2. The Darkest Day

Seumur hidup, Haechan yakin ia tidak pernah melihat pemandangan yang semengerikan itu.

Dokter yang tenggorokannya terluka, kemudian menyerang pasien dengan cara yang sangat brutal. Ini tidak ada apa-apanya dibanding saat menyaksikan film horor yang katanya berasal dari kisah nyata. Tidak, lupakan soal itu一ini ratusan kali lebih buruk.

Apalagi dengan fakta bahwa jalan keluar masih jauh.

"Ayo, cepat!" Hyanggi berujar tanpa menoleh, berlari di depan sambil setengah menyeret Haechan. Napasnya terengah-engah. "Tempat ... ini, kita harus keluar sebelum semuanya jadi semakin kacau."

Haechan tidak menjawab一tidak bisa, tepatnya. Kalut dan takut bercampur jadi satu, merenggut kemampuannya bicara. Ia bisa merasakan darahnya berdesir cepat dalam nadi, detak jantungnya yang meningkat, dan keringat yang membuat punggungnya terasa lembap.

Tapi sebagai seorang pemikir, otaknya terus bekerja; memilah berbagai kemungkinan dan mencari jawaban dari setiap pertanyaan; kemana? Bagaimana caranya keluar?

Teriakan-teriakan yang masih terdengar  memberi tahunya bahwa keadaan di lantai bawah tidak jauh lebih baik. Bisa jadi, ada lebih banyak monster seperti dokter tadi.

Dengan tangan kosong, apa yang bisa dilakukan?

Haechan tertegun. Mendadak menyadari sesuatu.

"Hyanggi, pintunya belum一"

Tapi ia sudah terlambat.

Lantai 3 yang tadinya normal kini dipenuhi jeritan yang mengoyak udara. Beberapa orang mengikuti mereka, mendorong satu sama lain. Ada yang sampai jatuh terguling, untuk kemudian terinjak kaki-kaki yang berlari panik. Anak-anak menangis; suaranya menambah kengerian di situasi ini.

Tak satupun orang dapat berpikir jernih. Semuanya hanya ingin menyelamatkan diri, hingga lupa...

Menutup pintu darurat.

Monster-monster menyerbu masuk dari sana, seolah dikirim langsung oleh raja neraka. Pertama-tama 1, 3, lalu 6 dan一Haechan kehilangan hitungan! Mulutnya ternganga menatap hal itu.

"Mereka banyak sekali!" Ia berujar, memaksa kakinya berlari lebih cepat, walaupun pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. Sialan, kenapa ini harus terjadi saat ia sakit? Sialan.

Hyanggi menjawab dengan anggukan singkat, dan satu kalimat yang juga singkat. Mereka sudah sampai di lantai 2 sekarang. 1 lantai lagi, maka mereka akan keluar dari gedung. Tapi bisakah?

"Orang yang tergigit sepertinya nggak mati, malah berubah jadi monster juga. "

Zombie?

Pikiran Haechan langsung tertuju pada game yang sering ia mainkan. Apa ini sungguhan? Zombie?

Oh. Tak ada waktu untuk memikirkannya. Haechan menggelengkan kepala, beralih mengambil posisi depan. Tangannya menggenggam tangan sang adik dengan erat, sementara geraman-geraman itu semakin dekat.

Ia melompati 2 anak tangga sekaligus, tidak menoleh mendengar teriakan orang-orang yang tertangkap. Fokus, lari terus! Mereka hampir sampai!

Haechan bisa melihat bentuk pintu keluarnya; putih, dengan tanda hijau ada di bagian atas. Ia menggertakkan gigi, menarik Hyanggi, lalu dengan tangan yang lain meraih pegangan pintu, disaat bersamaan melangkah lebih lebar.

Dan ... berhasil!

Mereka ada di luar, disambut sinar matahari siang yang menyengat.

Kali ini Haechan tak lupa menutup pintu, mendorong benda berat itu, menciptakan penghalang dari para zombie meski cuma sejenak一beberapa detik yang berharga.

Membuat Hyanggi tercengang.

"Apa yang kamu lakukan? Disana masih ada orang!"

Haechan tak menggubris. Persetan dengan orang lain. Untuk apa memikirkan mereka di saat seperti ini? Yang terpenting, ia dan Hyanggi selamat. Minimal, harus tiba di mobil.

Tapi hal itu jelas tidak akan mudah.

Halaman rumah sakit sudah berubah menjadi neraka. Ada banyak zombie disini, menggigit mereka yang masih manusia. Alarm mobil berbunyi sebagai musik pengiring, beradu dengan jerit yang memekakkan telinga. Sebagian motor jatuh bagai sampah tak berharga. Beberapa sepatu tergeletak tanpa pemilik.

Bahkan dalam mimpi terburuknya, Haechan tak pernah membayangkan ini.

Wajahnya memucat.

"Hyanggi, apa kamu ingat tempat kita parkir?"

Tidak ada "iya" atau "nggak". Hyanggi yang masih shock menoleh ke pintu tadi. Suara kecil dalam kepalanya memintanya kembali, menolong mereka selagi masih bisa. Orang-orang malang itu, mereka tidak bisa ditinggalkan begitu saja kan? Tapi...

Haechan menghentikannya saat ia akan berbalik, mempererat pegangan tangannya hingga menimbulkan rasa sakit. "Harus berapa kali kubilang? Jangan sok jadi pahlawan! Pokoknya kita pergi!"

"Tapi一"

Haechan mengabaikan. Ia menoleh kesana kemari, mencari-cari mobilnya. Dengan warna biru mencolok, seharusnya tidak sulit menemukan kendaraan itu. Tapi tempat parkir rumah sakit yang ramai membuatnya sulit berkonsentrasi. Panik menghambat cara berpikirnya.

Mobil, dimana sih benda sialan itu?

"Disana!" Hyanggi tiba-tiba menunjuk pada satu titik, dekat tempat sampah yang juga berwarna biru. Rasa lega seketika membanjiri benak Haechan melihat hadiah ulang tahun mereka yang ke 19.

Ketemu!

Namun pada saat itu, terdengar suara bruk! keras, ketika pintu yang ia tutup akhirnya terbuka, membawa lebih banyak zombie.

Salah satunya melihat mereka, lalu mulai berlari mengejar.

Mulut Haechan tidak sempat mengumpat saat ia kembali berlari, tak mempedulikan paru-parunya yang protes minta berhenti. Ia merogoh sakunya dengan tangan yang bebas, berniat mengeluarkan kunci.

Tapi tidak ada!

Haechan menunduk, mengecek saku celananya, berharap dengan sepenuh hati kunci mobilnya tidak terjatuh di suatu tempat. Tanpa itu, bagaimana mereka akan keluar dari sini? Jangan hilang, jangan hilang, jangan一

Fokusnya terpecah.

Mengecek saku tanpa sadar membuatnya memelankan laju. Detik berikutnya, yang ia tahu, Haechan merasakan dirinya terjatuh dengan posisi kepala lebih dulu. Seseorang menubruknya dari belakang, memisahkannya dengan Hyanggi. Sebuah kepala kemudian mendekat ke lehernya, dengan gigi-gigi dan dagu yang meneteskan darah.

Zombie!

Telinga Haechan menangkap jeritan Hyanggi. Tapi ia tidak bisa menoleh. Tangannya refleks terangkat, menghalangi makhluk itu menggigitnya. Dan dengan sedikit pengalaman berkelahi yang ia punya, Haechan mengepalkan tangan, menghajar si zombie hingga kepalanya oleng ke samping.

Pukulannya mengena telak. Tapi tak berpengaruh banyak. Zombie itu lebih kuat dan tinggi darinya, sulit disingkirkan meski ia sudah berusaha menendang dengan lutut. Satu, dua, pukul lagi, tapi tidak berhasil. Haechan menggeram. Menyingkir dariku, sialan!

"Lepaskan! Lepaskan!" Hyanggi berteriak, memukul kepala zombie itu menggunakan tangan yang kukunya dilapisi kuteks ungu. Berusaha menariknya juga, tapi itu sama saja dengan berusaha menarik mobil. Tak berpengaruh. "Lepaskan!!"

Merasa terdesak, Haechan meraba-raba area disampingnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan, sambil terus menahan leher zombie itu dengan lengan yang mulai gemetar. Sebagian darah memercik ke wajahnya, mengotori jaket yang ia kenakan.

Haechan terus meraba, sampai jari-jarinya bersentuhan dengan sesuatu yang berbentuk panjang dan kurus. Ia meliriknya; sebuah sapu!

Mungkin milik cleaning service yang kurang rajin?

Terserahlah. Ia tak berlama-lama menerka-nerka. Langsung diraihnya sapu itu, lalu一tanpa memikirkan perbuatannya一menusukkan ujung sapu ke mulut zombie yang ada di atasnya. Kemudian mendorong dengan keras.

Sapu bukanlah benda tajam, tapi tenaga Haechan telah membuatnya menembus tenggorokan si zombie, membuatnya mengeluarkan suara berdeguk dan memuntahkan darah. Tenaganya mengendur. Haechan memanfaatkan itu untuk bangkit, menarik kembali sapu yang sudah menyelamatkan hidupnya.

Dengan lengan jaket di usapnya wajah, lanjut membantu Hyanggi berdiri.

"Ayo!"

Si kembar kembali berlari. Mobil biru mereka sudah terlihat, hanya beberapa langkah di depan. Kunci juga ternyata ada di saku celananya. Harapan untuk selamat terbuka lebar!

Sayang, satu halangan tersisa.

Ada zombie yang berdiri di depan pintu masuk mobil. Wanita, dengan pakaian yang robek. Ia berbalik mendengar langkah kaki mereka, mengangkat tangannya yang di kotori sesuatu一apakah itu daging?

Daging ... manusia?

"Haechan!"

Haechan memejamkan mata sebentar, memutuskan tidak berhenti. Siap atau tidak hadapi saja. Tak ada jalan kembali. Selama ini ia tak pernah memukul wanita, tapi ini harus dilakukan.

Ia mulai menghitung.

Satu一sapunya terangkat.

Dua一ia membayangkan ada di lapangan bisbol sekarang, memegang pemukul yang terbuat dari kayu, menunggu datangnya bola yang dilempar temannya.

Dan tiga!

Maaf, maaf.

Haechan menggeram sekali lagi, mengayunkan sapunya sekeras mungkin menyasar kepala wanita itu. Tubuhnya terpelanting akibat kerasnya daya yang ia keluarkan. Tapi ia tak bisa bangkit一Haechan tak memberi kesempatan.

Pria itu terus memukulnya lagi, lagi, dan lagi, hingga bagian dalam kepalanya terlihat. Setiap kali ada gerakan, tanda ia masih hidup, Haechan memukul lebih keras. Ditangannya, sapu berubah menjadi senjata yang bisa membunuh.

Dan entah pukulan ke berapa, zombie itu pun mati一kali ini untuk selamanya.

Dada Haechan naik turun dengan cepat. Ia menatap korbannya dengan tatapan ngeri, lalu memastikan dia benar-benar mati. Dia mati, karena Haechan membunuhnya.

Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan...

Ia menggelengkan kepala, berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Nanti saja ia pikirkan itu. Waktunya pergi!

Haechan membungkuk, mengambil kunci mobilnya yang sempat jatuh. Lalu dengan jari-jari yang berlumuran darah, memasukkannya ke lubang hingga pintu terbuka.

Klik.

"Hyanggi, masuklah一"

Ia kehilangan kata-kata. Adiknya menghilang!

"Hyanggi?"

Haechan diliputi ketakutan yang begitu besar, seperti ombak yang siap menenggelamkannya. Ia menoleh ke segala arah dengan panik, mencari sosok gadis dengan pita pink di rambutnya. Gadis yang kurang cocok disebut kembarannya, tapi sangat berarti baginya.

Hyanggi, dimana kamu?

Lalu...

"Cepat, cepat!" Suara Hyanggi terdengar beberapa meter di depan. Memegang sapu dan menghantamkannya ke kepala seorang zombie yang hendak menggigit remaja pria dengan hoodie hitam. "Pergi dari sini!"

Gadis bodoh!

Haechan mengutuk-ngutuk dalam hati. Hyanggi dan sikap pedulinya yang berlebihan. Kenapa ia tidak mengerti juga? Menempatkan dirinya dalam bahaya untuk orang yang tidak ia kenal. Apa untungnya itu?

Menurut Haechan, tidak ada.

Karena meski Hyanggi berhasil menyelamatkannya, remaja ber-hoodie itu segera berdiri, menjauh sambil memegang lengannya yang tergores dalam. Ia tidak menoleh, tidak pula mempedulikan Hyanggi.

Dasar bajingan!

"Hyanggi, lari!"

Haechan memperingatkan, mengulurkan tangan pada adiknya.

Hyanggi pun berlari. Kakinya bergerak menghindari kejaran zombie yang marah itu. Ia cepat, tapi tidak cukup cepat. Dan pukulannya tidak mengakibatkan cedera  serius sehingga si zombie masih bisa bergerak.

Ia melompat, mengikis jarak di antara mereka, menerkam kaki Hyanggi yang saat itu hanya memakai celana pendek.

Lalu menggigitnya.

Hyanggi berteriak, berusaha menendang zombie yang menancapkan gigi di betisnya. Memukul kepalanya lagi. Usahanya sia-sia.

"Keparat!" Haechan, yang sudah sampai disebelahnya cepat-cepat mengambil sapu itu. Tangannya kembali gemetar, kali ini oleh kemarahan yang seolah membakarnya dari dalam.

"Beraninya kamu," buk! "menyentuh," buk! "adikku!" BUK!

"Mati sana! Mati! Mati! MATI!!" Haechan mengamuk, memberi pukulan membabi buta nyaris tanpa henti. Sapu yang ia pakai sampai patah ketika menyentuh tulang tengkorak si zombie.

Tapi ia tidak puas. Belum. Diambilnya bagian tajam sapu, dan menuruti iblis dalam dirinya, menusukkan benda itu pada otak zombie berkali-kali. Menginjaknya dengan kaki. "Pergilah ke neraka!!"

Untuk kedua kalinya, ia membunuh seseorang.

Tapi ia tak merasakan penyesalan.

"Hyanggi, ayo." Masih dengan menggenggam patahan kayu sapu, ia memapah Hyanggi ke mobil mereka. Wajahnya menggelap melihat luka menganga di kaki adiknya, juga isakan pelan yang membuat air matanya mengalir.

"Kamu nggak apa-apa," ia mencoba menenangkan, meski sebenarnya sangat ingin marah, memaki semua orang, terutama orang yang kabur tadi. "Kamu akan baik-baik saja."

Hyanggi menggeleng. Tubuhnya jatuh merosot di dekat pintu mobil, enggan masuk meski Haechan memaksa.

"Haechan," suaranya bergetar. Wajah cantiknya tampak kotor. Mata lebarnya di penuhi keputusasaan dan itu, menyakiti Haechan lebih dari apapun. "Tinggalin aku."

"Ngomong apa sih?" Haechan benar-benar tidak mengerti ucapannya. Ia tidak paham. Rasanya ingin menutup mulut Hyanggi agar tidak mengucapkan kalimat aneh lagi. "Ayo kita pulang, ibu sudah menunggu."

"Kamu nggak lihat?" Hyanggi menunjuk pada kakinya, yang terus mengeluarkan darah. "Aku akan berubah jadi monster juga, kamu harus pergi!"

"Itu nggak akan terjadi," Haechan berusaha mengatakannya dengan tegas, tapi malah berujung tangis. Air matanya tumpah, berharap tekadnya saja cukup untuk mengubah keadaan. Hyanggi, adik kecilnya tersayang, tidak boleh berubah jadi seperti mereka! Pokoknya tidak boleh!

Urat-urat kaki Hyanggi menghitam. Terus menjalar hingga ke bagian atas tubuhnya, menuju jantung. Sejenak, ia mengerang. Tubuhnya tersentak menahan sakit. "Haechan..." Ia menurunkan lengan jaket Haechan yang digulung sampai siku, menutupi tangannya. "Bertahanlah. Kamu harus bertahan. Demi aku. Demi orang lain yang membutuhkan bantuanmu. Kamu harus hi ... dup."

Hyanggi membungkuk, mencengkeram luka di kakinya, mulai mengalami kejang saat racun dalam virus merasuk dan merusak otak. Matanya, yang semula kecokelatan indah, berubah keruh.

"Haechan ... pergi..."

Suara geram mengerikan keluar dari tenggorokan Hyanggi. Bunyinya sama seperti monster-monster itu saat mengejarnya. Kulit putihnya berubah pucat, ia menggelepar di tanah seperti ikan yang tenggelam di darat. Tak terkendali.

"Hyanggi..."

Haechan berusaha meraihnya, mengguncang tubuh sang adik agar kesadarannya kembali.

Namun saat Hyanggi mendongak, ia bukan lagi dirinya.

Ia sudah berubah.

Yang di mulmed itu namanya Kim Hyanggi, artis terkenal kelahiran 00 line, pernah main di film Along With The Gods sama Innocent Witness. Coba tonton deh, keren banget aktingnya 😳👍 sebenernya bisa aja sih pilih saeron, tapi keknya terlalu dewasa buat jadi kembaran Haechan 😂

Fyi, Haechan itu beneran punya kembaran lho

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top