Chapter 1
Surya pagi pancarkan cahaya hangatnya. Rumah dominan kaca di tengah hutan beri efek cantik untuk penghuni rumah. Dua remaja dewasa baru saja selesai bersiap untuk berangkat sekolah. Kepala rumah tangga menemani sang istri yang tengah menyiapkan sarapan sembari membaca koran pagi di ruang makan.
Dua remaja dewasa yang sekilas memiliki wajah serupa menuruni tangga menuju ruang makan. Duduk di sisi kiri-kanan ayah mereka. "Selamat pagi."
"Selamat pagi." balas Sang Ayah –Alex—melukis senyum. Menyeruput kopi yang tinggal setengah cangkir.
"Yah, bagaimana dengan mobilku?" Keano membuka obrolan pagi. Mengambil selembar roti.
"Cukup buruk untuk diselesaikan dalam sepekan." jawab Alex setelah menutup halaman terakhir koran yang ia baca.
"Lalu, bagaimana aku ke sekolah?" tanya Keano dengan nada kecewa dan sedih.
Alex menatap putrinya yang penuh konsentrasi menyantap nasi goreng yang dibawakan ibunya beberapa menit lalu. "Vea ...," Iris memindahkan pandangan dari sarapannya ke Alex. "Apa Riga bisa berangkat bersamamu untuk beberapa pekan ini?"
"Tentu saja." Iris kembali melanjutkan makan.
Smartphone Iris berbunyi. Sebuah pesan masuk. Melirik layar smartphone yang masih memunculkan nama pengirim pesan. Dibiarkan hingga layar mati otomatis.
"Sayang,aku ingin makan siang di kantor. Apa bisa bawakan aku bekal?" tanya Alex setelah menoleh ke dapur.
"Ingin makan dengan apa?" tanya Nadine dari dapur.
"Jumeokbap."
Iris dan Keano yang selesai dengan sarapannya membawa peralatan makan kotor mereka ke dapur untuk membersihkannya. Iris mencuci piring sedangkan Keano membilas piring dan meletakkan pada tempatnya.
Iris mencium pipi Sang Ibu –Nadine—yang masih sibuk mengolah beragam masakan untuk dikirim ke rumah singgah milik sahabatnya. "Aku mencintaimu, Bu."
Nadine tersenyum walau nada Iris terdengar dingin.
Keano melakukan hal yang sama seperti Irin namun nadanya bertolak belakang dengan Iris. Nadine masih memertahankan senyumnya.
"Yah, kami berangkat." pamit Keano sebelum mencium tangan Alex yang diikuti Iris.
"Hati-hati mengendarai mobil. Pekan ini banyak kecelakaan lalu lintas akibat hujan." pesan Alex pada kedua anaknya khususnya Keano yang akan mengemudikan mobil.
"Siap!" Keano bersemangat. Menyampirkan ranselnya. Berjalan di belakang Iris yang terlebih dahulu ke luar rumah.
**
Smartphone di atas dashboard terus berbunyi dan sama sekali tidak dihiraukan Iris. Ia memilih membaca novel yang baru kemarin ia dapatkan dari siswa yang mengaku menyukainya.
"Ada apa?" tanya Keano setelah menginjak rem akibat lampu merah.
"Jangan pura-pura tidak tahu." Iris masih fokus dengan halaman yang dibaca.
Keano menghela napas berat. Dirinya mengerti alur pembicaraan ini. "Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak ingin memberitahu Danial. Sungguh! Tapi, dia terus memaksaku dengan alasan untuk ekstrakurikuler fotografi."
"Lavender." Iris mengakhiri kegiatan membacanya. Memasukkan novel ke dashboard.
"Kupikir Danial menyukaimu dan bisa membantu mengembalikan emosimu." lirih Keano tetap didengar oleh Iris.
Iris mengubah titik fokus ke luar jendela. Pemandangan kota yang tidak pernah ia suka hingga kini. "Biarkan aku menjadi diriku sendiri."
Belum sempat Keano menimpali, lampu lalu lintas telah berubah hijau. Dorongan klakson mobil-mobil di belakang, Keano segera melajukan mobil dengan kecepatan normal.
Keano melirik saudara kembarnya itu dengan tatapan bersalah. Ia tahu, walau Iris tidak menunjukkan emosinya saat ini, Iris sebenarnya kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga ruang privasi Iris. Dan kata 'maaf' terkadang sulit menghapus aroma negatif Iris.
**
Tahun ajaran baru. Sebagian besar antusias dengan hari ini, namun tidak sedikit yang memilih bermalasan dan tidur di kelas.
Papermint.
Aroma itu sangat dominan di gelanggang basket. Mengudara tiada henti angin menyapunya.
Keano dan Iris duduk di deretan kursi penonton teratas. Menyaksikan pengarahan dari panitia untuk dua hari ke depan. Sebenarnya ini hanya tugas Keano, tapi Keano terus mendesak Iris untuk membantu dalam orientasi siswa baru.
"Aku tidak mau ada heroin sampai dua hari ke depan." mata Iris merekam seluruh gerak-gerik di lapangan basket.
"Aku pastikan tidak akan ada kekerasan."
"Baiklah." Iris bangkit dan meninggalkan gelanggang basket.
Iris menyusuri lorong kelas yang mulai ramai akan aktivitas penghuni kelas. Langkah Iris terhenti saat indera pengelihatannya menangkap seorang murid baru dikerumuni lima murid kelas dua.
Heroin.
"Menyebalkan." langkah Iris tertahan oleh seseorang dari belakang yang memintanya untuk diam.
Seorang murid laki-laki mendekati kerumunan itu. Menarik murid baru dan mengamankan dibalik tubuhnya. Beradu argument beberapa saat sebelum pergi dengan tangan menggenggam tangan murid baru. Mendekati Iris.
"Kakak cantik ini yang menolongmu." ujar Danial dengan senyum menatap Iris.
"Terima kasih, Kak." Murid baru itu mengucapkannya beberapa kali.
Iris mengukir senyum walau nyatanya tetap terasa dingin kemudian beralih ke Danial yang masih menunjukkan senyumnya. "Antarkan ke klinik sebelum ke gelanggang. Katakan yang sebenarnya pada Riga." titah Iris sebelum melanjutkan perjalanannya.
"Siap, Sayangku."
Iris tidak memberikan tanggapan walau kenyataannya Iris masih bisa mendengarnya. Bukan karena ia menerimanya, tetapi ia tahu hal itu akan membuat Danial senang jika mendapatkan tanggapan darinya.
"Kakak tadi pacar Kakak, ya?" tanya murid baru dengan polosnya. Ia sepertinya tidak menyadari suasana yang tadi terjadi di antara ketiganya.
"Siapa namamu?"
"Elizabeth Oktaviani Pranandtya."
"Begini Eli ... doakan saja supaya kakak tadi menerima cinta Kakak." Danial sedikit salah tingkah memberitahukan kebenarannya.
Eli mengangguk. "Eli doakan supaya kakak berdua dapat bersama."
Danial mengelus puncak kepala Eli. "Anak baik. Ayo ke klinik untuk mengobati lukamu."
"Iya." Eli begitu semangat dan mengekor Danial menuju klinik.
**
Cocoa milk.
Iris menutup pintu perpustakaan perlahan.Ketenangan yang ia cari akhirnya didapatkan. Perpustakaan masih sepi oleh siswayang berkunjung. Iris memilih meja di sudut perpustakaan yang jauh dari jangkauan mata pengunjung perpustakaan. Tempat kesukaannya.
Iris menuju rak di mana ia selalu menyimpan buku yang belum selesai dibaca. Mengambil beberapa buku yang akan ia baca. Membaca dengan tenang.
Tiga puluh menit kegiatan membaca Iris berjalan lancar sampai seseorang duduk di sampingnya dengan terus memperhatikan Iris dan ketika angin memberantakkan anak rambut Iris, tangan seseorang itu dengan merapikan tanpa permisi. Dan Iris tahu siapa pengusiknya.
"Danial, bisa sehari tidak mengusikku?"
"Aku merindukanmu." jawab Danial dengan aksen rengekkan anak kecil.
Rose.
"Sebaiknya kau pergi."
Danial menegakkan punggungnya. Menghadap Iris. "Apa kau tidak merindukanku?"
"Untuk apa aku merindukanmu?"
"Jahat!"
"Berhenti bersikap seperti anak kecil, Danial."
"Ti- dak- ma- u."
Iris menutup buku bacaannya. "Apa yang kau ingin kan?"
Danial tersenyum semringah. "Makan siang bersama."
"Ini masih pagi." Iris menunjukkan jam di smartphonenya.
"Tidak masalah asalkan kita makan bersama."
Iris bangkit dan meninggalkan perpustakaan dengan Danial yang awalnya mengekor kemudian berjalan sejajar menuju kantin. Semua mata tertuju kepada mereka berdua.
\\\\////
Tulis. Hapus. Tulis. Hapus.
Yang terus dilakukan selama kurang lebih satu tahun hanya untuk draf cerita.
Maafkan aku yang terus merombakmu beberapa kali. Beberapa ide awal yang dirasa cocok ternyata membuat otak berhenti bekerja tak kuasa bertahan dengan ide yang mencoba keluar dari zona fantasi dan scienfic.
Nggak dapat feelnya? Alhamdulillah kalau begitu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top