2. Lust
Nama gadis itu Kim Doyeon.
Bukan gadis Titan seperti selama ini aku diam-diam menjulukinya, tapi Doyeon一sebuah nama yang indah untuk gadis dengan tinggi semampai yang proporsi wajahnya mengagumkan.
Aku tahu namanya sekarang, begitupun nama beberapa tetangga lain yang tahu namaku lebih dulu dari ibuku. Mencari teman lama-kelamaan tidak sulit kalau aku setidaknya mau berusaha. Ibuku benar. Dia senang aku mulai membuka diri dan membalas sapaan tetangga, bukannya sekadar mengangguk dengan senyum separuh dan buru-buru kabur seperti dulu.
Beberapa bulan berlalu.
Aku masih menjadi Song Yuqi yang suka minum kopi di pagi hari ditemani seekor kucing bernama Rocky.
Aku sudah akrab dengan lingkungan rumahku. Dan orang lain pun sudah terbiasa dengan kebiasaanku memakai earphone. Memang, tak bisa dihindari ada saja mulut yang usil menggoda, tapi lebih sering aku mengabaikannya. Tanpa perlu celingukan lagi, kini aku bisa menemukan coffee shop yang murah. Aku tahu dimana letak cafe internet dengan koneksi yang stabil dan kencang. Aku juga beberapa kali melintas di depan bioskop, menyaksikan keriuhannya dari seberang jalan, sambil memasukkan tangan ke saku jaket abu-abu yang tudungnya aku angkat menutupi kepala.
Semua itu kulakukan sendiri, tanpa bantuan Lucas, tunangan Doyeon.
Ternyata ini lebih sulit dari dugaanku, menghindari seseorang yang raganya sering mondar-mandir di depanku hingga akhirnya aku menyerah, memilih mengambil jalan pintas saat berpergian walaupun itu artinya aku harus memutar lebih jauh.
Karena hanya dengan cara itu, aku tak perlu lagi melihatnya.
Mulanya Lucas berkali-kali menghubungiku, sementara aku sebatas membaca pesannya dari notif bar. Dia lucu, penuh percaya diri. Dia sosok yang bisa kau andalkan kalau kau menginginkan hiburan, dengan satu nilai minus; dia terikat pada gadis lain.
Kemudian, pesannya jadi semakin banyak.
"Yuqi! Sibuk main sama kucing, ya?"
"Keluar kalau mau kopi gratis!"
"Nggak bosen di rumah terus?"
Sebelum jariku melakukan kesalahan dan "tanpa sengaja" membalas godaan-godaan isengnya, aku memblokir nomor pria itu, sembari mengenyahkan suara jahat dalam kepalaku yang berkata, apa yang salah dari sekedar berbalas pesan?
Padahal jelas itu salah bila mengingat status Lucas. Atau minimal, itu bukan perbuatan yang benar. Aku tidak bisa jadi "pelupa" sepertinya meski aku heran, bagaimana bisa dia lupa pada hal penting semacam itu?
Lucas, Lucas.
Tiap mengingat namanya, aku bertanya pada hatiku, mengapa rasanya sakit? Mengapa aku dengan tololnya mencemburui orang yang tak pernah jadi milikku?
Siapapun berpendapat mereka cocok, kok. Cantik dan tampan. Sama-sama tinggi. Doyeon yang punya tinggi ideal para model dapat dengan mudah mengimbangi Lucas, tidak sepertiku yang lebih mirip kurcaci bila berdiri di sebelahnya.
Tapi sudahlah, siapa yang mau kubohongi?
Aku memang cemburu.
Masalahnya begini; Lucas tidak membuat ini mudah bagiku.
Kalau aku lewat, dia diam, menatapku seolah kejadian di kedai bubble tea tidak lebih dari mimpiku belaka. Tapi ada sesuatu di matanya, caranya memandangku sampai aku menyingkir dari jarak pandangnya.
Kau bisa melihat itu一oh, kau tidak mungkin tidak melihatnya.
Sebut aku besar kepala. Panggil aku gadis yang suka berkhayal, tapi kalau kau memperhatikan, kau akan tahu pandangan Lucas padaku bukanlah pandangan biasa yang ditujukan pada tetangganya. Pandangan itu sangat intens, terlampau dalam. Dia seakan sedang menyelidikiku sampai ke inti, mengajakku bicara tanpa harus menggerakkan lidah. Bertanya, apakah nyala api terlarang di antara kami sudah padam?
Cap saja aku sebagai gadis pemimpi, asal seseorang bisa menjawab, mengapa dia tidak kunjung berhenti memberiku getaran tidak nyaman lewat pandangan tersebut.
Selalu, selalu. Dia bahkan pernah menoleh untuk memberiku tatapan aneh itu ketika bersama Doyeon, ketika tangannya ada di pinggang Doyeon.
Aku lagi-lagi tidak mengerti, apa yang Lucas mau dariku?
Hari ini, aku sengaja lewat jalan yang tidak aman, jalan tempat aku punya pengalaman buruk dengan masalah catcalling, karena aku rindu padanya. Aku ingin tahu keadaan Lucas, apakah dia masih nongkrong dengan teman-temannya dan membuat mereka tergelak karena leluconnya.
Sayangnya, dia tidak ada. Aku baru ingat hari ini adalah peringatan hari kematian ibunya, jadi acara nongkrong pasti ditiadakan.
Hari ini, rumah Lucas terang benderang, penuh sesak oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang. Aku bisa mengintip ke bagian dalamnya karena rumah itu tidak punya pagar. Beberapa tetangga berseliweran, mengenang teman mereka yang lebih dulu pergi diselingi gosip khas ibu-ibu. Jika saja punya keberanian, aku pasti akan bertanya apakah dia baik-baik saja, apakah hari ini terasa berat baginya.
Tapi aku tidak punya.
Aku hanya bisa berjalan pelan, mendongak mencari-cari dimana dia. Aku harus tahu bahwa dia tidak tertekan. Aku peduli padanya meski aku tahu kepedulian ini konyol.
Itu dia. Duduk bersila di teras. Dia sedang ... apa yang dia lakukan?
Kepala berambut ikal Lucas menunduk, bibirnya merangkai senyum lebar pada sesuatu yang ada di lengannya. Dia bicara dengan suara yang dibuat kekanakan, membuat bunyi-bunyian lucu yang nyaris mengakibatkan bibirku sendiri tersenyum.
Kehadiran Doyeon melenyapkan keinginan untuk tersenyum itu. Doyeon duduk di sampingnya一hm, terlalu dekat一dan keduanya tertawa berbarengan.
Ralat, aku harusnya bilang bertiga karena Lucas rupanya menggendong seorang bayi yang terbungkus selimut biru-putih.
Kutebak, itu adalah bayi kerabatnya. Para kerabat biasanya berkumpul di hari seperti ini dan bukan hal yang ganjil bila dalam pertemuan, ada bayi yang dibawa dan balita-balita yang perlu dijaga.
Pemandangan itu seakan menampar hatiku, membuatku tercengang dan semakin menegaskan siapa sebenarnya Lucas.
Dia punya tunangan. Dia bisa menikah kapan saja dengan Doyeon. Kelak, dia akan punya anak, dan mereka akan jadi orang tua yang kompak dan manis, sementara aku tak lebih dari tetangga yang sesekali melewati jalan di depan halaman rumahnya.
Aku bukan siapa-siapa.
Saking shock-nya, aku sampai berhenti berjalan, yang untungnya tidak lama, karena aku segera menyadarkan diri dan berbalik, berpura-pura ada yang tertinggal dan aku harus kembali ke arah aku datang.
Tepat pada waktunya, Lucas menengadah dan mata kami bertemu. Mata kecoklatan yang kurang ajar itu, dia yang rela berhenti menggoda (kemungkinan) keponakannya. Hari ini, matanya menyakitiku dan aku memutus kontak mata kami lebih dulu. Aku bergegas pergi, hampir-hampir berlari. Aku tak sadar sudah melangkah ke tempat kami pernah berbincang hingga tiba di sana.
Aku memesan rasa taro, seraya berpikir, apakah Lucas tahu aku memikirkan dia saat membaca atau membicarakan apapun mengenai bubble tea taro?
Kurasa dia tidak tahu.
Kurasa dia juga tidak peduli.
Terhenyak di kursi, aku bengong dengan pandangan kosong. Pikiranku kusut campur aduk, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku sudah lama tahu mereka bertunangan, lantas, apa yang membuatku terguncang seperti ini? Apa sih yang kupikirkan?
Dasar bodoh.
Gadis penjual bubble tea mengawasiku dengan tatapan penasaran bercampur khawatir, karena aku datang seperti orang yang baru melihat hantu. Aku bisa merasakan pertanyaan yang tidak dia utarakan karena faktor kesopanan, dan aku lega, tapi tiba-tiba, wajah gadis itu berubah cerah, senyum tersungging di wajahnya. "Taro lagi?"
Aku menoleh, ternyata Lucas.
Wah, wah, kebetulan sekali, ya.
Aku mengumpulkan barang-barangku dan berdiri. Aku tidak mau dipergoki tetangga kami tengah berduaan dengannya. Jadi aku harus pergi.
"Yuqi."
Dia memanggil, dengan suaranya yang berat sekaligus lembut, suaranya yang menarikku seperti gravitasi. Menuntut, merayu dan membujukku agar berhenti.
"Tunggu," katanya, dan karena aku bodoh, aku sungguh menunggu.
Lucas masih setia dengan taro, tidak seperti kesetiaannya pada Doyeon yang goyah. Dia menyusulku, berjalan bersamaku sebab kali ini tidak membawa motor. Kehangatannya mengalir ke tubuhku karena dia tampaknya tidak tahu apa itu jarak yang "pantas". Bahu kami bisa dibilang bersentuhan.
Dan kami tidak berjalan ke arah rumah, melainkan bioskop.
Aku tidak tahu siapa yang memulai dan siapa yang mengikuti, itu terjadi begitu saja, sealami hidung kami yang menghirup napas.
"Yuqi."
Aku diam saja.
"Hei, kebanyakan pake earphone, ya?"
"Bacot," balasku, dan Lucas tertawa.
Ini Lucas yang aku kenal. Sosok Lucas yang mendekatiku dan mengirimiku pesan-pesan penuh canda. Ini Lucas yang mungkin, bahkan tidak diketahui oleh Doyeon.
Tanpa perjanjian, kami berjalan terus ke bioskop. Langkah kaki kami seirama karena Lucas sengaja memelankan lajunya. Warna isi gelas plastik kami terlihat serasi dan aku bertanya-tanya apakah orang lain juga menganggap kami demikian.
"Mau nonton apa?" Lucas bertanya, memecah keheningan.
Aku mengangkat bahuku. "Terserah."
Dia tersenyum menggoda. "Dasar cewek."
Bioskop tidak ramai hari ini, tapi tetap saja, harusnya aku takut bertemu tetanggaku dan dituduh menculik Lucas kemari ketika ia semestinya berada di rumahnya. Tapi mari jujur saja, aku tidak takut. Wajah Lucas bahkan tampak santai.
Dia justru memangkas jarak kami yang sudah dekat menjadi teramat dekat, dan berbisik di telingaku, "Aku punya tunangan."
Aku menatapnya tanpa berkedip, tidak pula menjauh. "Doyeon?"
Lucas mengangguk. "Dia temen masa kecil. Kita akrab. Mama kira aku sama bisa jadi pasangan yang lucu."
Pemahaman muncul di benakku, bersinar layaknya mercusuar dalam kegelapan. Jantungku berdetak sangat cepat, lebih cepat lagi. "Kamu suka dia?"
Kerutan timbul di kening Lucas saat dia berpura-pura memikirkan pertanyaanku dengan serius, sebelum detik berikutnya digantikan seringai yang persis dengan seringai Rocky saat berhasil menangkap buruannya. "Yuqi, kenapa kamu nggak pindah dari dulu?"
STARTED & FINISHED : 26 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top