19. Marahnya Zidan (MZ)

Tahu gak persamaannya kamu dengan ujian? Sama-sama diperjuangkan karena menyangkut masa depanku 😝

Happy reading
.
.
.
.

"Brengsek"

Zidan memukul dinding tempat tunggu dia berdiri. Radika yang tadi mengantarnya ke rumah sakit terlihat khawatir. Tadi Radika meninggalkannya untuk menebus obat, dan saat dirinya kembali, Zidan sudah memukul dinding berkali-kali sampai jarinya memar.

"Bang, ada apa?" Tanya Radika yang melihat Zidan menempelkan keningnya ke dinding. Saat ini Zidan terlihat rapuh. "Bang" Radika memegang bahu Zidan.

"Istri gue diculik Dik, mereka menyakiti Rena"

Radika diam, dia teringat cerita Firka semalam tentang Rena yang mendapat teror dari nomor yang tidak dikenal. Radika mencoba melacak GPS di hape Rena. GPS itu terhenti di sebuah tempat yang Radika sering lewati saat menjemput Firka kerja.

"Bang, kita coba susul Rena. Saya lacak GPS di hapenya" Zidan menoleh sekilas ke Radika dengan penuh harapan. Zidan mengikuti Radika berlari menuju parkiran dan segera memacu mobil patwal ke titik dimana GPS itu berada.

Apa yang diharapkan Zidan harus kandas sekarang juga. Nyatanya hape Rena tergeletak di samping tempat sampah, dan tidak ada pemiliknya disana. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Dia tidak bisa menjaga Rena istri mungilnya.

Sebuah mobil SUV berhenti tepat di depannya yang sedang meremas hape Rena. Dua orang lelaki berwajah sama dan berbeda usia itu turun dan menghampiri Zidan dan Radika yang bersandar di pintu mobil.

"Bang Zidan, apa kabar?" 

Zidan menoleh kearah lelaki muda berseragam loreng itu. Zidan berlutut didepan lelaki paruh baya berseragam loreng yang sedang kebingungan dengan tindakan Zidan saat ini. Arsa membantu Zidan berdiri.

"Ada apa nak? Kamu kenapa? Kamu penuh luka" tanya Arsa tenang, Arsa berpandangan dengan Melvi yang juga sama-sama bingung. "Zidan?"

Zidan menangis, meremas tangan Arsa dan merapalkan kata maaf berkali-kali. Zidan menatap Arsa dengan pandangan bersalah.

"Rena diculik Pa. Maaf gak bisa jaga Rena"

Arsa menegang, dia memandang Melvi yang sama diamnya. Memandang Zidan kembali berharap untuk Zidan menceritakannya lebih lanjut. Dan Zidan menceritakannya saat dia tertabrak dan berlanjut Rena di culik orang.

"Kita harus cari kakak Pa" Arsa mengangguk setuju. Radika berdiri tegap dan memberi Arsa hormat.

"Ijin Ndan. Anggota kami sudah bergerak, mencari dimana keberadaan Renata" 

Radika mengajak Zidan kembali ke kantor untuk menemui anggotanya yang lain diikuti Arsa dan Melvi.

🔫🔫🔫

Rendi mencengkram rahang Rena yang tak kunjung berbicara apapun. Rendi ingin Rena segera menelpon Zidan dan menyuruh lelaki itu menikahi adik kesayangannya.

"Cepat telepon suami kamu. Suruh dia menikahi Fika" Rena menggeleng.

Plak

Rendi menampar Pipi Rena kembali. Hingga sudut bibirnya kembali mengeluarkan darah.entah sudah beberapa kali Rena ditampar karena tidak mau menuruti kemauan Rendi dan Fika untuk membujuk Zidan agar menikahi Fika.

Rena merasa badannya lemas. Rendi tidak memberinya minum dan makan. Rena merasa kepalanya pening dan matanya berat untuk terbuka. Dia pingsan saat Rendi mencengkram rahangnya. Bertepatan dengan itu Fika juga pingsan.

"Jaga dia. Gue mau bawa Fika ke rumah sakit" Rendi membopong Fika ke mobil dan melaju kencang menuju rumah sakit tempat Fika berobat.

Rendi memandang nanar kearah Fika yang tak sadarkan diri di bed dengan berbagai alat yang menyalurkan ke monitor di dekat bednya. Rendi kembali mencoba menghubungi Zidan sendirian.

"Halo" suara berat Zidan terdengar diujung telepon.

Rendi memejamkan matanya, menahan sesak yang membuatnya seakan kehabisan oksigen dituangan ini. Rendi harus memilih antara kebahagiaan adiknya yang umurnya tidak panjang, atau merusak rumah tangga cinta pandangan pertamanya Renata. Ya. Rendi cinta dengan Rena, cinta pandangan pertama.

"Halo?"

🔫🔫🔫

Zidan dan timnya merekam dan mencoba melacak keberadaan si penelepon yang mengirimkan pesan ancaman ke Rena.

"Halo?" Ulang Zidan ke tiga kalinya. Amarah Zidan sudah di ubun-ubun, bagaikan film kartun, kepalanya sudah berasap dan siap meledak seperti petasan.

"Saya berikan kamu tawaran--" Zidan dan yang lainnya mendengarkan. "Nikahi adik saya dan Rena akan daya bebaskan, atau kamu ingin melihat Rena terbujur kaku di pemakaman? Saya bisa lakukan itu"

Melvi sudah menahan tangan Zidan yang akan membanting hapenya. Zidan mengatyr nafasnya dan berulang kali mengucapkan istighfar dalam hati sesuai anjuran Rena.

"Kalau ada yang buat calon ayah ini emosi, atur nafas dan ucapkan istighfar berkali-kali dalam hati, jangan sampai amarah menyelimuti calon ayah dari anakku ini"

Ya Allah, hamba mohon, jaga Rena dan bayi di dalam kandungannya. Batin Zidan berdoa.

"Jangan pernah kamu sakiti Rena. Satu inchi kulitnya yang terluka, kamu akan menerima balasan yang lebih menyakitkan dari itu" ancam Zidan. Suara diseberang tertawa sumbang.

"Saya gak takut. Hanya ada dua pilihan Zidan. Nikahi adik saya atau kamu akan melihat Rena mati"

"Apa mau kamu? Sampai kamu culik istri saya"

"Nikahi adik saya. Dia cinta mati sama kamu"

"Saya gak kenal adik kamu"

"Kamu kenal. Dia Fika, perempuan yabg udah tergila-gila sama kamu"

Tut

Zidan kembali mengucapkan istighfar berkali-kali sesuai anjuran Rena. Zidan terduduk lemas, dia mengusap wajahnya gusar.

"Bang" Melvi menegang pundak Zidan.

"Ndan, ketemu. Lokasinya ada di rumah sakit swasta" Zidan berdiri, dia menatap mertuanya dan adik iparnya.

"Rumah sakit tempat Mama bekerja kan Pa?" Arsa mengangguk.

Arsa segera menelpon Azalea istrinya untuk menanyakan pasien bernama Fika yang dirawat disana.

"Dia pasien ku Pa. Sakit kanker Otak. Sayangnya aku dan dokter Eric tidak bisa berbuat banyak, karena sel kankernya sudah menjalar kemana-mana"

Jawaban Azalea membuat Zidan dan yang lainnya kaku ditempat. Perempuan yang ingin dinikahi olehnya adalah perempuan yang umurnya tidak panjang lagi.

"Bang" panggilan Melvi seakan menulikan indra pendengaran Zidan saat ini.

"Saya harus gimana? Rena dalam bahaya Pa. Rena sedang hamil saat ini" ucapnya sambil memegang tangan Arsa.

Affandi dan Rania datang menghampiri Zidan yang tengah frustasi. Rania memeluk Zidan erat. Mereka berdua mendapatkan telepon dari Radika dan mengabarkan kalau Rena diculik.

🔫🔫🔫

Rena kembali tersadar kala ada yang menyentuh pipinya. Tangan dingin itu memandang wajah Rena dengan tatapan bersalah.

"Maafkan saya Rena" ucapnya. Rena tidak membalas apapun, terlalu lemah untuknya berbicara. Sakit di wajahnya saja belum hilang, apalagi dia merasakan sakit diperutnya seperti ada yang bergejolak.

"Harusnya saya tidak menculik kamu dan merusak rumah tangga kamu. Tapi--" suaranya bergetar menangis. "Fika-- umur Fika gak lama lagi Rena. Dia sakit parah"

"Bujuk Zidan agar dia mau menikahi Fika. Saya mohon" dengan nada bergetar.

Rendi mengulurkan hape yang terhubung panggilan ke nomor Zidan. Rena menyiapkan kata-kata yang bisa membuat Zidan menurutinya walaupun rasa sakit di hatinya tidak bisa terbendung lagi.

"Halo. Diamana istri saya"

"Kak Zidan" lirihnya.

"Rena? Sayang, kamu baik-baik aja kan?" Terdengar nada khawatir disana.

"Tolong nikahin Fika kak"

"Enggak. Itu gak akan terjadi"

Plakk

"Akhh"

"Renaaaa. Brengsek! Jangan sakiti Rena"

"Satu kalimat penolakan darimu, akan membuatmu kehilangan istrimu ini"

"Brengsek"

Rena sudah tidak kuat lagi kalau dirinya harus menerima kembali siksaan dari mereka. Yang dia inginkan sekarang bersama Zidan yang memberikan dia keamanan.

"Kak, aku Mohon kak. Hiks.. nikahi Fika.. hiks.. demi aku dan anak kita.. hiks... Aku ... Hiks.."

Rena hamil?. Bodoh Rendi bodoh. Rutuknya dalam hati.

"Bos, dia pingsan lagi bos"

"Bajingan. Kalian apakan Rena" teriakan Zidan membuat Rendi menjauhkan hapenya dari telinga.

"Cukup nikahi Fika dan Renata selamat"

🔫🔫🔫

Hujat Rendi..
Lampiaskan semua yang kalian inginkan..
Bom Rendi, kerahkan pasukan Arsa🔫
Bunda kabulkan...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top