1. The Darkest Day
BUSAN, sehari setelah peringatan.
Haechan itu tidak suka rumah sakit.
Waktu kecil pernah punya pengalaman jelek disana. Dia demam tinggi, tidak sembuh berhari-hari, dan dokter harus mengambil darahnya untuk melakukan tes. Tapi karena takut, Haechan terus berontak, menendang perawat yang memegang kakinya bahkan tidak sengaja meninju rahang dokter hingga kacamatanya jatuh.
Pokoknya kacau. Proses itu jadi lebih mirip eksorsisme daripada pengambilan darah. Sejak itu, ia ogah kesana. Lebih memilih menelan 10 pil obat daripada disuntik. Apapun selain itu deh, ia rela. Sayang, demamnya yang kali ini pun tidak bisa disembuhkan hanya dengan obat. Harus ke rumah sakit lagi. Dengan kemungkinan disuntik lagi. Argh ... rasanya Haechan mau mendaki gunung tertinggi lalu melompat dari sana. Sepertinya itu jauh lebih baik.
Apa boleh buat, ibu sudah memberi titah. Dan kalau sudah begitu, ya tidak bisa membantah. Apalagi ia menugaskan Hyanggi一saudari kembar yang sama sekali tidak mirip dengannya一untuk mendampingi. Katanya sih supaya tidak kabur.
Haechan jadi tidak bisa berkutik.
Ia duduk cemberut di kursi belakang, dengan kepala yang sedikit berkeringat. Pusing. Tapi ia yakin itu sebagian besar disebabkan oleh rencana ke rumah sakit, bukannya demam. Sementara itu, di depan, mengemudi dalam kecepatan sedang, Hyanggi menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu menyeringai. "Siap disuntik, kak?"
Haechan melotot, menendang kursi yang diduduki oleh saudarinya itu dengan keras. "Diam."
Hyanggi terkekeh, kelihatan mirip tokoh antagonis dalam drama yang bahagia setelah menjalankan rencana jahatnya. Menakuti Haechan, tidak salah lagi, adalah hal lucu baginya. "Berani, dong! Laki-laki apaan tuh yang takut sama jarum? Aku malu jadi kembaranmu. Dasar pe-nge-cut. Cuih!"
Telinga haechan memerah. Fobia jarum suntik memang tidak keren, tapi itu kan bukan sesuatu yang bisa dikendalikan. Dan lagipula, ya ampun, siapa sih yang suka disuntik? Mungkin hanya pecandu narkoba saja. Dan Haechan jelas bukan salah satunya. Ia anak baik一kadang-kadang sih. "Masih mending. Setidaknya aku nggak pernah jerit-jerit waktu lihat stiker kecoa di tutup mesin cuci."
Kesalahan besar.
Haechan sudah menyinggung topik yang keliru. Ingatan Hyanggi kuat, dan dia masih ingat peristiwa itu dengan jelas一bagaimana Haechan menertawakannya, dan berlindung di balik punggung ibu saat ia akan memukulnya menggunakan panci. Hyanggi dendam. Dia belum sempat membalasnya. Merasa ada kesempatan, gadis itu melepas sepatunya lalu melempar dengan sekuat tenaga ke kepala Haechan.
Bunyi duk pelan disusul jeritan segera terdengar mengisi mobil biru itu.
"Nggak lucu, Lee Haechan! Aku kaget sekali waktu itu!"
Haechan berguling secara dramatis, memegangi kepala seperti pemain bola yang kakinya kena tackel. "Sakit, tahu! Ini namanya penganiayaan!"
Si pengemudi cuek saja. Ia dengan santai mengulurkan tangannya ke belakang, meminta sepatunya. "Kembalikan. Sepatu itu lebih mahal dari harga dirimu."
Haechan bersungut-sungut. Ia membungkuk, mengambil sepatu adiknya dengan cara memegangnya di antara telunjuk dan jempol, seolah itu adalah popok bekas. Hidungnya berkerut. "Apaan? Ini dikasih ke gelandangan juga mereka pasti menolak. Buang saja, ya?"
"Heh, jangan!"
Haechan membuka jendela.
Hyanggi menginjak rem dalam-dalam.
Mobil berhenti. Tapi tak ada yang bergerak. Si kembar terpaku pada kerumunan yang ada di seberang jalan. Orang-orang berkumpul mengerubungi sesuatu, saling berbisik. Tapi ada yang langsung pergi dari sana, mendekap dirinya sendiri dengan wajah ... takut?
Ada apa itu?
"Sepertinya kecelakaan," Hyanggi menebak. Tangannya bergerak ke pegangan pintu mobil, menekannya ke bawah untuk membukanya. "Sebentar, aku mau lihat. Mungkin aku bisa一"
"Sudah, sudah!" Haechan merangsek ke depan, menghalangi niat Hyanggi. Menutup lagi pintu mobil yang sempat tertutup sedikit. "Itu bukan urusan kita!"
"Tapi一"
"Kehadiranmu nggak diperlukan, Hyanggi." Haechan menasehati, telunjuknya mengarah pada kerumunan itu, menegaskan perkataannya. "Lihat kan? Kamu selalu saja seperti ini. Jangan sok jadi pahlawan."
Hyanggi menurut, tapi dengan ekspresi merengut. "Bukan begitu, aku cuma ingin menolong!"
"Lain kali tidak usah!" Tangan Haechan mengibas di udara. Pria berkulit eksotis itu kembali bersandar, memijat kepalanya. "Ingat saat kamu menolong anak yang jatuh dari sepeda tapi ibunya malah menuduhmu menjadi penyebabnya? Atau saat kamu terluka waktu menyelamatkan kucing yang hampir tertabrak motor? Hentikan sikap itu. Pikirkan dirimu sendiri!"
Pipi Hyanggi menggembung, kesal. Jarang sekali Haechan bicara serius, menunjukkan cintanya sebagai seorang kakak yang hanya lebih tua beberapa menit, tapi ia tidak sepenuhnya setuju. Haechan, secara tidak langsung, memintanya untuk lebih individualis. Hyanggi bukan tipe orang seperti itu.
"Mana bisa? Kita ini makhluk sosial, Haechan. Harus saling tolong menolong. Sehebat apapun, pasti ada saatnya kamu membutuhkan orang lain. Kamu jangan egois!"
"Egois apanya? Aku nggak bilang kalau一oh, sudahlah!"
Pria 19 tahun itu jadi frustrasi sendiri. Ia sudah pusing, semakin pusing lagi menghadapi adiknya yang keras kepala. Yah, sebenarnya dia juga sih. Mungkin itu sudah menjadi semacam sifat keluarga.
Memilih tidak memperpanjang perdebatan, Haechan turun dalam diam, menjejakkan kakinya di halaman rumah sakit yang ramai. Hyanggi mengikuti, lalu menyerahkan kunci mobil yang dihias gantungan berbentuk pudu padanya, karena ia tidak punya kantong. Tak lupa, sang adik mengambil sepatunya lebih dulu, mengikatnya kencang agar tidak lepas.
"Ayo."
Bersama, keduanya berjalan masuk ke lobi, tempat para pemilik kendaraan di luar berada. Beberapa dokter dan perawat lewat dengan terburu-buru, menghampiri seorang pasien yang baru saja turun dari ambulans.
Refleks, Haechan menarik Hyanggi mundur agar tidak tersenggol mereka. Keduanya menyaksikan dengan mata membelalak lebar bagaimana si pasien kejang-kejang, memuntahkan darah berwarna gelap dari mulutnya.
Salah satu keluarganya yang mendampingi一mungkin istri一tampak menangis. Terbata-bata ia menjelaskan, "Dia tiba-tiba pingsan setelah makan daging rusa hasil buruannya!"
Daging rusa?
Haechan mengernyit. Gimana rasanya tuh?
Hyanggi menyikut lengannya pelan. "Dia keracunan, ya? Bukankah kemarin pemerintah menerbitkan larangan untuk tidak memakan daging hewan liar? Katanya ada semacam virus berbahaya lho."
Bahu Haechan terangkat. Ia tidak tahu itu. Jarang menonton TV karena A, Hyanggi sering memonopolinya. Dan B, ia hanya tertarik pada acara olahraga. Selain itu, Haechan lebih sering mengisi waktu luang dengan main game atau nongkrong bareng teman-temannya.
"Sudahlah. Kita cepat selesaikan saja dan pergi dari sini."
Anggukan Hyanggi menjadi jawabannya. Ia meraih bahu Haechan, mengarahkannya ke lift sambil berhati-hati menghindari ceceran darah di lantai.
Tapi sebelum itu, Haechan sempat menoleh ke belakang, mendengar seorang anak laki-laki seumurannya berkata, "Semoga ini nggak seperti yang tertulis di internet..."
Ngomong apa sih dia?
Ada jeritan yang berasal dari lantai bawah saat Haechan akan masuk untuk di periksa.
Bukan jeritan bercampur tangis yang mengindikasikan ada pasien meninggal, tapi jeritan keras melengking yang menandakan orang itu takut. Ia dan Hyanggi kompak menoleh ke lift, menebak-nebak apa yang terjadi disana. Penasaran. Dan sejenak berpikir, haruskah turun untuk mengecek?
Tapi dokter yang menangani Haechan sudah memanggil, menunggu untuk memulai proses anamnesa.
Jadi Hyanggi berkata, "Masuk saja. Aku pergi dulu sebentar."
Haechan mengulurkan tangan untuk menahannya, ingin mencegah sang adik pergi sendiri, tapi Hyanggi sudah lebih dulu berlalu. Berlari hingga rambut panjangnya yang di ikat dengan pita pink berayun-ayun. Tak lama, tubuhnya yang setinggi 155 senti pun menghilang.
"Lee Haechan?"
Haechan mengangguk, duduk di kursi yang disediakan. Dan seketika, tersenyum. Dokter itu cantik sekali. Ia mulai berpikir keputusannya datang kemari tidak buruk.
"Kita mulai, ya ... apa saja keluhanmu?"
"Hmmm..." Sekarang ia agak bingung. Ketika kecil, yang menjawab pertanyaan seperti ini adalah ibunya. Lalu semakin dewasa, ia selalu membiarkan Hyanggi mengambil alih. Walaupun secara teknis yang sakit adalah dirinya, entah mengapa mereka berdua seolah lebih paham. "Pusing ... demam dan..." Haechan menggaruk kepalanya sendiri. "Pokoknya nggak enak hehe."
Si dokter cantik tersenyum, tampak maklum. Mungkin ia sudah sering mendapat pasien anak laki-laki yang kikuk. "Sejak kapan?"
Nah, untuk yang satu ini, Haechan bisa dengan cepat menjawab, "4 hari yang lalu."
"Apa kamu一"
Dia hendak meneruskan, tapi tiba-tiba di sela oleh pintu yang dibuka dengan keras一lebih mirip dobrakan. Seorang perawat yang menjadi pelaku yang mengagetkan mereka muncul dari sana, menghampiri si dokter lalu membisikkan sesuatu ke telinganya.
Samar-samar, Haechan mendengar kata "darurat" dan "pasien aneh".
Otaknya langsung memikirkan si pemburu tadi. Apakah dia?
Dokter itu berdiri, menepuk pundak Haechan sekilas. "Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali."
Haechan tidak punya pilihan lain.
Ini akan jadi semakin lama saja. Apa sih yang terjadi? Tidak tahu apa kalau ia sangat ingin pulang? Ibunya pasti sudah menunggu di rumah, memasak makanan kesukaannya. Membayangkan itu membuat perut Haechan bergemuruh. Lapar nih.
2 menit.
Haechan meregangkan tubuh, mengecek ponsel, mencari berita yang menarik.
Oh, ada satu!
Rumor tentang penyakit misterius yang dibawa oleh rusa mulai mewabah di Seoul dan diyakini menyebar ke wilayah lain, seperti Busan...
Haechan terus membaca.
3 menit.
Ia benar-benar larut dalam kegiatannya. Kepala menunduk, mata memicing melihat foto-foto kekacauan yang terjadi di ibu kota. Mereka bilang, orang yang terkena penyakit ini akan bertindak agresif dengan...
"HAECHAN!"
Hyanggi tiba-tiba muncul dengan napas tersengal. Menjeritkan namanya dan一seperti perawat tadi一membuka pintu dengan kasar. Ponsel yang Haechan pegang sampai terlepas. Ia secara otomatis mengelus dadanya, lalu menggerutu, "Apa sih, Hyanggi? Jangan teriak begitu, ini rumah sakit!"
Hyanggi tidak mempedulikannya. Ia langsung menarik tangan Haechan, hampir membuatnya jatuh. Tarikannya begitu kuat, kukunya terbenam di jaket Haechan, tangannya berkeringat. "Oi, ada apaan? Kamu kenapa?"
Pada saat yang sama, jeritan terdengar lagi. Lebih keras, bersahutan, seperti simfoni dari neraka.
Haechan bergidik.
"Ada yang aneh di lantai bawah. Orang-orang berubah aneh," jawab Hyanggi, yang kini memaksa Haechan berlari, bukan ke lift, melainkan tangga darurat. "Mereka menggigit satu sama lain. Menyerang seperti binatang. Ada darah dimana-mana dan..."
Haechan merasa dirinya salah dengar.
"Hei, hei," ia berhenti, menarik lengan Hyanggi agar berhenti juga. "Bilang dulu ada apa padaku. Bicaramu aneh sekali, aku nggak paham."
Hyanggi menggeleng. "Nggak ada waktu. Kita harus cepat pergi!"
"Hyanggi一"
Ting!
"Tolong!" Seorang dokter pria keluar dari lift, berjalan tertatih-tatih dengan leher yang mengucurkan darah. Ia berusaha berpegangan pada dinding, namun akhirnya tetap jatuh. "Tolong..."
Si kembar terdiam di tempat. Ingin menolong, tapi takut. Mereka hanya bisa menonton bagaimana orang lain yang ada di sekitar situ mendekati si dokter, berusaha mencari bantuan tenaga medis lain. Bahkan para pasien mulai keluar dari kamar mereka.
Luka itu, apa yang menyebabkannya?
"Ayo pergi, selagi masih sempat!" Lagi, Hyanggi berusaha membuat Haechan bergerak, menarik lengannya ke pintu darurat yang hanya tinggal beberapa langkah.
Tapi Haechan bergeming. Ia fokus pada dokter itu, yang mengalami kejang hebat. Geraman kasar keluar dari mulutnya. Tidak manusiawi. Mengerikan. Orang-orang kompak mundur karena terkejut.
"Haechan, ayo!"
Lalu semendadak kedatangannya, dokter itu diam. Kejangnya berhenti, tapi darah masih mengalir dari mulut dan ... matanya?
Napas Haechan mulai memburu.
"Hyanggi, a-apa menurutmu dia meninggal?"
Pertanyaan Haechan terjawab beberapa detik kemudian; sang dokter bangkit, dengan cara yang sangat aneh. Tubuhnya miring ke samping. Kepalanya juga; menunjukkan semakin jelas luka yang ada disana. Ia menatap satu persatu wajah yang ada lalu tiba-tiba...
Haechan tersentak terkejut.
Dokter itu melompat ke arah salah satu pasien, menindihnya hingga terjatuh. Mereka berguling di lantai. Si pasien berteriak, mencakar, berusaha melepaskan diri.
Tapi usahanya sia-sia. Dokter itu terlalu kuat. Ia seperti anjing yang mengamuk, membenamkan wajah di leher si pasien lalu...
Menggigitnya?
Seluruh tubuh Haechan gemetar ketakutan.
"Kita pergi!"
Tanpa menunggu lebih lama, Hyanggi segera menariknya lagi ke pintu darurat. Haechan mengikuti tanpa benar-benar menyadari bagaimana kakinya melangkah. Apa yang ia saksikan, suara-suara jeritan ini, ia merasa seperti berada di mimpi buruk.
Ataukah memang begitu?
Suka gak? Tegangnya dapet gak? 😳 Gua dah lama pengen nulis cerita tentang zombie, tapi baru berani sekarang. Ini pun ntar gak terlalu panjang kok, cuma 3 chapter.
Sekalian gua nyoba pake bahasa yang gak terlalu baku, bagusan gini apa aku-kau? 🌚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top