4. The Darkest Day
Haechan tidak memperhatikan ini sebelumnya; tapi jalan Busan siang ini tampak lengang. Sepi sekali.
Selain mobilnya dan Camaro yang menabrak mereka, ada mobil-mobil lain一entah jenis apa, tapi kelihatannya mewah一yang terparkir sembarangan. Orang-orang menghilang. Hanya ada barang-barang mereka yang tertinggal; boneka anak-anak, tas tangan wanita, dan payung di seberang.
Kemana penumpangnya?
Ia tidak peduli.
Ia memilih memejamkan mata.
Tapi sedetik kemudian, matanya membuka lagi, merasakan tarikan seseorang dibahunya. Shuhua, dengan susah payah, berhasil menjadi orang pertama yang keluar dari mobil, dengan cara merangkak melalui pecahan kaca jendela. Gadis itu berusaha mengeluarkannya, tapi Haechan bahkan tidak berusaha. Dia pasrah.
Renjun menyusul, memegangi kepalanya dan tongkat Haechan dengan tangan lain. Wajahnya berkerut marah. "Jangan diam saja, bodoh!" Bentaknya. "Kita harus pindah kendaraan gara-gara ulahmu!"
"Yang itu," Shuhua menyahut, menunjuk pada sebuah sedan putih yang berada paling dekat dengan mereka. Pintu pengemudi terbuka, kunci terlihat menggantung di lubangnya. "Kita pakai yang itu."
Renjun mengangguk paham, segera berdiri. Ia seperti lupa pada luka di kepalanya saat berlari menuju mobil itu. Sepatunya menimbulkan bunyi yang cukup keras ketika beradu dengan aspal, dan semakin keras lagi saat tak sengaja menginjak botol air mineral yang kosong.
Krek, begitu bunyinya.
Tapi seolah tombol yang memicu ledakan bom, pintu Camaro一yang memang sudah terbuka一tiba-tiba terbuka lebih lebar. Seorang pria keluar dari sana, dengan tubuh membungkuk dan kepala tertunduk.
Apa ia terluka?
Mata Renjun menyipit. "Anda baik-baik saja?"
Mula-mula pria itu diam. Darah terlihat menetes dari jari tengahnya, membuat Renjun khawatir. Tapi ketika dia akan mendekat, tiba-tiba si korban (ataukah pelaku?) menegakkan bahu, menimbulkan suara berkeretak yang aneh. Lalu perlahan, ia mendongak.
Menampakkan seraut wajah dengan bekas cakaran dan mata yang keruh. Mata yang sama dengan para monster di rumah sakit, dan一Haechan benci mengakui ini一mata Hyanggi juga.
Begitu menangkap eksistensi Renjun, pria itu menyeringai, memamerkan gigi-giginya seperti hyena yang kelaparan. Kemudian, ia mulai berlari.
Menubruk Renjun yang terkejut, terlambat bereaksi.
Keduanya kontan terjatuh; posisi Renjun tidak menguntungkan. Luka di kepalanya bertambah, mengucurkan lebih banyak darah. Zombie itu menahan tubuhnya, dengan cengkeraman kuat di bahu. Rahang terbuka lebar, dekat sekali ke lehernya.
Tapi dalam hitungan detik, Renjun pulih.
Dan ia pun beraksi一
Ekspresinya tampak buas saat ia balas memukul zombie, menggunakan bagian tajam tongkat. Pukulan pertama, meleset! Pukulan kedua, nyaris, tapi hanya mengenai telinga. Yang ketiga, akhirnya mendarat di kepala si zombie, menimbulkan percikan darah yang mengotori aspal dan pakaiannya.
Si kecil itu, dia memang hebat, tapi jelas butuh bantuan.
Karena setelahnya, lawannya justru jadi semakin agresif.
Shuhua pun bangkit. Melangkah dengan satu kaki yang terseret, berniat jadi penolong. Sayang, zombie lain lebih dulu muncul dari Camaro itu. Berlari ke arahnya seperti setan yang keluar dari neraka. Tidak hanya satu, tapi dua sekaligus.
Rahang Shuhua mengeras.
Tangan kosongnya terkepal.
Haechan, diam-diam tertawa dalam hati. Kalau dengan senjata saja kesulitan, memangnya kamu mau apa?
Tapi detik berikutnya, ia terkesiap.
Kaki Shuhua yang sehat terangkat, menendang zombie pertama yang paling dekat dengannya, arahnya pas menghajar dagu, menumbangkan dengan satu gerakan. Saking kerasnya, Haechan sampai bisa mendengar suara tulang yang bergeser. Atau mungkin patah? Zombie itu seketika memuntahkan darah.
Namun Shuhua belum selesai.
Gadis itu membungkuk, menjambak rambut si zombie sebelum bisa bangun, dan meletakkan tangan lain dengan hati-hati di lehernya. Sorot matanya yang sudah dingin tidak berubah sedikitpun saat ia memutar kepala zombie itu ke samping, kali ini一Haechan yakin sekali一mematahkan tulang-tulang di lehernya. Menghentikan perlawanannya.
Bisa bela diri dia.
Tapi kaki adalah bagian penting dalam pertarungan. Kaki punya peranan besar. Tanpa itu, gerakanmu akan terganggu. Zombie kedua berhasil memojokkan Shuhua, memanfaatkan detik-detik singkat ketika Shuhua terkesiap akibat rasa sakit.
Pada akhirnya, ia sama seperti Renjun. Terpojok.
Namun sekali lagi, Haechan tidak peduli.
Ia hanya menyaksikan dalam diam bagaimana mereka bergumul. Seolah sedang duduk di sofa rumahnya, menonton salah satu adegan drama yang disukai Hyanggi. Keduanya pembunuh. Ia tak punya urusan apapun dengan mereka. Kenal saja tidak. Jadi untuk apa menolong? Buang-buang waktu.
Lebih baik, pikir Haechan, aku pergi dari sini.
Biar saja mereka di makan zombie.
Ia bisa melangkah ke mobil itu sekarang, lalu mencari bantuan.
Dan memang itulah yang ia lakukan.
Haechan berdiri, tak menghiraukan Renjun dan Shuhua yang memanggilnya, selagi mereka masih berusaha一dan gagal一menggulingkan zombie. Dua zombie laki-laki itu terlalu kuat untuk mereka.
"Hei, bodoh! Mau kemana? Kamu一jangan pergi!"
"Jangan melarikan diri sendiri, jaket biru!"
Ya ya ya bicaralah sesuka kalian.
Haechan merespon dengan menutup pintu mobil. Lalu mencoba menyalakan mesin dengan kunci yang tergantung disana. Benar-benar berfungsi rupanya. Mesin menyala dengan suara derum pelan. Ia tersenyum, menanggapi ekspresi mereka yang tercengang.
Selamat tinggal, pecundang.
Haechan meletakkan tangannya di kemudi, menggenggamnya dengan erat. Dadanya naik ketika ia menarik napas panjang. Kakinya bersiap di pedal gas. Dengan cara ini, ia akan bertahan hidup, sesuai keinginan Hyanggi. Gadis itu, jika ada disini, dia pasti akan...
Haechan mendadak terdiam.
Wajah adiknya hadir dengan sangat jelas. Ada ingatan yang terputar di benaknya. Bukan sembarang ingatan, melainkan ingatan saat ia melihat Hyanggi menolong orang lain. Anak yang jatuh dari sepeda, seorang ibu yang kerepotan membawa belanjaannya, nenek tua yang hendak menyebrang, bahkan kucing yang hampir tertabrak.
Dan tentu saja, remaja laki-laki di rumah sakit yang membuatnya terbunuh...
Hyanggi itu bodoh. Dia suka menolong orang lain tanpa mengharap imbalan, tidak peduli meski dirinya sendiri terluka. Altruisme.
Haechan tidak mau jadi seperti itu.
Tapi...
Hyanggi tidak hanya berkata ia harus bertahan, tapi juga bertahan "demi orang lain yang membutuhkan bantuanmu". Apakah itu tanda bahwa Hyanggi ingin ia mengurangi sifat egoismenya? Menjadi makhluk sosial, karena ia juga pasti tidak bisa hidup sendiri?
Lihat saja Renjun.
Walaupun membunuh Hyanggi, di sisi lain ia telah membantu Haechan hidup. Memperpanjang napasnya. Ia dan Shuhua tidak sepenuhnya salah.
Tapi...
Haechan memejamkan mata.
Hyanggi, jika ada disini, apa yang akan ia lakukan?
Bagaimana reaksinya melihat Haechan hanya duduk tenang sementara 2 penolongnya sedang kesulitan? Bagaimana?
Jawabannya sudah jelas.
Oh, sialan.
Ia mengumpat pada keadaan, lalu keluar dari mobil hingga pintunya terbanting. Si jaket biru itu bergerak cepat menjambak rambut zombie yang ada di atas tubuh Renjun, mencengkeram erat, lalu menghantamkan wajahnya ke aspal.
Sekali, dua kali, tiga, empat一ia tidak berhenti meski wajah zombie itu hancur. Hantamannya justru semakin kuat. Ia marah. Ia murka. Sambil berteriak, di injaknya kepala si zombie, lalu merebut tongkatnya dari Renjun, menusukkan benda itu ke matanya. Kedua matanya. Membunuh monster itu dengan cara tersadis yang bisa ia pikirkan.
Ini. Tak diragukan lagi, Hyanggi pasti akan menolong mereka. Melakukan ini.
Haechan...
Ia meraih payung yang sempat ia lihat di awal tadi.
... ingin menghidupkan Hyanggi dengan cara ini.
Bagian besinya yang tajam ia tancapkan pada zombie kedua, tepat ke tengah tengkuknya. Baru kemudian ke kepala, hingga ia merasakan sesuatu yang lembek. Otak? Ia tertawa, puas sekali. Senang. Mati kau!
Semuanya mati!
Tawa Haechan jadi lebih keras, tak terkendali. Tak bisa menghentikan diri. Rasanya seumur hidup, ia tak pernah tertawa sekeras itu. Dan memang tak seharusnya tertawa. Sekelilingnya penuh dengan darah. 3 mayat yang 2 diantaranya ia bunuh. Dan mobilnya yang terbalik. Tak ada yang lucu. Tapi toh, Haechan tetap tertawa.
Mereda hanya karena pertanyaan Shuhua, "Kamu nggak apa-apa?"
Ia mengangguk. Padahal tidak begitu. Jauh dalam benaknya, Haechan merasa kacau. Amat kacau. Tapi ia tak punya waktu untuk berduka. Saat ini, amarah mendominasi. Dan ia menggunakan amarah itu seperti bahan bakar untuk tetap hidup.
Demi Hyanggi.
Demi orang lain yang membutuhkannya.
"Ayo pergi," ajaknya, pada Renjun dan Shuhua. Berjalan ke arah mobil baru mereka. Menghibur diri dengan berkata mobil itu lebih bagus dari mobil lamanya. Yah, walaupun itu tidak terlalu berguna.
Tapi baru beberapa langkah, Haechan berhenti.
Suara yang berasal dari Camaro membuatnya menoleh. Ia mengira ada benda yang jatuh karena angin, tapi perkiraannya salah. Salah besar. Seorang zombie perempuan berdiri tidak jauh darinya. Dengan suara geraman yang kini tidak asing.
Refleks, Haechan segera mencabut tongkatnya dari rongga mata zombie pertama, lalu mengangkat benda itu.
Orang-orang ini, sepertinya mereka tadinya hendak berkendara ke suatu tempat, lalu ada yang tergigit. Menularkan virus pada yang lain. Sehingga mobil jadi melaju asal. Dan gadis itu, menjadi yang terakhir berubah. Sedang dalam proses bertransformasi saat ia berkelahi.
Haechan jadi bertanya-tanya, mana yang lebih baik, menyaksikan orang yang kau sayang jadi monster, atau ikut berubah seperti mereka?
Ia tidak tahu. Ia tidak peduli.
Yang pasti, ia akan membunuh zombie itu. Walaupun si gadis tidak bersalah. Mau bagaimana lagi?
Siap...
Zombie itu mulai bergerak. Berlari dengan hanya satu kaki yang memakai alas, menjadikannya target karena ia satu-satunya yang berdiri. Rambutnya yang panjang berayun ke kanan kiri. Haechan bisa melihat pita pink yang ia pakai, tampak miring.
Tunggu.
Pita ... pink?
Seperti Hyanggi.
Tanpa sadar, Haechan menurunkan tongkatnya. Tersentak kaget. Tangan yang memegang tongkat itu gemetar.
Renjun yang melihatnya ternganga. "Hei, kamu一"
Haechan cuma bisa berkedip.
Kalau dilihat dari dekat, postur gadis itu mirip Hyanggi. Mungil, kurus, ditambah pita pink itu...
Haechan tidak...
"Jaket biru, awas!"
Bisa.
Tongkatnya terjatuh. Tapi zombie itu juga.
Seseorang sudah menembaknya.
Lalu berkata, "Yo, kalian oke, bocah?"
Tentara berseragam loreng hijau dengan tulisan "Kim Doyoung" di dadanya tersenyum. Pistolnya nyaris tak mengeluarkan suara, hanya asap tipis yang segera menghilang di telan udara. Sudah di pasang peredam.
Renjun menghela napas lega. "Nggak sia-sia aku nyetir ke markas tentara."
Markas tentara itu cukup luas. Ada banyak orang disana, yang menjawab pertanyaan Haechan kenapa tidak ada orang di jalan. Semua sudah mengungsi kemari, yang untuk memasukinya, harus diperiksa dengan teliti dulu.
Repot, tapi setara dengan keamanannya.
Para tentara menjaga mereka. Berdiri dekat dinding yang telah dipasang kawat berduri. Wajah tegas, pistol siaga. Kehadiran mereka memberi ketenangan, meski tak bisa dihindari, ada saja wanita dan anak-anak yang menangis.
Tapi Haechan tidak termasuk di antaranya.
Ia tampak tenang. Sibuk mendekatkan ponsel ke telinga, mencoba menghubungi seseorang. Tapi panggilannya justru di alihkan ke kotak suara.
"Bu, ini aku. Apa ibu baik-baik saja? Aku nggak bisa pulang sekarang, tapi jangan khawatir, aku ada di tempat yang aman. Markas tentara. Tolong hubungi aku secepatnya setelah ibu mendengar pesan ini, ya? Aku ... aku menyayangimu, bu..."
Klik. Panggilan terputus.
"Nggak berhasil?"
Renjun, yang duduk di sebelahnya, bertanya. Disertai senggolan pelan di bahu.
Haechan menggeleng. "Mungkin sedang sibuk. Rumahku punya pagar yang tinggi, jadi dia pasti baik-baik saja."
"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Renjun. Dia lebih memilih mengalihkan topik. "Makasih buat yang tadi. Walaupun bantuanmu hampir telat sih..."
Bukannya tak menyadari sindiran dalam kalimat itu, Haechan terlalu lelah untuk berdebat. Ia diam saja.
"Namaku Renjun, omong-omong. Kalau dia," pria itu menunjuk Shuhua, yang tengah bicara dengan seorang tentara wanita, mungkin meminta perban dan semacamnya, setelah memberi Haechan pita Hyanggi yang awalnya ia ambil karena bagus. "Shuhua."
"Dan aku Haechan, bukan 'bodoh'."
Renjun langsung terbahak, mengundang perhatian dari orang sekitar. "Maaf, maaf. Aku kan nggak tahu. Maaf juga soal adikmu, ya? Aku nggak sengaja. Eh..." Ia tampak salah tingkah saat Haechan menatapnya lekat. "Sebenernya memang sengaja, tapi aku nggak bermaksud sekasar itu. Soalnya monster-monster itu cuma bisa mati kalau一"
"Ya, aku juga minta maaf."
2 kata terakhir membuat Renjun terkejut. Jelas ia tak menyangka Haechan akan mengatakan itu.
Tapi Haechan adalah Haechan.
Meski egois, ia bukan tipe orang yang alergi berkata maaf. Dia pria sejati yang tidak segan mengakui kesalahannya.
"Makasih, Renjun. Sudah menolongku."
Renjun tersenyum, kembali menyenggol bahunya. "Hei, nggak masalah. Lagipula bukan mobilku yang rusak."
Bocah sinting.
Masih bisa melawak di situasi seperti ini.
Tapi tak urung, Haechan turut tertawa.
Ini hari yang panjang. Sangat melelahkan. Meski nasib orang tuanya belum jelas dan Hyanggi terbunuh, setidaknya ia selamat. Itu hal yang patut disyukuri.
Mulai sekarang, Haechan tidak ingin hanya sekedar hidup. Bersantai tanpa tujuan yang jelas. Ia ingin berubah. Melawan monster-monster yang ia yakini masih ada banyak di luar sana. Tidak dengan cara bar-bar, melainkan elegan. Seperti...
Kim Doyoung itu.
Ia pun bangkit.
Renjun memperhatikannya, memanggil namanya dengan benar untuk kali pertama. Tapi ia hanya menoleh sekilas ke belakang, meneruskan langkahnya mendekati Doyoung, yang tengah bicara dengan tentara lain sambil sesekali menggerakkan tangan. Mungkin atasannya.
Lalu dengan sopan, Haechan membungkuk.
"Terima kasih buat bantuannya. Terima kasih banyak."
Doyoung nyengir. Menyodorkan 3 botol air mineral, yang tampaknya memang ingin ia beri padanya. "Nih," kata tentara itu. "Minum dan cuci muka. Kalian jelek sekali, tahu? Berantakan pula. Mirip bebek yang jatuh di lumpur."
Rekannya tertawa. Menepuk pundak Haechan pelan. Tanda kepangkatan di seragamnya menunjukkan dia adalah letnan jenderal, bernama "Kim Suho". "Istirahatlah. Kamu pasti lelah kan?"
Haechan menggeleng. Dia justru menegakkan tubuhnya. Lalu dengan tegas berkata, "Namaku Lee Haechan. Usia 19 tahun. Aku kuliah jurusan musik semester 2. Nggak punya pengetahuan khusus tentang tentara, dan nggak pernah berminat jadi seperti kalian sebelumnya. Tapi sekarang, kalau kalian butuh rekrutan baru, aku siap mendaftar. Tidak peduli latihannya sekeras apa, dan akan ditempatkan dimana."
Mulut Doyoung terbuka lebar.
Renjun, yang menonton sejak tadi, kehilangan kata-kata.
Shuhua dan beberapa orang lain juga terdiam.
Tapi Suho, dia justru tersenyum. "Mau jadi prajurit, ya? Katakan alasannya."
Haechan merasa lega melihat itu. Dia balas tersenyum kecil. Sebelum kembali serius. "Siap, pak! Saya ingin mengabdi pada negara, menyelamatkan orang lain yang butuh bantuan, bahkan meski harus melawan para monster."
Dan tentu saja, tambah Haechan dalam hati, menemukan orang tidak tahu diri yang menjadi penyebab utama meninggalnya Hyanggi.
Kalau dia masih hidup, Haechan bersumpah, demi pita Hyanggi yang ia genggam, akan membuatnya membayar mahal atas apa yang ia lakukan.
Kagak tau ini bisa disebut short story ato bukan, yang jelas gua mau ngucapin makasih buat yang baca. Jan lupa tulis kesannya buat work ini ya! 😳👍
STARTED : 12 OKTOBER 2019
FINISHED : 20 OKTOBER 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top