"

Gelak tawa Shuhua sekali lagi mengisi kelas 2-3, mengusir kemuramannya sejenak. Menghipnotis. Memikat. Tanpa sadar, Renjun mengayunkan tungkainya untuk duduk di bangku terdepan yang paling dekat dengannya. Melupakan baik game dan Haechan yang mungkin sedang berenang di toilet.

"Murid disini nakal-nakal, Ren. Dulu sering ada kasus bullying gitu, targetnya anak-anak non Korea."

"Kayak kita?"

Shuhua mengiyakan. "Kayak kita."

Giliran Renjun yang tertawa, teringat kejadian sebelum ia berangkat. Mamanya juga mengkhawatirkan hal yang sama, tapi Papa menenangkannya, berkata bahwa takkan ada yang berani mem-bully Renjun, karena dari luar saja dia sudah tampak sangar dan galak. "Nggak bakal kalo aku, kamu sendiri pernah di kerjain?"

Hening. Shuhua diam, tidak langsung menjawab. Ia mengigiti kukunya, menghindari tatapan Renjun. Rambutnya yang mencapai pinggang nyaris menutupi seluruh wajahnya.

"Shuhua?"

"E一eh?" Shuhua terkesiap, melamun ternyata. Dia nyengir, malu bak murid yang ketahuan gurunya tidak memperhatikan pelajaran. "Ngomong apa tadi?"

Renjun menggeleng, kehilangan minat membahas topik serius tentang pem-bully-an. Ia sering mendengar cerita-cerita semacam itu, dan tidak ingin hal tersebut mengganggunya di hari pertama ia sekolah. Lebih baik ia mengalihkan topik. "Shuhua, kamu udah一"

Ia hendak bertanya berapa lama Shuhua tinggal di Korea, namun urung, sebab pada saat bersamaan, suara lain dari luar, suara yang ia kenal baik karena mengajarinya beberapa istilah gaul Korea, terdengar memanggilnya dengan nada mendesak dan panik. Haechan, tidak salah lagi.

"Renjun! Huang Renjun, jangan ngumpet, kampret!"

Otomatis Renjun bangkit, memakai lagi tali tasnya yang merosot ke lengan. Sekilas, ia menepuk-nepuk bagian belakang celananya agar bersih, lalu tersenyum pada gadis pertama yang menyapanya. "Balik dulu, ya? Mesti ke kepala sekolah."

Shuhua menunduk, sorot ceria di matanya meredup, bagai lampu yang kehabisan daya. Bibirnya mengerucut lucu. Di moment ini, rasanya Renjun akan percaya saja kalau ada yang bilang Shuhua berusia 14 tahun. Dia menggemaskan一sangat. "Padahal kita baru ngobrol lho. Kamu nggak mau sama aku dulu?"

"Nanti kan bisa ngobrol lagi," Renjun terkekeh, tapi sekaligus iba. Shuhua terlihat kesepian. Ia mungkin satu-satunya murid non Korea di kelas ini dan tidak memiliki teman dekat. Bertemu Renjun pastilah seperti menemukan oase di Padang pasir baginya.

"Janji?"

"Janji."

Mereka tidak mengaitkan jari kelingking, atau melakukan tos guna mengesahkan janji itu. Renjun dan Shuhua hanya saling melempar senyum karena jarak mereka cukup jauh. Sudut melawan sudut. Satunya di balik pintu, yang lain setia di tempatnya, bersandar santai dengan latar sinar matahari pucat jendela.

Perlahan, berat meninggalkan, Renjun melambai ringan, berlalu pergi menyelesaikan urusannya sendiri. Ia melihat Haechan yang memunggunginya, berdiri beberapa meter ditemani seorang pria yang Renjun duga adalah guru. Mereka berdebat. Haechan menunjuk bangku tempat semula Renjun duduk, sementara guru itu bersedekap, tidak percaya.

Agak sungkan, Renjun menyentuh bahu Haechan dari belakang, terpaksa menginterupsi. "Kepala sekolah udah dateng?"

Keduanya melotot.

Haechan yang terkejut mundur beberapa langkah, seakan sentuhan Renjun menyengat kulitnya. Si guru juga, tapi kekagetannya lebih terkontrol. Ia bisa mengendalikan diri dengan cepat dibanding murid di sebelahnya. "Kamu Huang Renjun? Murid baru temennya Haechan?"

Renjun mengangguk, sembari diam-diam melirik ke segala arah. Kebingungannya bangkit lagi ketika mendapati koridor sepi, menyisakan mereka bertiga yang berdiri membentuk segitiga manusia.

Kemana semua orang?

"Dari mana, Njun?" Tanya Haechan sebal, mengambil alih pertanyaan yang harusnya di ajukan oleh sang guru. "Aku bareng Pak Taeil nyariin kamu, kirain kamu bolos atau pulang."

"Kelas 2-3," jemari Renjun tearah ke kelas yang ia bicarakan, di iringi keningnya yang berkerut. "Tadi aku kenalan sama murid kelas itu, namanya Shuhua."

"S-Shuhua?" Pria yang disebut Haechan 'Pak Taeil' tergagap. Wajah tampannya tiba-tiba memucat, jadi seputih kertas-kertas yang ia bawa di tangan kirinya.

Sedetik setelahnya, Haechan memekik, "KELAS 2-3? YANG BENER? JANGAN BERCANDA!"

Reaksi mereka tidak Renjun pahami. Ia menatap keduanya bolak-balik, kemudian menoleh ke belakang, berharap akan melihat Shuhua yang mengintip dari ambang pintu. Nihil. Gadis itu tidak muncul. "Buat apa bercanda? Aku beneran ngobrol sama Shuhua, kenapa?"

"Renjun," Haechan menelan ludah dengan gugup. Aneh sekali melihatnya begini karena biasanya ia bergaya serampangan dan heboh. "Kelas 2-3 itu udah lama kosong. Dulu ada murid asal Taiwan yang jatuh dari jendela karena bullying, terus meninggal. Habis itu, kelas ditutup dan petugas kebersihan aja yang masuk buat bersih-bersih. Bener kan, Pak?"

Taeil mengangguk setuju, mencengkeram kertasnya erat-erat. Pandangannya tertuju ke kelas, tapi tatapannya yang menerawang memberitahu Renjun dia tengah mengingat-ingat masa lalu. "Nama korbannya Shuhua, Yeh Shuhua. Dia murid saya dulu, anak baik Shuhua itu. Tapi..."

"Kalian ngelawak, ya?" Sergah Renjun kasar, membantah seorang guru dan teman baiknya. Kata-kata mereka gila, tidak bisa dipercaya. Ia menolak percaya. Renjun bukan orang yang hobi berkhayal atau mudah ditipu. Tidak, ia bukan keduanya.

Jatuh dari jendela. Korban bullying. Omong kosong.

Shuhua nyata. Genggaman tangannya一walaupun dingin一terasa sangat nyata. Itu tidak bisa dijadikan bukti bahwa dia ... dia ... apa? Hantu? Arwah penasaran? Roh penunggu? Renjun tidak percaya hal-hal semacam itu. Ia tipe orang realistis yang mengandalkan logika. Mitos dan cerita aneh ini benar-benar konyol.

"Ayo, ikut Haechan." Terlanjur kesal, Renjun memutar tubuhnya, kembali ke tempat ia datang. Ransel hitamnya memantul di punggungnya, langkah kakinya menimbulkan suara berisik di koridor yang hening.

Ia akan menemui Shuhua一Renjun yakin Shuhua masih di kelasnya! Ia bakal memamerkan gadis itu di depan Haechan dan Taeil, berkata lantang, "Nah, ini hantu yang kalian maksud?"

Lalu tertawa terbahak-bahak.

Dengan kasar, ia berusaha mendorong pintu kelas 2-3 yang entah sejak kapan tertutup. Mungkin Renjun yang menutupnya, ia tidak ingat. Matanya menjelajah, bibirnya memanggil, "Shuhua?"

Tapi pintu itu sulit terbuka.

Berapa kalipun Renjun menekan kenopnya, tetap tidak bisa. Seakan ada yang sengaja menumpuk meja dan kursi untuk menghalangi. Ia mencoba lagi, memukul permukaan pintu tersebut, namun tetap saja gagal.

"Renjun, Renjun, udahan deh, udahan!" Haechan menahan Renjun saat ia akan menendang pintu, menimbang-nimbang mendobraknya secara paksa. Pemuda itu一di bantu Taeil一menyeret Renjun pergi, sebelum ia merusak fasilitas sekolah. "Pintunya di kunci, bego! Nggak sadar juga?"

"Tapi Shuhua一"

"Nggak ada Shuhua," seru Taeil tegas, menjatuhkan kertasnya karena memegang lengan Renjun yang lain. Mencegah ia kabur. "Shuhua udah meninggal 2 tahun yang lalu. Saya punya buktinya."

Pelan-pelan, Renjun berhenti melawan. Pasrah. Kalut. Pusing. Semua bercampur aduk menjadi satu, membuat kepalanya nyeri. Bagian otaknya yang waras menjerit ini mustahil. Kemudian mulai mencari penjelasan yang bisa ia terima.

Misalnya...

Misalnya...

Apa?

Renjun menoleh ke belakang, ke kelas 2-3. Ia menatap dan menatap, memutar ulang menit-menit yang ia habiskan dengan Shuhua. Ia bisa merasakannya, yakin teman barunya itu tidak jauh. Lagipula, mereka sudah berjanji akan mengobrol lagi. Renjun bahkan sudah menyiapkan topik, bercerita tentang China...

Angin berhembus.

Sesuatu berderit.

Kertas-kertas Taeil berterbangan.

Dan mendadak, Renjun mendengarnya. Bagai desir pohon yang terlalu lembut, suara yang seakan berasal dari mimpi, Shuhua berbisik,

"Renjun, tepatin janjimu ya..."

Baru pertama bikin horor, semoga tydak gagal :vv

STARTED & FINISHED : 01 Jan 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top