Counting Down
Counting Down
Oleh: PurnamaPagi
Apa yang terlintas dipikiranmu saat mendengar kata perayaan? Begitulah yang teman kerjaku tanyakan saat dia merayakan ulang tahun anaknya dengan bersemangat. Ada yang menjawab perayaan tahun baru, hari raya, atau ulang tahun pernikahan. Sedangkan aku, seorang laki-laki 28 tahun yang belum juga menemukan tanda-tanda akan kisah cinta baru dengan seorang wanita, maupun kehidupan yang bahagia usai tiga tahun ditinggal orang yang kucintai—memikirkan arti hidup saja sudah membuatku kehilangan kata-kata selain karenanya. Karena seseorang yang selalu ada itu, tidak mungkin aku masih bersemangat hingga saat ini menjalani profesi yang cukup berat bagiku.
Cukup untuk hari ini. Aku merapikan tumpukan lembar-lembar ulangan usai kukoreksi sejak siang tadi. Menjadi guru SMP bukan hal yang mudah. Siswa pembangkang yang teramat sulit diajari, siswi yang selalu berisik di tengah pelajaran hanya karena gosip murahan, atau kesabaranku saja yang kurang banyak untuk menghadapi siswa jaman sekarang yang tak tahu sopan santun.
Usai memasukkan semua lembar ke dalam tas, aku bergegas pergi meninggalkan ruang guru. Mengamati sekeliling ruangan, masih kujumpai guru lain duduk menilai hasil kerja siswa di mejanya. Aku mengecek jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Baru pukul empat sore, ya? Sayang sekali, aku ingin buru-buru pulang ke rumah tepat pukul tujuh dan melakukan perayaan seperti temanku tadi. Jika aku tadi berkata tentang arti hidup yang membuatku kehilangan kata-kata, aku baru menyadari jika itu sedikit berlebihan. Aku salah.
Aku benar-benar baru ingat akan hari ini. Aku masih punya sedikit arti hidup dan aku ingin merayakannya tepat hari ini. Yah, meski itu... rasanya tak akan sama lagi, tapi setidaknya perayaan ini tak akan sia-sia.
Berjalan kaki membeli hadiah tak ada salahnya untuk mengukur waktu sebanyak mungkin. Bisa dibilang, semacam kejutan tepat pukul tujuh malam nanti ketika aku sampai rumah dan dia akan terbangun senang.
Kakiku belum jua menemukan tempat perhentian yang tepat untuk hadiah perayaan. Debu dan asap yang bercampur di kota polusi yang sedikit membuatku terbatuk tak menghentikan niatku mencari hadiah. Apa pun yang terjadi, hari ini harus ada perayaan.
Aku meremas baju saking gemasnya. Menatap jejeran kue tar stoberi yang terpajang di etalase toko kue. Tercium juga bau manis dari dalam. Dapat kupastikan jika dia akan senang kubawakan salah satu dari kue ini meski aku tahu jika rasa dari kue tar ini sudah pasti tak akan sama lagi sejak terakhir aku mengunjungi toko ini.
Ah, rasanya masih sama. Seperti kue, perayaan ini teramat manis, hingga tak kusadari jika sedari tadi aku hanya menatap jejeran kue itu dari luar toko.
Tunggu aku. Aku akan pulang membawa hadiah perayaan kita. Perayaan yang manis.
....
Baiklah, ini masih pukul lima sore dan aku belum bisa pulang ke rumah sebelum pukul tujuh karena sudah kubilang ini adalah kejutan.
Kuputuskan untuk mampir ke tempat favoritku yakni taman kota yang ramai. Dengan kue tar pilihanku sendiri yang kuyakini jika ia akan menyukainya, aku mencari tempat di mana aku bisa mengulur waktu sampai jam tujuh malam nanti. Di sisi kotak pasir tempat bermain anak-anak yang masih berisi empat atau lima anak laki-laki, terdapat gundukan tanah berumput yang sepi dan kelihatannya nyaman. Kududukan bokongku di sana seraya menaruh bungkusan kue dengan hati-hati, takut-takut krim stroberi yang menyelimuti atasnya menempel pada kotak kue dan merusak bentuknya yang indah, dia pasti tidak akan suka.
Angin yang membuat rambutku yang belum dicukur bergoyang-goyang membuatku mengingat akan hal itu. Hal yang membuat hatiku senang sekaligus sakit di saat bersamaan kala merayakan perayaan ini setiap tahun. Padahal sudah tiga tahun berlalu, ya. Saat pertama kali kujumpai perempuan semanis krim stroberi di kue tar ini empat tahun lalu sebagai awal pertemuan kami.
Saat itu, aku yang masih menjadi guru honorer bertemu dengannya di sebuah toko kue. Ya, toko kue tadi yang kudatangi. Acap kali aku melihatnya dari luar jendela toko yang besar, perempuan itu selalu berdiri di depan etalase toko, menatap kue tar stoberi dengan mata berbinar-binar. Baru kuketahui keesokan harinya saat hendak membeli roti teman begadang menulis soal ulangan bersama kopi di malam hari—jika perempuan itu bukan sekadar pengunjung, tapi pekerja di sana sebagai pembuat kudapan manis. Pantas saja ia menatap kue-kue itu dengan senang karena hasil karyanya bisa dijual dan menjadi menu andalan toko kue itu.
Singkat waktu, semakin sering aku mengunjungi toko itu hanya untuk melihatnya, dia semakin sering menyapaku dan terlibat obrolan ringan selayaknya pembeli dan penjual. Semakin lama, semakin kurasakan kupu-kupu yang berterbangan di perutku. Rasanya juga semakin kuat. Aku berani mengajaknya pergi keluar selain toko kue itu dan perempuan itu selalu mengiyakan dengan senyuman yang mampu membuat padang bunga dalam khayalanku berterbangan.
Sepertinya sampai situ saja ingatan akan perempuan itu. Tahu-tahu saja, hari mulai gelap dan lampu-lampu taman sudah menyala terang. Menyinari malam yang redup karena sinar rembulan yang menyala lemah.
Jam menunjukan pukul enam sore. Kuputuskan pulang karena perjalanan ke rumah tidak dekat juga jaraknya hanya dengan menaiki angkutan umum.
Tunggu aku. Aku datang.
....
Rumah yang berada di paling ujung kompleks perumahan yang individual ini telah kumasuki dan tak lama lagi kejutan ini akan segera datang.
Aku menghitung mundur dari angka lima saat rumah bercat abu-abu itu sudah tampak dan kupegang plastik berisi kotak kue itu erat-erat.
Lima.
Aku mengaduk-aduk isi tasku. Mencari kunci pintu.
Empat.
Terbuka. Aku memasuki rumah yang kutinggali sendiri. Aku sebatang kara dan tak punya keluarga.
Tiga.
Kucari dia yang biasanya duduk di sofa. Tapi tak kunjung kutemui. Ah, iya aku lupa akan satu hal.
Dua.
Piring. Aku butuh piring dan pisau untuk kuenya. Mumpung dia tidak melihat, aku pergi ke dapur mencari dua benda itu.
Satu.
Kubuka pintu kamar setelah menyalakan lilin berangka tiga. Malam ini, tepat pukul tujuh malam. Sejak saat itu, saat tiga tahun yang lalu... aku membunuh perempuan yang membuatku merasakan kupu-kupu berterbangan itu. Saat ia menolak cintaku padahal sudah setahun kami dekat dan hanya menganggapku teman, ia pergi bersama lelaki lain dan ia bilang mereka sudah bertunangan. Ketika lelaki itu tengah tertidur di rumahnya, aku membunuh perempuan itu dan menaruh semua barang bukti di rumahnya dengan hati-hati dan juga mayatnya tanpa ada yang tahu.
Kala penyebab perempuan itu mati akibat ditusuk tunangannya tersebar, aku tersenyum dari kejauhan karena perempuan itu sudah tak bisa dimiliki siapa-siapa lagi.
Kini, setelah aku tak bisa menahan lagi usai tiga tahun yang lalu ia meninggal, dua tahun yang lalu aku menggali kuburnya dan mengambil tulang yang tersisa setelah memikirkan risiko ketahuan namun aku tak peduli, aku merayakan hari di mana ia tak bisa dimiliki siapa-siapa lagi. Tulang belulang yang ada di atas meja itu adalah dia.
Dia akan selamanya menjadi milikku.
Selamat perayaan kematian!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top