Hyung

Hyung
Oleh: PasirUngu

Note: Hyung adalah sapaanformal untuk kakak laki-laki dari adik laki-laki (dinegara Korea)


"Hyung ... Mingi hyung ... ayo bangun."

Guncangan di bahu yang kian kuat memaksa Mingi menarik diri dari alam bawah sadar, dia mengeram rendah seraya mengerjap berkali-kali. Biji matanya yang masih serasa dipenuhi pasir terbuka sedikit, lalu lamat-lamat menyadari sosok laki-laki manis duduk di pinggiran ranjang.

"Ren?"

Suara Mingi yang berat dan serak membuat Ren terkekeh geli, memamerkan dua gigi depan Ren yang besar dan mirip kelinci. Pemuda itu mengangguk dua kali sewaktu Mingi masih memandanginya dengan tatapan heran dan bingung, lalu kedua iris matanya yang seterang kenari berputar pelan.

"Cih dasar pemalas, sudah siang begini baru bangun," ujar Ren, dia mengacak rambut hitam Mingi yang berantakan.

"Kenapa kau bisa di sini?"

"Karena aku diberi tugas untuk membawamu keluar." Ren menarik lengan Mingi sampai pemuda itu—yang masih setengah mengantuk—duduk miring di ranjang. "Nggak usah mandi deh, langsung ganti baju dan kita pergi."

Mingi terkesiap saat Ren mendorong kaos putih lengan panjang garis-garis horizontal biru ke depan dadanya. Dia tidak tahu kapan Ren mengambil pakaian kesayangannya itu dari lemari kayu depan ranjang, samping jendela dengan tirai merah jambu yang bahkan sudah terbuka. Cahaya matahari pagi terang-terangan menghangatkan ruangan, Mingi mengernyit sambil memandangi Ren dan pakaian di pangkuan, bergantian.

Sudah berapa lama anak ini ada di kamarku, batin Mingi.

"Cepatlah, kita sudah terlambat." Ren tertawa lagi dan sekarang sengaja memamerkan gigi kelinci yang menjadi kebanggaannya. Dia berdiri di depan ranjang, kedua tangannya disembunyikan dalam kantung jaket kuning—kebesaran—yang membalut tubuh tegapnya.

"Memangnya kita mau ke mana?" tanya Mingi seraya berdiri, dia melepas piyama putih motif bulan sabit lalu melemparnya ke sembarang tempat. Sambil berlari kecil menyusul Ren yang sudah di ambang pintu, Mingi mengenakan pakaiannya.

Cahaya putih yang menyilaukan seketika menyambut Mingi sewaktu pintu dibuka, dia mengerjap berkali-kali untuk menyamankan kornea. Kemudian saat dia sudah bisa melihat dengan jelas, Ren tidak lagi ada bersamanya. Mingi sendirian, di ruangan asing yang sepi.

Mingi menelusuri pandang ke sekeliling, lalu menyadari jika ruangan itu tidak asing baginya. Ini kan ruang keluarga, gumam Mingi, lalu menertawakan kebodohannya sendiri.

Mingi memilih duduk di depan meja dengan empat kursi besi, dia menoleh ke arah pintu utama di belakangnya dari balik bahu. Jemarinya mengetuk permukaan meja, jemu sekaligus tidak sabar dengan kejutan yang akan dia dapat dari teman-temannya. Ini hari ulang tahun Mingi yang ketujuh belas, sudah pasti keenam sahabatnya menyiapkan kado spesial untuknya.

Tujuh menit berlalu, Mingi lelah menunggu namun tidak ada yang berubah. Dia tetap sendirian, sepi, sunyi.

"Yak! Cepat keluar!" Mingi berang, teman-temannya keterlaluan. "Terserah deh mau keluar atau nggak, aku tidak peduli."

Bibir tebalnya mengerucut, lalu menyandarkan kepalanya di atas meja. Mata Mingi mengerjap pelan, memandangi jendela samping yang sama dengan jendela kamarnya. Bedanya jendela itu tertutup rapat, tirainya yang sewarna langit senja terkumpul ke sisi kanan.

Mingi terlelap dalam hitungan detik dan terjaga beberapa detik kemudian—atau begitulah rasanya—setelah sayup-sayup mendengar seseorang memanggil namanya.

"Hyung ... Mingi hyung ... ayo bangun."

Ren, sahabat kesayangannya. Remaja laki-laki bertampang cemberut dengan gigi depan yang mirip kelinci, surainya yang sewarna cinnamon belum dipangkas, menutupi jerawat kecil yang tumbuh di dekat telinga. Sementara poninya yang sudah melewati batas alis, menusuk-nusuk ujung bola mata yang terus-terusan berputar malas.

"Cih, sudah siang begini baru bangun," kata Ren, dia mengacak rambut hitam Mingi yang berantakan.

"Ke-kenapa kau bisa di sini?"

"Karena aku diberi tugas untuk membawamu keluar." Ren menarik lengan Mingi sampai pemuda itu—yang masih setengan sadar—berdiri dari kursinya. "Nggak usah mandi deh, langsung ganti baju dan kita pergi."

"A-apa—tadi aku—" Mingi memerhatikan pakaiannya—piyama motif bulan sabit. Dia mengerjap lebih sering sewaktu Ren melempar kaos lengan panjang garis-garis biru tepat di depan wajahnya, lalu dia memandangi Ren dan pakaiannya bergantian.

"Cepatlah, kita sudah terlambat," katanya seraya tertawa, seolah-olah dia sengaja memamerkan gigi kelinci yang menjadi kebanggaannya.

Ren sudah berdiri di depan pintu, kedua tangannya disembunyikan dalam kantung jaket kuning—kebesaran—yang membalut tubuh tegapnya.

"Memangnya kita mau ke mana?" tanya Mingi seraya melepas piyama lalu melemparnya ke sembarang tempat. Sambil menahan bingung Mingi mengenakan pakaiannya, dia berlari kecil menyusul Ren yang sudah hilang di balik pintu.

Cahaya putih yang menyilaukan sekali lagi menyambut Mingi sewaktu pintu dibuka, dia mengerjap berkali-kali untuk menyamankan kornea. Kemudian saat dia sudah bisa melihat dengan jelas, enam pemuda berdiri di depannya.

Syukurlah, batin Mingi. Dia sempat berpikir kalau akan sendirian lagi.

Ren berdiri di tengah, menopang kue yang dilumuri krim putih dengan satu tangan, bertabur potongan strawberry di atasnya dan satu batang lilin warna ungu yang menyala.

"Selamat ulang tahun."

Keenam pemuda yang kompak mengenakan jaket warna-warni itu berseru bersamaan. Mereka melumuri pipi Mingi dengan krim, lalu bergantian memberi pelukan pada si pemuda yang tengah bertambah usia.

"Aku pikir kalian mau main petak umpet lagi," ucap Mingi. Dia terkekeh sewaktu salah satu dari temannya, Terence—lelaki keturunan Inggris yang mengenakan jaket merah, melumuri ujung hidungnya dengan krim.

"Kalau kau mau, setelah tiup lilin kita bisa main itu," kata Juni. Teman Mingi yang paling tinggi, lesung pipi Juni yang dalam terlihat lebih jelas saat dia melebarkan senyum.

"Tidak mau, kayak anak kecil aja." Ren cemberut, lalu menodongkan kue ke arah Mingi. "Cepat buat permintaan dan tiup lilinnya."

"Iya ... iya ... aku tahu." Mingi bersiap mengucapkan doa seraya menutup mata, tapi tertahan karena hentakan tangan Jiwon di bahu kirinya.

"Jangan asal." Jiwon memicing sampai matanya yang sipit tinggal segaris. "Pikirkan baik-baik apa yang kau inginkan di tahun ini."

Mingi memandangi keenam temannya sekali lagi, sebelum memejamkan kedua mata.

"Aku ingin selalu bersama teman-temanku sampai aku mati." Mingi membuka mata, lalu meniup lilin.

Semua orang bersorak, bersuka cita. Ren buru-buru meletakkan kue di meja, meraup krim untuk kemudian dilumurkan ke wajah Mingi. Mereka saling melempar kue, berlarian mengitari ruangan untuk menyerang dan menghindar. Yang paling tua di antara mereka—Ji Jinseok, menyambar kue yang tersisa setengah, lalu melemparkannya pada Mingi yang memaku di dekat jendela.

Kue mendarat tepat sasaran, semua orang bergegas keluar dari ruangan sambil terbahak-bahak, meninggalkan Mingi yang sibuk membersihkan wajah.

"Hei! Tunggu aku—kalian—sialan," umpat Mingi tak tertahan. Dia buru-buru berlari ke arah pintu, mendorongnya cepat-cepat.

Cahaya putih yang menyilaukan kembali menyambut Mingi sewaktu pintu dibuka, dia mengerjap berkali-kali untuk menyamankan kornea. "Jangan lagi," gumam Mingi. Dia tidak berani membuka mata, lelaki itu takut kalau teman-temannya tidak ada.

"Hyung ... Mingi hyung ... ayo bangun."

Mingi terkesiap dan serta merta membuka matanya, dia mengerjap cepat saat mendapati Ren berdiri di depannya. Buru-buru Mingi melihat ke tubuhnya sendiri, lagi-lagi dia memakai piyama putih motif bulan sabit.

"Apa ini?" tanya Mingi pada dirinya sendiri. "Ke-kenapa kau bisa ke sini?"

"Karena aku diberi tugas untuk membawamu keluar." Ren menepuk lengan Mingi sampai pemuda itu—yang masih terbelenggu kebingungan—terhuyung ke belakang. "Aku bertemu ibumu di halaman, beliau cemas sekali. Katanya kau keluar rumah saat tidur. Ya ampun, kapan kebiasaan tidur berjalanmu sembuh?"

Mingi memaku sewaktu Ren mengangsurkan kaos putih garis-garis biru kesayangannya.

"Hyung, lapisi piyamamu ... udaranya dingin."

"I-ini—" Mingi mengedarkan pandang, terkejut bukan kepalang. Dia dan Ren berdiri di bahu jalan sejauh lima ratus meter dari rumahnya.

"Cepatlah, kita sudah terlambat," ujar Ren seraya tertawa dan melambaikan tangan.

Mingi tidak tahu kapan Ren menyeberang jalan lalu masuk ke hutan lindung di seberang sana.

"Ren, tunggu aku!"

Mingi buru-buru menyusul Ren masuk ke hutan lindung sambil memakai pakaiannya, tempat favorit bersama teman-temannya semenjak mereka kecil. Mingi menelusuri jalan setapak yang penuh runtuhan ranting. Pohon besar, rindang, berbaris rapi di sisi kanan dan kiri jalan, rumput pendek tumbuh di sekitar jalan setapak. Seleret jingga Penguasa Langit Pagi menyorot dari celah dedauan bak tumpahan mutiara, berkelip.

Udara terasa lebih dingin sewaktu Mingi kian memasuki hutan, napasnya mulai berat, berkali-kali ranting kayu menggores kakinya. Mingi tidak peduli, dia terus berlari hingga berada di pinggiran batu karang. Mingi menyeimbangkan tubuh, napasnya satu-satu, dia mengedarkan pandang untuk menemukan sosok Ren.

Tepat di bawah kakinya, hempasan air pantai menjilati karang. Angin pantai seketika menelusup ke lapisan kulit, Mingi pucat dalam hitungan detik. Dia berteriak memanggil Ren dan kelima temannya yang lain, pemuda itu tidak mau main petak umpet lagi.

"Mingi hyung, selamat ulang tahun."

Mingi menoleh, Ren berdiri tujuh langkah di depannya. Pemuda yang lebih muda dua tahun darinya itu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi depannya yang mirip kelinci.

"Ya ampun, kau membuatku cemas," ujar Mingi. "Aku pikir kau akan tetap bersembunyi dan membiarkanku sendirian."

"Mana mungkin."

Kelima temannya yang lain tiba-tiba muncul dari belakang, memeluk bahu kecil Mingi lalu bergantian memberi pelukan.

"Selamat ulang tahun." Teman terakhir yang memeluk Mingi tersenyum lebar. "Kau benar-benar suka dengan kado pemberian kami ya?" Dia menunjuk kaos yang dikenakan Mingi dengan ujung dagunya yang runcing.

Mingi mengangguk, senyumnya melebar. "Ren, sini," katanya, melihat Ren dari atas bahu Hojung yang bidang.

"Di situ bahaya, kau bisa jatuh." Mingi cemas Ren berdiri terlalu dekat dengan bibir tebing, tapi bukannya mendekat Ren justru tertawa lalu mencondongkan tubuhnya.

Mata Mingi melebar, dia kehilangan suaranya sewaktu Ren menjatuhkan diri ke bawah.

"REN!!!"

Mingi tidak bisa mencerna kejadian berikutnya, tahu-tahu tubuhnya sudah mendarat di permukaan air pantai yang dingin. Dalam sekejab sekumpulan air mengepungnya, menghisap seluruh udara di sekitarnya. Menariknya kuat, menenggelamkan tubuhnya hingga pandangan Mingi mengabur. Napasnya satu-satu bahkan nyaris hilang, air sudah memenuhi hidung dan mulutnya, tenaganya habis terhisap air yang semakin membekukan tulang-tulangnya.

Tubuh Mingi semakin tenggelam, matanya mulai memejam, tapi kemudian Mingi membuka mata saat suara Ren menggema di telinganya.

"Hyung ... Mingi hyung ... ayo bangun."

Mingi hampir tidak bernapas saat mendapati tubuh Ren yang kaku ada di dekat kakinya, dia tidak ingat kapan dirinya berhasil membawa Ren ke tepian pantai. Ren tidak merespon saat Mingi menepuk pipi, mengguncang bahu dan menekan jantung pemuda itu berkali-kali. Dalam kepanikan yang kian membelenggu, Mingi menggendong Ren di punggungnya, membawanya pulang ke rumah untuk mendapat pertolongan.

Dinding rumah Mingi dicat hijau muda, sementara pintu dan jendela dipelitur putih mengkilap. Mingi tergesa-gesa memasuki halaman rumah, air mata yang jatuh sedari tadi membuat pandangannya berbayang. Dia tersungkur di depan pintu, sambil terisak Mingi menendang pintu dan berteriak memanggil ibunya.

"Ibu!" Mingi memandangi ibunya yang bergeming, duduk bersimpuh membelakanginya.

"IBU!!!" Dia berteriak lebih kencang, kali ini ibunya menoleh.

"Ibu, Ren—tolong—Ren—"

"Haren?"

"Iya Ren." Mingi menoleh ke belakang, "dia—" kalimatnya tertahan, biji matanya nyaris keluar. Mingi mengerjap berulang-ulang, kelu, jantungnya bahkan serasa berhenti berdetak.

Jung Ha Ren berdiri di dekat kakinya, tampak sehat meski pucat. Ada jejak air mata di pipi Ren yang gembul, kemudian Ren melewatinya untuk memeluk ibunya di depan sana.

Di tengah ketidak pahamannya Mingi berdiri, sempoyongan, menopang setengah badannya di pinggiran pintu. Ruang keluarga yang tadi sepi kini sudah ramai, bahkan kelima temannya ada di sana, duduk bersama Ren yang masih memeluk ibunya.

Mingi mendekati kerumunan, tertatih-tatih, menyadari kalau semua orang di ruangan itu menangis. Dia menoleh ketika Juni dan Terence menyalakan dupa, lalu menancapkan dupa pada kendi keramik yang diletakkan di depan bingkai foto. Asap dupa mulai melewati foto pemuda dalam bingkai. Mingi kian mendekati ibunya yang baru saja melerai pelukan pada Ren, jemari sang ibu yang mulai menua mengusap pipi Ren lembut.

"Mingi sudah berjuang selama tiga hari ini dalam komanya, sekarang kau harus merelakannya Haren."

"Seharusnya aku membawa hyung ke rumah sakit lebih cepat."

"Semua ini bukan salahmu Nak, kecelakan itu sudah takdir Tuhan. Relakan dia untuk pergi."

Mingi membatu, lidahnya terasa kaku. Pandangan Mingi terpaku pada foto pemuda dalam bingkai hitam, mengenakan kaos putih lengan panjang dengan garis-garis biru horizontal. Di bagian bawah bingkai terukir nama dan sebaris tanggal.

Park Mingi - 19 Januari 2019

"A-apa?" Mingi terduduk tepat di samping ibunya. Dia meraba dadanya sendiri, bersama uraian air mata yang seketika berjatuhan.

Satu hal yang tidak Mingi sadari, kalau hari yang tertera di bingkai adalah satu hari sebelum tanggal ulang tahunnya yang ke tujuh belas.

-

-

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top