Lullaby

Ini adalah salah satu hari dimana aku ingin sendiri-kalian pasti pernah mengalaminya. Jadi, aku pergi ke salah satu taman yang ada di daerah Hongdae. Tapi ternyata pilihanku salah. Dimana-mana terdapat pasangan yang saling merapatkan tubuh atau bahkan berciuman. Dasar para perusak pemandangan. Kalau tahu seperti ini, lebih baik aku tinggal di rumah saja. Tapi karena terlanjur sampai, aku memutuskan untuk duduk sebentar.

Untung saja masih ada satu kursi yang tersisa. Aku cepat-cepat duduk disana sebelum ada pasangan lain yang menyambarnya. Setelah itu, aku mengeluarkan earphone dari tas dan memakainya. Bisa dibilang, aku adalah tipe orang yang sangat bergantung pada benda itu. Eomma sering marah karena kebiasaanku menyumbat telinga, ia takut aku jadi tuli ... tapi dia sedang tidak ada disini kan? Baru beberapa menit bersantai, aku merasakan sesuatu menghantam punggungku, lalu sebuah botol jatuh ke tanah. Aku berbalik dengan marah. "Ya! Apa-apaan itu?"

Pelakunya ternyata adalah seorang gadis cantik dengan mata yang cantik pula. Bentuk tubuhnya benar-benar bagus hingga membuatku iri. "Oh." Serunya dengan ekspresi terkejut yang lucu, lalu segera menghampiriku. "Maaf! Aku benar-benar tidak sengaja. Punggungmu tidak apa-apa?"

Sebenarnya agak sakit, tapi aku mengangguk. "Lain kali jangan menendang sesuatu saat sedang kesal."

Ia menyeringai, lalu setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya duduk disebelahku. "Akan kuingat itu." Selanjutnya kami sama-sama diam. Aku berkali-kali meliriknya. Gadis itu sedang melamun, matanya dipenuhi kesedihan. Cinta atau masalah keluarga? Aku penasaran, tapi tentu saja tidak akan berani bertanya. Karena mulai merasa tidak nyaman dengan keheningan yang menggantung berat disekeliling kami, akhirnya aku memutuskan untuk memulai percakapan. "Namaku Sejeong."

Ia menoleh, lalu tersenyum. Ralat, mencoba tersenyum. "Aku Kang Seulgi."

"Wah, nama kita sama-sama diawali huruf 'S'!" aku tertawa, lalu sadar itu sama sekali tidak lucu. Dasar bodoh. Aku benar-benar harus memperbaiki lawakanku. Tapi, Seulgi ternyata menganggapnya lucu. Ia tertawa terlalu keras hingga aku mengernyit, dan akhirnya malah terisak. Aku langsung panik. "K-kau baik-baik saja kan?"

Seulgi mengangguk, tapi masih meneteskan air mata. "Pernah merasa kesal pada orangtuamu?"

Aku mengangkat bahu. "Beberapa kali."

"Lalu apa yang kau lakukan saat itu terjadi?"

Aku memikirkan pertanyaan ini sejenak, sementara Seulgi sibuk mencari tisu di saku celana jinsnya. "Aku akan menghindari eomma dan mengadu pada adik laki-lakiku-meski dia tidak selalu membelaku sih. Lalu aku akan bernyanyi sampai puas."

"Kalau seandainya adikmu tidak ada?"

Aku tersenyum. "Selalu ada buku diary."

Isak tangis Seulgi sudah mereda sekarang. Ia gagal menemukan tisu, jadi menghapus air matanya dengan tangan. Aku ingin membantu, tapi aku bukan tipe gadis yang suka menyimpan tisu, kecuali saat flu. "Aku tidak terlalu suka menulis, dan adikku..." ada jeda disini. "Ia sedang tidur."

Aneh sekali karena Seulgi tampak sangat sedih saat membicarakan adiknya yang 'tidur'. Mengapa ia berbohong? Aku mengambil kesimpulan Seulgi sedang tidak ingin membicarakannya. "Kalau begitu bernyanyi saja. Cara itu selalu berhasil untukku."

Seulgi menggeleng. "Suaraku sedang parau. Mengapa tidak kau saja yang bernyanyi untukku?"

Aku melotot. "Itu gila! Aku bahkan merasa malu bernyanyi dihadapan eomma. Lagipula, suaraku tidak terlalu bagus kok...."

Seulgi mencoba tersenyum lagi. Ia menatap kesekeliling dan tanpa sadar aku mengikuti gerakannya. "Lihat kan? Semua orang sedang sibuk. Tidak akan ada yang mendengarkan. Kau bisa bernyanyi pelan-pelan."

Dia benar. Aku ingin menolak, tapi tak bisa menemukan alasan yang bagus. Lagipula tidak ada salahnya kan aku menghibur seseorang yang sedang bersedih? "Baiklah, baiklah. Kau menang." Aku menghela napas, lalu mulai memikirkan lagunya. Someday dari BTOB sepertinya bagus. Memang ada beberapa bagian yang sulit karena nada tingginya, tapi aku memutuskan menyanyikan lagu itu. Kepala Seulgi menunduk, rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai menutupi wajahnya, tapi aku yakin ia mendengarkan.

Lirik lagu Someday sangat indah. Bercerita tentang seseorang yang menyesal membiarkan orang yang berharga baginya pergi. Pada awalnya, ia menyalahkan orang itu. Tapi lalu ia sadar dan mengakui bahwa semua yang terjadi adalah salahnya. Ia menyesal, ingin meminta maaf, dan berharap bisa bertemu dengan orang itu lagi suatu hari nanti, di hari yang lebih baik. Lagu itu berdurasi hampir 5 menit, tapi ketika aku baru menyanyikan setengahnya, seorang pria dengan rambut seputih salju dan sangat mirip dengan Jack Frost tiba-tiba datang. Aku langsung diam. "Seulgi," katanya. "Akhirnya ketemu juga. Aku mencarimu kemana-mana. Pulanglah. Mereka sangat mengkhawatirkanmu."

Seulgi menggeleng. Aku baru sadar ia menangis lagi. Pria itu lantas berjongkok di depan Seulgi untuk menghapus air matanya dengan gerakan yang sangat lembut. "Tidak ada seorangpun yang menginginkan hal ini."

"Aku tidak bisa一"

"Ya, kau bisa." Pria itu memeluknya sejenak, lalu membantu Seulgi berdiri. "Lagipula kau tidak sendiri. Ada aku."

"Aku tidak mau bertemu mereka, Taeyong. Tidak sekarang." Rengek Seulgi.

Si Jack Frost mengangguk. "Kau bisa menginap di rumahku. Ayo."

Akhirnya Seulgi luluh juga. Aku memperhatikan keduanya dengan mulut ternganga. Perlakuan dan kata-kata Taeyong pada Seulgi membuatku meleleh. "Sejeong, terimakasih untuk yang tadi. Suaramu benar-benar merdu. Sampai jumpa lagi." Ujar Seulgi.

Aku hanya melambaikan tangan seperti orang bodoh. Tepat saat keduanya menghilang, aku menemukan sesuatu di tempat Seulgi pernah duduk. Ternyata selembar foto yang kelihatannya diambil diam-diam. Pasti milik Seulgi. Mungkin terjatuh saat ia mencari tisu. Pria yang ada di foto itu sedang menoleh ke samping, tapi terlihat jelas kalau ia tampan. Lehernya dililit sebuah choker berwarna hitam dan matanya mirip dengan mata Seulgi. Mungkinkah ini adiknya yang sedang 'tidur'?

Beberapa hari kemudian, adikku, Renjun, terserang flu berat. Ia sering batuk dan bersin, terutama di malam hari hingga aku tidak bisa tidur. Aku benar-benar kesal, jadi aku membujuknya untuk pergi ke rumah sakit karena obat-obatan biasa nampaknya tidak mempan. Tapi dia tidak mau, sehingga aku harus minta bantuan eomma. Butuh serangkaian perjuangan agar kami bisa memasukkan Renjun ke mobil.

Menjelang sore, kami sampai di rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Renjun menatapku dengan sikap bermusuhan, tapi ketika aku bilang akan pergi mencari minuman, ia langsung menggeleng tegas. "Minum saja nanti, temani aku sampai selesai! Bukan aku kan yang minta diseret kesini."

Aku memutar bola mata. "Kau akan memenuhi seisi rumah dengan virus kalau tidak dibawa kemari. Memangnya kenapa? Kau takut, huh?"

Ia mendengus. "Mana mungkin? Aku tidak takut pada apapun!"

"Oh ya?" Aku menyeringai. "Kalau begitu aku pergi dulu. Hati-hati, mereka mungkin akan menyuntik dan membedah alien sepertimu."

"Ya! Nuna!"

Aku tertawa sambil berlari menjauh menuju lift yang tadi kami naiki. Mesin penjual minuman sepertinya ada di lantai dasar, jadi aku menuju kesana. Kalau tidak ada, aku terpaksa membeli di luar. Membeli minuman sebenarnya hanya alasan saja. Sebenarnya aku merasa tidak nyaman disini karena saat kecil, Temanku sering menakut-nakutiku dengan cerita seram tentang kamar mayat. Kupikir ketakutan masa kecil akan hilang saat dewasa, ternyata tidak. Lantai dasarnya sangat ramai. Aku menoleh kesana kemari dengan kebingungan. Dimana sih mesin itu?

Aku tidak berani bertanya pada perawat atau keluarga pasien yang ada disana karena mereka semua kelihatan sangat sibuk. Akhirnya, aku berjalan ke sudut dan bang! Mesin itu ada. Aku berhasil menemukannya. Aku tersenyum, lalu mencari uang koin di saku celanaku. Saat berhasil mengeluarkannya, uang koin itu justru tergelincir dari tanganku dan jatuh. Aku memperhatikan saat uang nakal itu terus menggelinding dan menabrak sepatu seorang gadis yang duduk meringkuk di dekat mesin penjual minuman.

Eh?

Tidak mungkin hantu kan? Hantu tidak akan ada di tempat ramai. Mereka biasanya mendiami tempat sepi. Tapi di rumah sakit banyak sekali hal-hal negatif... selagi aku sibuk bertanya-tanya, gadis itu mengangkat kepalanya. Aku mengenalinya saat itu juga karena matanya yang khas. "Seulgi?" Seulgi mendongak, bekas air mata terlihat mengotori pipinya. Rambutnya tampak berantakan. Ia pastilah sudah menangis sejak tadi. "Kau baik-baik saja? Apa masalah dengan orangtuamu belum selesai?"

Butuh beberapa detik, tapi ia akhirnya mengingatku. Seulgi menggeleng. "Tidak. Aku tidak baik-baik saja karena mereka akan membunuh adikku."

Kata 'membunuh' membuatku membelalak kaget, tapi aku yakin tidak salah dengar. "Siapa yang membunuh siapa? Tenanglah dulu." Dengan pelan, aku meraih lengannya dan membimbingnya duduk di kursi yang terdekat dengan kami.Seulgi tidak menangis lagi, tapi sebagai gantinya, ia menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. "Adikku... orangtuaku akan membunuhnya hari ini."

Aku menarik napas dalam-dalam. Ini Seulgi-gadis yang namanya sama-sama diawali huruf 'S'. Dan dia tidak kelihatan gila sama sekali. Lagipula mereka tidak mungkin membiarkan orang gila berkeliaran bebas kan? Tenanglah. Dia hanya sedikit... kacau. "Mengapa mereka mau melakukan itu?"

Seulgi bahkan tidak menoleh untuk menatapku, terlihat seolah ia bicara dengan dirinya sendiri. Aku mulai khawatir. "Mungkin mereka sudah gila. Aku tidak akan pernah paham meski mereka bilang ini untuk kebaikannya. Aku yakin Wonwoo akan bangun, tapi mereka tidak."Nah ini dia. Aku langsung teringat foto yang kutemukan dan saat ini tersimpan di dompetku.

"Apa yang terjadi?"

Ekspresi itu lagi. Sekarang aku yakin adiknya tidak sekedar 'tidur' seperti pengakuannya. "Setahun yang lalu dia mengalami kecelakaan. Bajingan yang menabraknya melarikan diri. Seandainya saja ia bertanggung jawab dan membawa Wonwoo ke rumah sakit, keadaannya tidak akan separah ini. Ia koma, dan belum bangun sampai sekarang. Orangtuaku mengajukan permohonan kepengadilan untuk mengeutanasianya, dan hakim mengabulkan permohonan tolol itu. Aku tidak tahu soal ini sampai sudah terlambat."

Eutanasia. Aku tidak banyak tahu tentang kata itu, tapi seingatku, eutanasia adalah tindakan pembunuhan atas dasar 'belas kasihan' yang dilakukan pada hewan atau manusia. Gila. Aku memikirkan Renjun yang ada dilantai atas dan mencoba membayangkan eomma pergi ke pengadilan untuk membunuhnya, tapi tidak bisa. Eomma jelas tidak akan melakukan hal-hal seperti itu. Tapi seandainya aku ada di posisi Seulgi, aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Renjun.

Seolah membaca pikiranku, Seulgi berkata, "aku sudah berusaha membujuk mereka, Sejeong, tapi sia-sia. Aku bahkan rela memberi setengah umurku pada Wonwoo."

Pantas saja Seulgi stres. Mendadak, aku merasa sangat marah. "Orangtua macam apa mereka itu?!"

"Kau tidak akan mengerti karena kau belum menjadi orangtua." Sahut sebuah suara. Aku menoleh dan sepenuhnya yakin wanita yang berjalan ke arah kami adalah ibu Seulgi. "Tidak mudah melihat anakmu terbaring seperti orang mati. Kau ingin menggantikannya, tapi tidak bisa. Kami terus berharap dan berdoa dan menangis, tapi putraku tidak menunjukkan kemajuan. Sudah berbulan-bulan yang lalu kami melihat matanya berkedut."

Sebagian diriku memahami wanita itu, tapi sebagian lagi tidak. Aku merasa marah sekaligus bersimpati padanya. "Tapi-"

"Nak," potongnya. "Kami sudah memikirkan ini dengan sungguh-sungguh, bukan sehari-dua hari. Kau tidak mengerti, tapi percayalah kami hanya ingin dia bahagia. Ayo, Seulgi. Kau lah yang akan mematikan respiratornya."

Seulgi bangkit dengan patuh. Ia berjalan kaku disamping ibunya seperti wanita yang akan dihukum gantung. Aku memandangi kedua tanganku, merasa luar biasa kebingungan. Tidak adakah yang bisa ku lakukan? Apa aku hanya bisa berdiam diri ketika mereka akan membunuh si pria ber-choker? Aku memikirkan wajah Wonwoo, lalu perlahan mulai memahami perasaan Seulgi. Tiba-tiba, Seulgi berbalik dan berlari ke arahku. Ibunya yang terkejut tidak sempat menghalanginya. Aku berdiri. "Ada apa?"

Seulgi memegang kedua tanganku. "Maukah kau bernyanyi untuknya? Aku suka suaramu, Wonwoo pasti juga begitu. Mungkin ia tidak akan mendengarnya, tapi bisa saja kan? Aku ingin memberinya hadiah terakhir sebelum dia pergi. Kumohon, Sejeong."

Selain orangtua Seulgi, disana juga ada Taeyong, yang berdiri di dekat jendela. Kamar itu luas. Dindingnya berwarna putih bersih dan begitu... suram. Di tempat tidur, ada adik Seulgi. Wajah itu bahkan terlihat lebih tampan dari fotonya. Meski sangat pucat, ia tidak terlihat seperti orang yang sekarat. Masih ada tanda-tanda kehidupan disana. Bagaimana mungkin mereka mau membunuhnya? Aku menggeleng, sama sekali tidak mengerti.

Seulgi menunduk untuk bisa berbisik di telinganya. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi ia kelihatan susah payah menahan air matanya saat selesai. Aku duduk di sebelah kanan Wonwoo. "Lagu apa yang harus ku nyanyikan?"

"Kau pasti tahu dengan tepat."

Tapi aku tidak tahu. Meski aku mendengarkan banyak lagu dan memiliki hampir 900 lagu di ponselku, saat ini pikiranku kosong. Lagu apa yang cocok untuk suasana seperti ini? Oh, tunggu. Tiba-tiba aku teringat lagu Someday yang ku nyanyikan untuk Seulgi. Lagu itu cocok untuk sebuah perpisahan, dan sangat menggambarkan perasaan Seulgi-setidaknya menurutku begitu. Lagu yang mungkin belum pernah di dengarkan Wonwoo...

Aku berdehem, lalu mulai bernyanyi. Ruangan jadi sangat hening saat semua orang mendengarkan suaraku. Tapi aku tidak malu karena sedang fokus untuk bisa bernyanyi semerdu mungkin. Seulgi terus menggenggam tangan Wonwoo hingga aku selesai. Ia tidak menangis, tapi aku tahu pertahanannya akan segera runtuh.

"Someday let's meet again

On a better day let's be a little happier, let's be a little cooler

Let's meet again for sure I will wait for us

Let's be a little happier let's be a little calmer

Underneath the sunlight that makes my heart beat

Someday..."

Aku berhenti bernyanyi dan menarik napas dalam-dalam.

"Seulgi?" Kata ibunya.

Seulgi menggenggam tangan Wonwoo dengan lebih erat. "Terima kasih sudah lahir dan menjadi adikku-meski hanya sesaat. Aku sering mengejek dan menyebutmu pengganggu, tapi sebenarnya aku sangat menyayangimu. Maaf tidak bisa mengatakan itu saat kau bangun." Ia tertawa kecil. "Di kehidupan selanjutnya, aku tetap ingin menjadi kakakmu. Jadi tunggu aku disana, ya. Kita pasti akan bertemu lagi. "

"Sekarang, nak." Desak ibunya. Aku benar-benar ingin ia tutup mulut.

"Aku tahu." Suara Seulgi terdengar mantap, tapi tangannya justru gemetar saat ia dengan pelan mematikan respirator. Aku memperhatikan ketika dada itu menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, kemudian tidak bergerak lagi. Garis-garis wajahnya tampak lebih santai. Ia kelihatan sangat damai. "Sekarang kau bebas..."

Ketika mesin respirator menunjukkan garis lurus, semua orang mulai menangis. Taeyong memeluk Seulgi dengan erat, sambil membisikkan kata-kata menenangkan. Lalu tanpa bisa ditahan, aku menangis juga. Aku menangis untuk seseorang yang tidak pernah kukenal, yang pergi bersama terbenamnya matahari.

Note : Ff lama lagi, tapi ini benar-bener spesial buat gua soalnya disini gua nyoba2 bikin tema yg gak biasa hehe

STARTED & FINISHED : 10 FEB 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top