1. Lust

Terkadang, aku berpikir aku bukanlah anak ibuku. Mungkin aku anak seorang peri yang dibuang ke dunia manusia, tepat di depan pintu rumah ibu, dan karena dia terlalu baik, dia pun memungutku.

Karena, alasan apalagi yang menjelaskan mengapa kami sangat berbeda? Ibuku lincah, ceria, dapat menjalin pertemanan semudah bernapas. Sedangkan aku pendiam, pendiam, hobi menguap dan berkhayal, dan pendiam lagi. Aku alergi pada orang-orang. Aku berinteraksi dengan kucingku lebih sering daripada dengan manusia. Ibaratnya, aku adalah mendung dan ibuku pelangi.

Hal itu dibuktikan saat kami pindah. Yah, terpaksa pindah sebenarnya. Aku tidak menyetujui ini tapi tak bisa membantah. Ketika ibuku telah mengenal tetangga dari ujung satu ke ujung yang lain, aku baru mengenal 1 tetangga saja一itu pun karena kami sama-sama pecinta kucing.

Aku, Song Yuqi, tidak tahu caranya berkenalan. Dan sejujurnya, aku tidak berminat. Kebanyakan tetanggaku adalah ibu-ibu yang hobi bergosip. Anak-anak seumuranku sangat sedikit.

Ada sih beberapa, tapi mereka suka bergerombol kemudian cekikikan seperti hantu yang akan membuatmu lari terbirit-birit kalau mendengarnya di malam hari. Norak. Aku tidak sudi bergabung dengan mereka.

Kalau soal cowok...

Aku menghela napas, menatap kumpulan cowok-cowok yang asyik nongkrong di depan sana. Ada rumah salah satu tetangga yang jadi semacam markas. Mereka akan bernyanyi dengan suara sumbang sambil memanggul gitar. Merokok, main game, makan kacang, dan yang paling mengganggu...

Catcalling.

"Halo, cewek! Kok pake earphone terus? Awas ntar telinganya sakit lho, cantik!"

"Sini, sini, mampir sebentar. Tetangga baru kan? Ayo kenalan."

"Jangan main sama kucing doang dong. Hei, hei, budek, ya?"

Jika penyerangan itu legal, aku pasti sudah memukul mereka dengan tingkat marching band adikku, atau meminta Rocky, pahlawan tampanku yang berkaki empat, mencakar mereka habis-habisan. Mereka selalu melakukan ini kala aku melintas. Memangnya tidak ada pekerjaan lain?

Hidungku kembang kempis menahan amarah. Mulutku memang tidak mengatakan apa-apa karena aku malas bicara, tapi itu tak menghentikanku untuk melotot pada mereka. Dasar kambing-kambing menyebalkan!

Lalu, saat itulah aku melihat dia.

Cowok yang paling pendiam di antara teman-temannya. Tinggi, punya rahang tegas dan mata lebar nan tajam yang akan membuatmu cewek manapun menjulurkan leher padanya, kulit putih, rambut ikal cukup panjang cenderung keriting dan bibir seksi yang tidak ikut-ikutan menggodaku.

Menarik.

Aku tahu dia walaupun tidak tahu namanya. Aku mengenalinya. Dia mudah dikenali karena selalu jadi yang tertingi saat duduk atau berdiri. Dia jarang bicara, tapi sikap diam itu justru membuatnya menonjol. Aku berkedip. Siapa dia? Siap namamu?

Dan seakan tahu apa yang kupikirkan, cowok yang tatapannya seimut anak kucing itu balas berkedip, meletakkan jari di depan bibirnya. "Berisik, goblok! Jangan gitu woi! Kasihan!"

Lalu temannya menyahut, "Halah, sok-sokan banget si Lucas!"

Untuk terakhir kalinya, aku menoleh ke belakang, menatapnya. Mata kami bertemu. Teman di sampingnya mencibir, menyenggol bahunya, tapi dia tetap setia membalas tatapanku. Dia tidak tersenyum, tidak bersuara, aku juga. Tapi aku merasa kami tengah melakukan percakapan dalam keheningan.

Lucas. Nama yang bagus. Aku tersenyum, namun segera menghilangkannya ketika ada seorang gadis yang berjalan dari arah berlawanan. Bisa-bisa nanti aku disangka gila.

Gadis itu punya tubuh seperti model; tinggi semampai, seksi. Berlekuk sempurna. Idaman. Aku yang kecil dan kurus jadi seperti anak-anak di sampingnya. Di sisi lain, ini menguntungkan karena aku terlihat awet muda, tapi juga membuatku tidak percaya diri.

Satu lagi orang yang sangat berbeda denganku. Titan dan human. Wow. Aku berjalan menunduk menghindari gadis Titan itu, fokus mengubah lagu di ponselku. Hingga kemudian dia melambaikan tangan dan berseru, "Lucas!"

Refleks merebut perhatianku ke arahnya. Aku menoleh lagi hanya untuk mengecek reaksi Lucas dan terkaget-kaget melihat dia tersenyum pada gadis itu.

Mereka punya hubungan apa?

Berada di rumah saat hari minggu adalah berkah.

Rutinasku di rumah baru tidak berbeda dengan di rumah lama. Aku mengawalinya dengan suara teriakan ibu yang protes, "Yuqi, anakmu nyolong ikan lagi!"

Maksudnya pasti Rocky.

Aku membiarkannya. Aku lanjut tidur. Biar saja Rocky makan ikan itu, supaya aku bisa menghemat pakannya. Aku ingin tidur seharian, istirahat dari pekerjaan yang melelahkan.

Ibu, maafkan anakmu yang durhaka ini.

"YUQI"

Ck, aku bangun sambil menjerit tertahan di bantalku, kesal, sebal, malas. Ibuku tidak mau kalah. Dia tahu telingaku peka dan akan terus berteriak sampai aku bangun.

"Iya, iya!"

Gagal menyelami alam mimpi lagi, aku keluar dari kamarku yang bernuansa biru. Merengut pada Rocky yang tanpa dosa menjilati sekitar mulutnya. Dia mengeong, masih ingin makan. Sementara di sampingnya, ibu berkacak pinggang, mengacungkan sendok sayur tinggi-tinggi. "Bawa sana, bawa sana! Kucing kok nakal banget kayak orang nggak pernah sekolah."

"Lah kan emang nggak sekolah?"

"Oh iya bener," seru ibuku linglung.

Aku menggeleng-geleng, meraih kemasan makanan kering Rocky yang kusimpan di rak dan meletakkan makanan itu di piring plastiknya. Dia makan, mendahului sang pemilik. Rocky sangat gendut. Dia makan 3 kali sehari, tidur selama yang ia mau, dan berpetualang mencari betina di malam hari. Hidupnya menyenangkan.

Mungkin sebaiknya aku terlahir sebagai kucing.

Aku akan jadi kucing yang lucu.

Geli dengan khayalanku sendiri, aku beranjak ke kamar mandi. Membasuh tubuh, mencuci rambut, dan menggosok gigi secara kilat. Aku lapar, ingin cepat-cepat makan. Tapi sebelumnya, aku menyeduh kopi dulu guna menyegarkan otak.

Kopinya habis.

Mood-ku langsung anjlok. Kehabisan kopi saat bangun tidur bagai bencana bagiku. Aku tidak bisa memulai aktivitas seperti ini. "Mak, kopinya mana?"

Dari lantai 2 ibuku menyahut, "Di toko!"

Selera humor ibuku memang unik. Aku memutar bola mata. "Mak, kopi!"

Wanita luar biasa yang melahirkan dan membesarkan anak yang sangat kontras darinya itu tertawa. "Beli sendiri, tadi lupa beli."

Beli sendiri, dia bilang. Akan mudah, dia kira. Padahal toko terdekat di sini harus melewati markas para kambing. Aku ogah bertemu mereka, lebih baik aku mencarinya di tempat lain. Kalau tidak salah, kemarin aku melihat sebuah kios bubble tea. Itu boleh juga.

Mengenakan jaket, aku berpamitan pada Rocky dan tos dengannya, lantas memasang earphone. Ini hobi, aku suka memakainya kapan dan di mana saja. Tidak peduli meski karena itu aku di cap gadis aneh. Kita tidak bisa terus mengkhawatirkan pendapat orang lain.

Aku berjalan kaki, bernyanyi dalam hati. Hari sudah menjelang malam. Aku tidur sampai sore karena begadang menulis sesuatu. Ibu sudah biasa dengan ini sehingga dia tidak heran. Paling-paling dia hanya akan mengancam menghabiskan lauk yang kusuka kalau aku mengurung diri di kamar.

Lama-kelamaan, kios itu pun terlihat.

Lokasinya agak jauh, jadi aku butuh waktu lama mencapainya walaupun aku termasuk pejalan yang cepat. Yang menjualnya baru buka, dia tengah menata barang jualannya saat aku tiba.

Jariku menelusuri deretan menu. Ada taro, cokelat, strawberry, vanilla, melon dan banyak lagi.

Hmm, pilih mana, ya?

"Yang taro enak." Seseorang berseru, tepat di samping telingaku dan nyaris membuatku terjungkal. Aku menoleh, siap memukul siapapun yang berani mengagetkanku, tapi urung setelah melihat pelakunya. "Cobain yang taro, itu enak beneran."

Lucas. Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia bicara? Bukannya tidak bisa, tapi selama ini dia tampak sangat pendiam sehingga aku tidak menyangka dia akan memulai percakapan lebih dulu. Aku berdeham, pengalaman cintaku yang menyedihkan membuatku gugup. "Iya."

Bukan sahutan yang bagus.

Lucas terkekeh, suaranya berat dan memikat. Dia tahu dirinya tampan dan sadar akan hal itu, menggunakannya sebaik mungkin. "Lucas, kamu?"

Tangan Lucas terulur padaku, mengajak berkenalan di bawah perhatian gadis penjual minuman yang cengar-cengir memperhatikan kami. Tidak ada orang lain selain kami bertiga, tapi tetap saja aku malu. "Yuqi."

"Yang suka kucing itu kan?"

Aku mendongakkan daguku dengan angkuh. "Iya, tapi nggak suka di catcalling!"

Sekali lagi, Lucas terkekeh. Menyusurkan tangan di rambutnya. Rambut itu cocok untuknya, dia tampak menawan. Sangat ... manly. "Maafin. Temen-temen emang gitu, mereka penasaran sama kamu."

"Caranya kampungan," balasku ketus, berkata pada si penjaga kios kalau aku memesan taro. Tidak ada salahnya mencoba hal baru.

Lucas memasan rasa yang sama, senang aku menuruti sarannya. "Kamu sih nggak mau keluar rumah, cuma kelihatan pas berangkat sama pulang kerja."

"Kok tahu?" Aku memiringkan kepala menatapnya, terheran-heran. "Kamu merhatiin?"

Salah tingkah bercampur malu, Lucas mengibaskan tangannya, mendadak terserang batuk-batuk hebat. "Apaan? Ya jelas nggak. Jangan terlalu pede!"

Aku mengulum senyum, bangkit membayar bubble tea-ku yang sudah siap. Harganya murah, tapi rasanya tidak murahan. Dan Lucas benar; taro memang enak meski masih kalah dari cokelat. Ini pertama kalinya aku mencoba taro, tidak mengecewakan. "Duluan, ya?"

Lambaianku tanganku tidak Lucas tanggapi. Dia justru bangkit, menarik ikat rambutku seolah aku adalah kuda yang akan melarikan diri. "Eh, eh, Yuqi, mau kemana? Pulang bareng aja, biar sekalian. Kamu nggak capek?"

Kali ini aku sungguh-sungguh memukul tangannya karena membuat rambutku berantakan. Bubble tea-ku juga tumpah sedikit. Aku merengut. "Biasa aja ish!"

Cengiran tidak bersalah terpampang di wajah Lucas, yang segera berubah menjadi tawa. Berbeda dengan gambarannya dalam kepalaku, ternyata dia anak yang supel dan menyenangkan. Mungkin Lucas hanya jadi pendiam saat temannya melakukan hal bodoh, misalnya melakukan catcalling pada tetangga baru yang misterius.

Kami naik motornya bersama. Aku menyisakan jarak agar dada dan punggung kami tidak bersentuhan. Itu tindakan yang sopan menurutku, tapi Lucas entah kenapa menganggapnya lucu. Mesin menyala. Dia bergabung dengan pengendara lain di jalanan, namun bukannya mengemudi ke arah aku datang, Lucas mengambil jalan lain.

"Kok lewat sini?"

Lucas menoleh sekilas ke arahku. Dia tidak pakai helm, jadi aku bisa melihat ekspresinya. "Di sana macet. Mending lewat jalan pintas."

"Tapi ini lebih jauh!" Kataku bingung, dengan hati-hati menyeimbangkan 2 bubble tea supaya tidak tumpah. Poniku semakin berantakan. Sia-sia sudah aku menatanya tadi.

"Nggak apa-apa," Lucas menenangkan, tersenyum lebih manis dari bubble tea. "Biar bisa ngobrol. Kamu ternyata enak di ajak ngomong, nggak kaku atau judes."

Sesuatu di dadaku berdenyut lebih cepat karena ucapan itu. Pujian paling sederhana yang pernah di suarakan seorang cowok padaku. Tidak romantis, tapi berbeda. Aku mendapati diriku tersenyum meresponnya. "Lain kali traktir makan aja kalo mau ngomong."

Motor melaju lambat, jauh lebih lambat dari motor dan mobil lain, tapi karena Lucas mengambil tempat di pinggir mendekati trotoar, dia tidak mendapat protes dari orang-orang. "Ngopi bareng mau?"

Kata kopi seketika membuatku bersemangat. Aku mengangguk berulang-ulang, tegas dan mantap. "Mau! Kamu tahu coffee shop di sini?"

"Tahu dong. Ada di deket warnet, yang一" Lucas menggeleng, cepat-cepat menutup mulutnya. "Nanti kita kesana, ntar kalo di kasih tahu takut kamu berangkat sendiri."

"Pelit!" Aku memukulnya dari belakang.

Lucas tertawa. Dengan satu tangan merogoh kantong jaket kulitnya yang berwarna sehitam langit malam. Dia mengeluarkan ponsel, menyerahkannya padaku. "Boleh minta nomer?"

Jual mahal, itu pikiran pertama yang terlintas di benakku. Tapi pemikiran kedua menentangnya, Ambil, kapan lagi dapet cogan? Kedua gagasan itu berperang, berusaha mendominasi. Di situasi normal, aku tidak akan dengan mudah menyerahkan nomorku pada cowok asing. Tapi Lucas bukan cowok asing. Dia tetangga. Dia sepertinya baik. Dan jangan lupakan fakta kalau ia tampan, serta mau mentraktirku kopi.

Aku tidak boleh menolak minuman gratis kan?

Ini untuk minuman gratis.

Aku menerima ponsel itu, bertanya, "Password-nya?"

"2205."

"2205," ulangku, mengetikkan 4 digit angka tersebut ke ponsel Lucas. "Ini tanggal rilisnya F9."

"Iya, Han balik. Hidup lagi."

Melalui kaca spion, kami saling membelalak, menunjuk satu sama lain dan tertawa. Motor sampai oleng. Bubble tea hampir jatuh, menyusul datangnya kesadaran bahwa kami menyukai film yang sama. Kami langsung heboh. "Cewek suka film balapan?"

"Iya lah! Itu bagus banget, aku suka dari jaman Tokyo Drift!"

Saking senangnya, aku mengira Lucas akan bertepuk tangan kalau saja ia tidak ingat sedang membawa motor. "Cocok, Yuqi. Nanti nonton bareng sama aku."

Kedua kalinya, aku kembali mengangguk. Ini kejadian langka; membuat 2 janji dalam kurun waktu kurang dari setengah jam. Kami punya banyak kesamaan. Tak kusangka akan ada cowok yang tidak membuatku merasa canggung.

Sayangnya, kami harus berpisah. Rumahku sudah dekat. "Makasih, ya. Udah nganterin."

Lucas mengedipkan sebelah mata, mengusap rambutku yang ia buat berantakan dengan ringan dan melanjutkan laju ke rumahnya yang lebih jauh. "Dah, Yuqi!"

Aku hanya tersenyum. Dengan langkah riang, berjalan ke rumah. Senyum tidak bisa kusembunyikan. Aku sebahagia Rocky yang baru diberi tuna. Lucas sangat menarik! Aku bisa melihat potensi pertemanan kami atau mungkin ... lebih dari itu?

Cowok yang bisa membuatku melepas earphone benar-benar istimewa. Aku bahkan lupa kapan aku melepasnya.

Ah, Lucas...

Aku masuk ke rumah, duduk di samping ibuku yang menonton TV. Tangannya sibuk mengubah-ubah channel, mencari sinetron favoritnya. "Mak, tahu Lucas nggak?"

Ibuku tidak menoleh. "Lucas siapa?"

"Bocah yang tinggi itu, ganteng, sering pake jaket item terus一"

"Oh..." Ibuku segera paham. Seperti yang sudah diharapkan, dia tahu lucas lebih dulu. Dia hebat sekali soal berinteraksi. "Iya, iya, tahu. Dia udah punya tunangan. Kenapa?"

Senyumku menghilang layaknya coretan di pasir yang tersapu ombak. Aku mendengar suara sesuatu yang retak jauh, jauh, di dalam diriku. Harapan, semangat, dan kesenanganku yang semula melambung tinggi jatuh berserakan tiada arti. Aku bisa merasakan mulutku ternganga, tergagap berkata, "T-tunangan?"

Ibu mengiyakan, tidak menyadari perubahan ekspresiku. "Iya, tunangannya juga tinggi lho. Cantik dia."

Si cewek Titan...

Entah kenapa aku memikirkan dia, karena dialah satu-satunya cewek yang pernah aku lihat bersama Lucas. Dan mengingat cara Lucas tersenyum padanya. Jadi mereka ... bertunangan?

Oh, astaga. Aku tertawa.

Di saat yang bersamaan, ponselku bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Sederet nomor asing menuliskan pesan, "Halo, Yuqi, ini Lucas. Save nomorku, ya. Kasih aja nama Lucas ganteng."

Dasar gila.

Siapa yang lebih gila disini? Lucas yang tidak sadar statusnya, mengajak tetangga barunya jalan-jalan dan berani memboncengku di jalanan rumahnya, atau aku yang punya hasrat pura-pura tidak tahu lalu membalas pesannya? Ini gila. Lucas berjiwa kesatria. Kesatria playboy, tepatnya.

Apa yang dia mau?

Memulai tahap awal perselingkuhan panas di musim dingin ini?

Menguatkan hati, aku meringis, menghapus pesan itu tanpa membalasnya.

Harga diri Song Yuqi terlalu mahal untuk sekedar jadi selingkuhan!

Tapi...

Didedikasikan untuk tetanggaQ yang tampan, menawan, tapi sudah bertunangan. Sebagian cerita ini terinspirasi dari kisah nyata wkwkwkwkwk :vv

STARTED & FINISHED : 08 Feb 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top