Perayaan Kemarin

Perayaan Kemarin
Oleh: DigaRW

Malam itu begitu gelap. Kabut-kabut tebal membelendung hingga berukuran layaknya seekor monster dari ukuran biasanya. Begitu luas hingga menutupi langit yang seharusnya cerah itu; meski bulan pada waktu itu belumlah purnama. Meski begitu, terlihat kilatan bergelora di langit. Langit terang dalam beberapa detik, sebelum akhirnya bumi dan material kaca bergetar akibat daya dahsyatnya.

Aldo menarik semua pakaian-pakaiannya dari lemari. Dia melakukannya atas frustasinya. Mengobrak-abrik setiap lembar kain yang terjahit, dan melemparnya pada ranjang di tengah kamar. Setelah isi hampir habis, dia membanting pintu lemari itu

Dia jatuh dan terduduk bersandar pada lemari. Dia tak tahu lagi apa lagi yang bisa ia lampiaskan untuk emosi yang bercampur aduk. Mata yang mulai memerah akibat luapan perasaan, beserta sembap berlebihan akibat kelenjar air mata. Tak tahu lagi, selain menangis seorang diri di kamar. Aldo hanya tak percaya apa yang terjadi. Kejadian ini luar biasa, hingga bahkan akal sehatnya tak bisa mencapainya.

Cahaya terang kembali menembus jendelanya, membentuk bayangan-bayangan samar dari masa lalu. Setelah kilatan intens akibat gesekan ionisasi, awan-awan yang berukuran masif itu menjatuhkan ribuan air pada akhirnya. Mereka seakan memahami penderitaannya, meskipun mereka bukanlah entitas hidup.

Sampai dua menit telah terlewati, dia mendengar sebuah ketukan beraturan. Itu berasal dari pintu depannya. Aldo terganggu, dan juga penasaran. Siapa yang datang ketika malam sedang hujan? Dia tak akan pernah tahu, kecuali dia menuju ke sana. Dengan berjalan terseok-seok seakan renta, Aldo akan memastikan siapa yang telah menunggunya di depan rumah.

Sesampainya di depan pintu, dia berteriak, "Siapa di sana?!"

Tak terdengar sahutan orang di baliknya. Entah apakah orang itu tak menjawab atau bunyi latar hujan yang menutupinya. Entah apakah orang itu memiliki keperluan atau hanya iseng belaka. Entah apakah orang itu kawan atau penjahat. Dia tidak tahu.

Begitu Aldo membukanya, dia terkesiap. Saluran napasnya seakan tertahan, aliran darah yang tiba-tiba membeku, hingga bahkan tak bisa berkedip untuk sejenak. Seorang wanita berdiri di hadapannya. Tersenyum ketika melihat dirinya yang hanya bisa menatap cengang.

"Elsi? Kau kembali?" Dia mengangkat tangannya seperti hendak memeluknya, tetapi tertahan oleh ketidakpercayaannya.

Aldo perlahan menggerakan tangannya untuk menyisir rambut wanita yang ia panggil Elsi tersebut. Panjang lurus, jemari Aldo menuruni helaian hitam yang basah itu. Poni yang menutupi setengah dari dahi menambah pikatnya. Sementara bibirnya, membuat Aldo terlena akibat merah ranum. Aldo terus memandanginya, sampai tersadar akan kebodohan yang dia lakukan. Dia kemudian melangkah mundur, membiarkan Elsi untuk masuk ke dalam. Namun setelah pintu ditutup, Aldo mendapati Elsi masih berada di ruang tamu, berdiri menghadapnya seakan memiliki keperluan untuk berbicara.

"Ada apa, sayang? Apa kamu tidak mau mengeringkan badanmu?" Aldo mendekatinya dengan perlahan.

Elsi menggeleng dengan senyuman yang meneduhkan, meski beberapa titik air menempel pada wajahnya. Dia kemudian berkata, "Kamu bilang kamu akan menunjukan sesuatu begitu aku pulang."

"Oh, iya-iya...." Dia segera berjalan dengan terantuk-antuk, bahkan menyenggol meja dan menjatuhkan beberapa toples ke karpet. Namun dia tak mempedulikan makanan ringan yang berserakan di sana.

Elsi mengikutinya. Langkah sepatu hak tinggi menimbulkan bunyi hentakan yang membuat gaung. Dia berhenti ketika menginjak lantai area dapur. Terdapat meja makan yang tertata dengan lilin dan perhiasan meja lainnya. Dua piring steak tersaji di kedua sisi meja.

Aldo berdiri di samping meja makan. Dia merentangkan tangan sembari berkata, "Happy Anniversary!"

Elsi menatap perayaan hari jadi pertama setelah pernikahan mereka. Tersenyum senang, dia melangkah menuju Aldo yang sedang menyediakan kursi untuknya. Setelah Elsi mendapatkannya, Aldo segera bergerak menuju kursi di seberang meja. Sekarang mereka saling berhadapan.

"Ayo kita makan!" Aldo mengambil pisau dan garpu.

Daging panggang dengan saus barbeku mesti dipotong terlebih dahulu, jadi Aldo melakukannya. Namun, dia mengalami kendala yang rumit. Tangannya tak dapat berhenti gemetar, bahkan ketika dia mencoba untuk memasukan potongan daging tersebut ke dalam mulutnya. Lebih menyakitkan, kerongkongannya hampir tak dapat memuat daging yang hanya berukuran luas tak lebih dari satu sentimeter. Rasa sesak terjadi begitu dia berhasil menghantarkan makanannya ke lambung. Dia begitu menikmatinya.

"Aku payah dalam memasak dibandingkan dirimu. Jadi, aku memesannya dari restoran di dekat sini." Aldo mengambil suapan lain.

Dia lalu menengok Elsi. Wanita itu belum memakan steak yang berada di depannya. Elsi bahkan tidak menyentuh peralatan makannya. Dia hanya diam, menatap kosong kepada Aldo.

"Apa kamu menyukainya?" tanya Aldo. Namun, Elsi hanya menggeleng perlahan.

"Daging busuk, aku seharusnya tahu itu!"

Aldo menggebrak meja dengan keras, dan melemparkan piring sampai potongan steak-nya berserakan lantai. Pembuangan yang sia-sia dari makanan yang masih hangat. Dia kemudian meletakan kedua tangan di kepalanya. Pening, dia hampir tak dapat menahan lagi.

Elsi tiba-tiba berkata, "Antarkan aku ke kamar."

Aldo mendongak ke seberang meja. Elsi membuat senyuman yang meyakinkannya. Aldo segera berdiri menujunya, meskipun sempat jatuh akibat keseimbangan yang buruk. Menawarkan tangan, Elsi menerimanya. Tangan mulus Elsi terasa sangat dingin dan basah. Mereka berjalan berdampingan menuju ke kamar mereka. Gaun asimetris kuning yang Elsi kenakan menitikan air, membasahi lantai keramik tersebut.

Sesampainya di kamar, Elsi segera duduk di meja rias di samping ranjang. Mengambil sebuah sisir bundar dari mejarias, dia lalu meminta rambutnya untuk disisir oleh Aldo. Awalnya kebingungan, tetapi pria itu menuruti keinginannya. Beruntung, karena sering melakukannya, Aldo tak mengalami kendala sama sekali; meski tubuhnya tak bisa menstabilkan getaran. Aldo mengambil helaian rambut dan menciumnya.

"Kamu mempunyai rambut yang indah," ucap Aldo.

Helaian rambut yang awalnya basah dan kusut, entah mengapa menjadi kering dan halus. Terlebih aromanya begitu wangi di hidungnya. Namun, Aldo sama sekali tak mengetahui keganjilan-keganjilan tersebut.

Elsi membuka pembicaraan. "Sudah setahun kita hidup bersama. Tapi entahlah, aku merasa kita masih kekurangan sesuatu."

"Kenapa, sayang?" Aldo tersenyum mendengarnya, "lagipula, kamu sendiri yang membuat kesepakatan untuk tidak memiliki anak selama setahun, kan?"

"Iya, itu karena aku belum siap." Elsi tampak memuram. Terdapat ketakutan dan kekhawatiran yang besar dalam wajahnya. Melalui cermin, dia menatap dengan cemas pada Aldo.

Sementara itu, Aldo terlihat tertawa geli mendengar ucapan Elsi. Sembari terus menyisir, dia berkata dengan penuh semangat. "Tapi sekarang, ini sudah setahun. Kita bisa memulainya pada hari ini juga!"

"Tidak ...." Elsi menundukan kepalanya. "aku tidak akan pernah bisa memiliki anak."

Aldo menghentikan gerakan menyisirnya, "Apa maksudmu, Sayang?"

Elsi diam. Nampaknya ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Firasat buruk membuat Aldo gelisah untuk jawaban darinya. Tak ingin menunggu untuk selamanya, dia memohon pada Elsi untuk berbicara.

"A-a-a ...." Elsi menahan napasnya,. Meskipun dia merasa tak sanggup, tetapi sudah saatnya untuk mengungkapkannya.

"Aku mandul...."

Keheningan terjadi di antara mereka, meninggalkan bunyi hujan yang ramai di luar jendela. Menjatuhkan sisir dari genggaman tangan, Aldo menatap refleksi dirinya dalam cermin. Bayangan itu seakan menjadi buram dan terpelintir. Pernyataan Elsi adalah sebuah kejutan yang menyakitkan untuk dirinya. Layaknya kaca, hatinya terpecah-pecah hingga menjadi butiran pasir kuarsa. Dia mundur dua langkah dengan kedua tangan di kepalanya. Tanpa bisa menahan luapan, dia meninju lemari di sampingnya.

"Maafkan aku ... maafkan aku ...." Elsi menutup wajahnya dengan tangan, dan mengeluarkan bunyi tangisan sedu. Dia merasa malu dan hina atas kebohongan besarnya selama satu tahun itu.

Meskipun marah dan geram, tangisan Elsi secara dahsyat mampu melembutkan kembali hatinya. Mengambil napas dalam, dia mendekati wanita itu dengan perlahan. Aldo meletakan tangan ke bahunya untuk menenangkannya.

"Tidak apa-apa ... tidak apa-apa .... Aku memaafkanmu. Setidaknya kita masih bersama. Bukan begitu?"

"Tidak, Sayang," Elsi berbisik di sela tangisan, "kita tidak bisa bersama lagi. Aku harus pergi."

Petir menyambar di depan jendela kamar, menimbulkan sinar terang yang membutakan. Melalui pantulan cermin, sinar itu menyilaukan mata Aldo sebelum dia bereaksi atas pernyataan Elsi. Getaran menariknya dari dunia bawah sadarnya.

***

Aldo menarik napas, begitu dalam sampai dia bersuara nyaring. Volume besar oksigen langsung mengisi paru-parunya yang sesak. Membuka mata, ia mendapati matahari dari balik jendela yang penuh keretakan dan pecahan.

"Elsi!"

Hendak bangkit, tetapi dia malah mengaduh sakit dan kembali bersandar di dinding. Telapak tangan kanannya tampak berdarah yang mulai mengering dan sayatan-sayatan. Dia segera mengelap dan menaruhnya tangannya pada pakaian hitam miliknya. Mengamati sekeliling, dia mendapati dirinya berada di kamar tidur. Keadaan tempat tersebut begitu berantakan. Pakaian yang berserakan di mana-mana, meja yang terbalik, seprai yang terobek, cermin yang terpecah, hingga lemari yang rusak. Di sampingnya, terdapat tiga buah botol kaca yang berbau khas alkohol tergeletak kosong di sana; salah satu botol sudah terpecah belah. Aldo lalu mendapati satu bola kertas yang teremas di lantai. Selanjutnya dia segera membuka untuk membaca.

"Elsi ...." Aldo menitikan air mata di pipinya.

Itu adalah selembar surat resmi dari dokter kandungan, yang menyatakan bahwa Elsi mengalami kemandulan sepuluh bulan yang lalu. Selama itulah, dia menyimpan rahasia tersebut. Aldo sendiri baru menemukan kertas tersebut kemarin, tersembunyi di dalam lemari pakaian.

Aldo membuang kertas tersebut, lalu menjerit dan memanggil Elsi. Namun sudah terlambat, dia tak akan pernah berjumpa dengannya lagi untuk waktu berikutnya. Elsi sudah meninggal dunia. Dia terbunuh oleh gegar otak, akibat sebuah kecelakaan yang mereka alami di jalan tol. Dan kemarin adalah hari jadi pernikahan mereka yang pertama, sekaligus hari pemakaman Elsi.

"Kenapa? Kenapa ini semua terjadi padaku?"

Aldo memeluk kakinya, membenamkan wajah untuk sebuah tangisan yang tak pernah lagi dia lakukan sejak kecil. Dia menyesal, untuk semua hal yang telah ataupun yang belum ia lakukan untuk Elsi. Perayaan kemarin yang dia inginkan bersama istri tercintanya tidak akan pernah terlaksana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top