3. The Darkest Day

Ia dan Hyanggi kembar.

Sama-sama lahir tanggal 6 Juni tahun 2000, hanya berbeda beberapa menit. Sejak sebelum lahir sudah bersama, berlanjut hingga kini. Keduanya sering berkata benci pada satu sama lain, tapi tak pernah bertengkar lebih dari sehari. Haechan punya cita-cita jadi komposer musik terkenal; Hyanggi, bertentangan dengannya, ingin jadi pengacara.

Jadi terpaksa masuk jurusan kuliah yang berbeda. Tapi bukan masalah; mereka tetap dekat, selalu bersama bagai asap dan api. Seperti halnya anak kembar lain, Haechan dan Hyanggi punya dunia kecil mereka sendiri, yang tak bisa dimasuki oleh orang lain.

Mereka seolah tak terpisahkan.

Bahkan, setengah main-main dan setengah serius, Hyanggi pernah berkata, "Kalau aku nikah nanti, aku mau rumahku bersebelahan dengan Haechan, supaya kami bisa bertengkar terus."

Dan Haechan menanggapinya dengan tawa. Berpikir itu adalah ide yang bagus. Kamu dan aku Hyanggi, terus bersama sampai kita tua, seperti saat kita lahir.

Itu harapan yang sederhana, bukan?

Apakah Haechan berlebihan jika ingin harapan itu terkabul? Lalu mengapa Tuhan mengacaukannya? Ataukah ia yang salah karena membawa Hyanggi kemari?

Haechan sungguh tidak mengerti.

Batinnya kalut. Rasa takut mendominasi dirinya kala melihat Hyanggi menatapnya dengan sepasang mata keruh yang mengerikan. Mirip 2 orang yang ia bunuh tadi. Mirip monster-monster yang ada disini. Hyanggi, dimana kamu?

Pria 19 tahun itu bertanya-tanya, namun jawaban tak pernah ada. Hyanggi justru melompat menerjangnya, membuat mereka bergumul di tanah. Bibirnya menyeringai hingga gigi gerahamnya terlihat. Dan dengan gigi itu, berusaha menggigitnya.

Haechan, menuruti insting, mengangkat tangan ke arah leher Hyanggi, menghalangi sambil menjaga jarak. Ia bisa saja mencekik, menyelesaikan ini dengan cepat, tapi tak tega. Sebaliknya, ia justru berkata, "Hyanggi, sadarlah! Ini aku! Hyanggi!"

Ia mengucapkan nama itu berkali-kali, sepenuh hati, dengan air mata yang mengaburkan pandangannya. Berharap suara dan panggilan itu akan mengembalikan adik kecilnya. Cinta seorang kakak, pasti berefek sesuatu kan? Ia ingin mempercayai itu一bahwa Hyanggi belum benar-benar pergi.

Monster. Yang benar saja. Hyanggi yang hobi menolong siapapun lebih cocok disebut malaikat.

Ia bukan monster.

Haechan mulai kewalahan. Satu lutut Hyanggi yang menekan perutnya menimbulkan sakit yang menusuk. Mempersulit pernapasan. Ia bisa merasakan keringat jatuh, bercampur dengan air mata. "Jangan begini, Hyanggi. Kembalilah! Kamu nggak ngenalin kakakmu sendiri?"

Respon Hyanggi adalah geraman; suara kasar yang keluar dari dasar tenggorokannya, yang sama sekali belum pernah ia dengar. Tenaga gadis itu seolah bertambah 2 kali lipat, terus menekan Haechan, semakin dekat ke leher. Lalu memanfaatkan keraguannya, kepalanya menyentak ke samping, beralih mengincar tangan yang terbalut lengan jaket.

Haechan yang terkejut langsung otomatis mendorongnya. Terlalu keras! Hyanggi terlempar dari atas tubuhnya, tergeletak di tanah, marah. Tapi dia cepat bangkit, mungkin tak lagi merasakan sakit. Membalas dengan menghempaskan Haechan ke mobil, membuatnya mengerang. Rasa nyerinya tak tertahankan.

Tapi sebagian besar sel otak Haechan yang masih waras memintanya tidak menyerah; tidak mau mati konyol disini meski di tangan Hyanggi. Ia terus menahan gadis itu一memegangnya di leher, tanpa sanggup mendaratkan pukulan balasan. Wajah cantik itu, meski matanya terlihat kosong dan mati, tetaplah wajah adiknya.

Ia menangis melihatnya seperti ini.

"Tolonglah..."

Haechan memohon; pada Tuhan supaya membangunkannya dari mimpi buruk ini, pada Hyanggi agar kembali, dan pada waktu agar berputar balik.

Haechan rela melakukan apapun, apapun, untuk mengubah keadaan, bahkan menukar posisi mereka. Ia tidak peduli jika dirinya-lah yang jadi monster. Itu tidak masalah, asal bukan Hyanggi.

Adiknya lebih manusia dibanding manusia lain yang egois. Ia layak hidup.

"Hyanggi..."

Lengan Haechan terasa panas. Ototnya menjerit. Ia tidak kuat terus seperti ini. Pilihannya hanya 2 : melawan atau pasrah. Menyakiti Hyanggi atau mengorbankan hidupnya. Tak ada yang bagus. Tak ada yang ia suka. Tapi pada satu titik, ia tahu harus melakukan sesuatu.

Berlama-lama disini akan mengundang perhatian lebih banyak zombie. Ia harus...

Harus apa?

Membunuh ... Hyanggi一 sebagian jiwa dan hatinya?

Haruskah, haruskah, haruskah?

Haechan berdebat dengan dirinya sendiri, disertai tangis yang mewakili rasa frustrasi.

Tapi hanya sebentar, ada yang datang mengambil beban itu darinya. Seorang pria dan gadis muda yang tidak ia kenal, muncul entah dari mana. Mereka bergerak cepat; satu orang menarik Hyanggi, yang lain mengangkat sebuah benda yang ujungnya memantulkan sinar matahari. Lalu tanpa kata, yang pria, menusukkan benda itu ke kepala Hyanggi, membuat benda itu menancap dalam.

Haechan menyaksikan dengan penuh kengerian saat adiknya terdiam. Mata membelalak lebar. Tangan menggantung di udara. Sebelum kemudian ia jatuh, tubuhnya luruh seperti boneka marionette tanpa benang. Tersentak-sentak sebentar, lalu tak bergerak lagi.

Tak. Bergerak. Lagi.

"Hyanggi一"

Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, pria itu sudah menarik senjata yang ia gunakan一sebuah obeng, lalu menusukkannya lagi ke kepala Hyanggi. Kedua kali, pita pink-nya terlepas dari rambut. Kali ketiga, menyasar jantungnya dengan telak.

Dia membunuhnya. Membunuh Hyanggi.

"Kamu nggak apa-apa?" Rekan pembunuh itu bertanya, memeriksa lengan Haechan dengan menyingkap jaketnya, lalu menghembuskan napas lega begitu tak mendapati luka apapun selain percikan darah. "Dia bersih, Renjun."

Renjun, nama si pembunuh, membersihkan obengnya dengan cara mengelap benda itu ke pakaiannya. Setelah itu membungkuk, mengambil tongkat sapu yang Haechan pakai tadi. "Ini berguna," katanya, dengan suara dan wajah yang terlalu lembut dibandingkan perbuatannya. "Ayo pergi, Shuhua. Mobil ini sepertinya bisa dipakai."

"Ikutlah," Shuhua membungkuk juga, meraih pita pink milik Hyanggi lalu menarik Haechan yang mematung ke mobil. Ia salah mengerti; mengira Haechan shock karena diserang zombie. Padahal yang membuatnya seperti ini adalah sadisnya cara Renjun menyingkirkan Hyanggi.

Ekspresi dingin itu, apa yang sudah ia lakukan?

Renjun juga tak menyadari. Dengan cepat pria yang lebih pendek dari Haechan itu memutari mobil untuk mengambil alih kemudi. Kunci ada dalam kuasanya, mesin meraung hidup dengan benda itu. Ia kemudian menutup pintu, tepat waktu ketika ada zombie pria yang datang, menghantamkan kepala ke kaca.

"Sial." Tak repot-repot memasang sabuk pengaman, Renjun menginjak pedal gas. Roda mobil berputar, bagian depannya menabrak para zombie yang mengerubungi, menggilas mereka yang terjatuh tanpa ampun.

Saat itulah, Haechan tersadar, menatap tubuh Hyanggi yang tergeletak di genangan darahnya sendiri.

Ia berteriak, "HYANGGI!" sambil berusaha membuka pintu mobil.

"Hei, hei, mau apa kamu?" Shuhua, yang duduk disebelahnya berusaha menghalangi. Menahan tubuh Haechan dengan cengkeraman erat di lengan. "Jangan keluar!"

Renjun menatapnya dengan tatapan bingung. "Kenapa sih dia?"

"Brengsek!" Haechan menyemburkan makian itu dengan segala kemarahan yang ia punya, diiringi tatapan balasan yang seolah bisa membakar Renjun. "Pembunuh! Apa yang kamu lakukan??"

Kecepatan mobil meningkat. Di sela kekacauan rumah sakit, kendaran itu menjadi satu-satunya yang bergerak, menerobos apapun untuk keluar一manusia, zombie, Renjun tidak pilih-pilih. "Menyelamatkanmu, memangnya apa lagi?"

"Monster itu berusaha menggigitmu," sambung Shuhua, enggan melonggarkan cengkeramannya. "Kalau dia berhasil, kamu akan berubah jadi seperti mereka. Paham nggak?"

"Yap." Renjun mengangguk setuju. "Kamu seharusnya berterima kasih lho. Untung aku sempat ngambil obeng tukang service AC."

Dia berujar, bangga sekali.

Bocah tak tahu diri!

Tawa Haechan pecah tak terkendali. Keluar dalam bentuk suara parau mirip yang dimiliki para perokok. Tawanya histeris. Tak bisa berhenti一sulit berhenti, meski Renjun dan Shuhua melihatnya dengan wajah aneh yang seolah berkata, 'sudah sinting, ya?'. "Yang kamu bunuh tadi adalah adikku!"

Renjun tertegun. Kehilangan kata. Tapi ia tidak berhenti mengemudi, terus mengarahkan mobil menjauh dalam kecepatan tinggi. Bukan melaju asal, ia punya tujuan, meski Haechan tak tahu tepatnya. "Adik? Jadi dia adikmu?"

"Ya." Senyum Haechan sama kosongnya dengan sorot mata Hyanggi. "Dan kamu mengharapkanku berterima kasih?"

Dalam kepalanya, masih terbayang jelas peristiwa itu.

Renjun, si pahlawan yang tidak diharapkan, membunuh Hyanggi dengan tangannya sendiri. Menusuk kepala, kemudian jantungnya. Membunuh Hyanggi seketika. Mengambil napas terakhirnya. Bocah ini, bocah berwajah malaikat ini, dia sebenarnya hanya pembunuh yang dengan tololnya mengira perbuatannya benar.

Haechan menggeram, meraih tongkatnya dan memukul Renjun dari belakang. Mobil oleng beberapa saat. Kepala Shuhua membentur kaca dengan keras karena tak sempat berpegangan. "Hentikan mobilnya! Aku harus kembali ke rumah sakit, Hyanggi ada disana. Dia masih disana!"

Di atas mereka, helikopter terbang dengan bunyi keras yang khas. Bukan satu atau 2, tapi puluhan. Sirene mobil polisi, ambulans dan pemadam kebakaran saling bersahutan, menyatu dengan jeritan panik orang-orang, yang sebagian menghambur ke jalan.

Umpatan Renjun agak teredam karenanya. "Brengsek! Apa maumu, hah? Adik atau bukan, dia sudah berubah! Dia berbahaya! Lagian apa yang akan kamu lakukan? Bunuh diri? Pikir sebelum bicara, dasar bodoh!"

Perkataannya benar, tentu saja, tapi bukan itu yang ingin Haechan dengar. Ia tak mau mengakui bahwa tindakan Renjun tepat. Ia marah, murka, dan pembunuh ini menjadi sasaran yang tepat untuk melampiaskannya.

Renjun seharusnya tak disini一Haechan tidak menginginkannya. Ini mobilnya, mobil Hyanggi juga. Apa haknya duduk di kursi kemudi? Bedebah, keparat一

Haechan memukulnya sekali lagi, tak berhenti meski Shuhua menghalangi. Pasangan sinting. Bertindak seolah Bonnie dan Clyde. Sok jagoan. Mereka lebih cocok jadi makanan para zombie dibanding Hyanggi.

"Lepaskan leherku, bodoh! Aku sedang menyetir!"

"Ada apa denganmu? Lepaskan dia! Kita semua bisa mati!"

Benar, mati. Tapi Haechan tak peduli. Mungkin harus begitu supaya ia bertemu Hyanggi. Membayangkan hidup tanpa gadis itu一Haechan tak sanggup. Lebih baik ia menyusulnya sekarang.

Hyanggi...

Sebuah mobil tiba-tiba muncul dari arah samping; Camaro tua dengan cat kuning yang sudah pudar. Mobil itu melaju seolah dikemudikan oleh orang mabuk, oleng ke kiri, kemudian menabrak pembatas jalan di bagian kanan. Tapi tak berhenti, Camaro itu malah menuju ke arah mereka, dengan ban yang sesekali menimbulkan bunyi gesekan di aspal.

Renjun, yang masih berusaha melepaskan tangan Haechan di lehernya, membanting setir ke kanan dalam usahanya menghindar. Tapi ia tidak sempat.

Guncangan keras terjadi ketika Camaro menghantam bagian samping mobil Haechan. Kecepatannya yang tinggi membuat mobil terseret beberapa meter, miring sesaat, kemudian terbalik. Kaca pecah berhamburan, sebagian mengenai wajah ketiga penumpang. Kepala Renjun bahkan mengeluarkan darah akibat terantuk setir dengan keras. Kaki Shuhua terjepit kursi di depannya dalam posisi aneh. Mereka mengerang.

Haechan, sebaliknya, meski menggantung dalam posisi terbalik justru tersenyum.

Tunggu sebentar. Kita akan pergi bersama, Hyanggi.

Hehe ternyata kagak bisa dijadiin 3 part, mesti namabah 1 lagi 😳

Btw virus rusa zombie itu beneran ada lhoh

Tetap waspada, dan siapkan ak 47!1 .G

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top