13. Disana Menanti Disini Menunggu (DMDM)
Happy reading
.
.
.
Kalau pacaran dibawah 3 bulan, jangan sebut mantan,debut aja teman khilaf😝
Happy reading
.
.
.
Rena benar-benar datang ke taman untuk memenuhi ajakan Arga yang mengajaknya kencan. Rena tiba disana menggunakan taxi online yang sengaja dia pesan tadi.
Arga menunggunya di sana, duduk bersama seorang perempuan yang sangat dia kenal sekali. Rena menghampiri mereka berdua dan memeluk perempuan itu.
"Ah Rena, kangen kamu" dia Lily anak dari Angkasa dan Lala. Siapa yang tidak menyangka, bahwa Arga akan jatuh cinta pada Lily anak dari dosen sendiri.
"Kuy, gue udah disini" Rena menggandeng tangan Lily. Perempuan yang beda 1 tahun dengan Melvi itu dekat dengannya.
"Tunggu dulu" Arga menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Gue ajak temen tadi, jadi kita biar enak dan Lenlen gak sampai jadi obat nyamuk"
"Seenak jidat lo ya bang. Gue kunyah juga ginjal lo" Arga tertawa terbahak mendengarnya.
Tak lama seorang lelaki seumuran Arga datang dengan pakaian kasual dan memberi senyuman manis di depan Rena.
Manis senyumannya. Batin Rena.
Arga berjalan bersisian dengan Lily, sedangkan Rena berjalan bersisian dengan Rendi. Mereka berdua nampak canggung satu sama lain. Sehingga hanya ada hening diantara mereka.
Arga mengajak mereka makan di cafe dekat taman. Banyak sekumpulan anak muda yang berpacaran berada di sana.
"Pesen gih, jangan dilihat doang Ren, gak bakalan bisa bikin lo kenyang" Rena mencebik, ingin rasanya dia maki Arga sekarang juga.
"Gemes gue sama lo bang, jadi pengen nyekek" dengan senyuman smirk yang dia tujukan untuk Arga. Bukannya marah, Arga malah makin terbahak mendengarnya.
"Pesan gih, gue yang akan bayar semuanya" Ucap Rendi. Rena dan yang lainnya mengangguk. Emang dasar jiwa gratisan mereka. Mendemgar kata gratis aja bikin mereka semangat.
"Lo nggak bayarin kakak gue bang? Pelit lo bang, pacaran kok gak modal, udah misqueen lo?" Arga mendelik menatap apa yang Rena katakan. Misqueen? Bukan Arga sekali, tapi apa salahnya jika dia memanfaatkan gratisan.
"Enak aja, gue masih mampu kali bayarin Lily makan bahkan shopping juga. Gue bisa dan gak Masalah" Alis Rena menukik tajam, seakan meremehkan Arga. "Asli Ren, gue gak suka cara pandang lo sekarang"
"Gimana? Gue cantik kan?" Ucapnya percaya diri sekali.
"Pede bener lo? Gue heran deh, apa yang Akbar ajarin ke elo selama kalian kenal? Tingkah lo mirip Akbar yang kadar kepercayaan diri kalian beratus persen" Rena tertawa, dia mengakui memang benar bersahabat laknat dengan si sableng Akbar membuatnya sedikit ikut tertular sikap gila Akbar.
Tanpa mereka sadari ada seseorang yang terluka dengan wajah ceria Rena saat ini. Tertawa lepas tanpa beban dan membuatnya makin bersinar, seperti ada cahaya yang menyilaukan.
🔫🔫🔫
"Hoeeekk"
Rena memuntahkan semua makanannya di wastafel. Entah sejak kapan, yang jelas setelah tragedi penciuman paksa yang dilakukan Zidan padanya, setiap makan, dia jadi tak bersemangat dan selalu memuntahkannya di wastafel kala dia mengingat ciuman itu. Merasa jijik pada dirinya sendiri. Kejadian itu sudah berlangsung sejak dua Minggu ini.
"Kak, kakak udah tidur belum?" Suara Billal membuatnya segera mencuci muka dan berkumur.
"Apa sih? Emangnya kenapa?" Tanya Rena yang merasa badannya lemas seketika.
"Mau jalan gak?" Rena menggeleng lemah. "Kakak sakit?" Rena menggeleng kembali.
"Gak. Sana kalau mau jalan, jangan malam-malam pulangnya, jam 10 harus sudah sampai, Papa sama Mama lagi di rumah Kakek dan Nenek, Melvi lagi dinas malam" Billal mengangguk.
Setelah Billal pergi, Rena menghempaskan tubuhnya di kasur, merasa lelah setelah dia lembur mengebut menyelesaikan pekerjaan sebelum Akbar cuti menikah dengan Tari teman SMA dan teman dekatnya di rumah dinas.
Rena memandang sebuah undangan pernikahan bertuliskan nama Akbar dan Tari yang akan berlangsung dua minggu lagi.
"Ah pusing gue" Rena mengacak rambutnya frustasi. Dia memilih membaca novel favoritnya, berharap kisah cinta yang berjalan mulus dan bahagia bak sebuah dongeng princess yang selalu dia tonton setiap minggu.
Tring
Bon cabe 🌶😈
Bisa kita bertemu?
Ada yang ingin aku katakan
Tak balasan yang akan dia ketik. Rena memilih memejamkan matanya untuk menghilangkan pening di kepalanya.
🔫🔫🔫
Pagi ini setelah sarapan, Rena berlalu ke kamar dan memuntahkan sarapannya di wastafel. Billal tak betanjak dari pintu, dia jelas sekali melihat Rena memuntahkannya di sana, jangan salahkan Billal yang lancang masuk ke kamar Rena, karena Rena sendiri yang tidak menutup pintunya.
"Bill billal?" Rena tercengang, sungguh dia merasa bak seorang pencuri yang sedang tertangkap basah. Kalau mencuri hati doi sih gak papa.
"Sejak kapan kak?" Rena hanya diam. "Sejak kapan kakak seperti ini?" Billal memandang Rena dengan tatapan sendu.
Melvi yang baru saja pulang, melihat kedua saudaranya itu sedang berdebat, lebih tepatnya Billal yang berbicara dengan nada tinggi pada kakak perempuan mereka.
"Kakak kenapa gak jawab? Jangan mendadak bisu kak, jawab aku" Rena diam, tidak mamou menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Billal.
"Kalau ada masalah tuh ngomong kak, aku siap jadi pendengar kakak, aku siap kalau kakak butuh melampiaskan amarah kakak, asal kakak bisa bahagia" Rena luruh ke lantai, dia menangis terisak-isak. Billal berlutut dan memeluk Rena agar menangis di pelukannya.
Melvi langsung masuk dan mengusap kepala Rena yang tertutup hijab coklat itu. Melvi juga merasa akhir-akhir ini dirinya juga sibuk dan tidak memperdulikan Rena sama sekali. Dia merasa bersalah.
"Please kak, cerita sama kita. Kita gak akan pernah membuat kakak terluka" Rena mengangguk dan memeluk Melvi dan Billal.
Rena hanya butuh pelukan dari saudaranya, dia tidak siap untuk bercerita tentang ciuman itu, oebih tepatnya takut jika Zidan akan mendapatkan bogeman mentah dari ketiga malaikatnya. Siapa lagi kalau bukan Melvi, Billal dan Arga.
"Jangan dimuntahin makanan kakak, kakak tuh kurusan sekarang. Mama udah ngeluh" Rena mengangguk.
"Apa karena perjodohan itu? Kalau kakak gak mau menerimanya, kita bisa bantu bicara sama Mama dan Papa, mereka pasti ngerti kok" Rena mengangguk, ucapan Melvi memang benar.
Rena diantarkan oleh Melvi naik mobil bersama dengan Billal. Melvi ingin menebus waktu sibuknya untuk mengantarkan Rena dan adiknya Billal.
Kepala Rena berdenyut pusing, dia memijit pelipisnya karena pekerjaan hari ini terasa menguras kerja otaknya. Mendekati tanggal muda waktunya untuk gajian adalah pekerjaan yang membuatnya pening.
Rena kira pening yang dia rasa hanyalah saat dirinya berkutat dengan laporan saja, tapi ternyata dia saoah besar. Pening itu terus berlanjut bahkan saat dia sedang menunggu jemputan dari kedua adiknya itu.
Tring
Melviku sayang😘
Kak, bang Zidan udah ijin Papa mau jemput kakak
Melvi memberitahu dirinya saat Zidan benar-benar ada di depannya saat ini. Zidan menggandengnya masuk ke bangku penumpang sebelah sopir. Rena memilih diam, pusingnya masih berlanjut, apalagi lemas di badannya belum hilang. Rena masih memuntahkan semua makanannya. Belum hilang juga kebiasaannya. Ada rasa bersalah pada Azalea karena sudah bersikap seperti orang frustasi.
"Kamu baik-baik aja?" Tak ada jawaban dari Rena. "Rena, saya tanya sama kamu"
"Hm"
Zidan memperhatikan wajah pucat Rena, dia merasa khawatir, tapi satu sisi hatinya mengatakan agar dia tidak terpengaruh dengan wajah pucat Rena, siapa tahu itu hanya akal-akalan Rena saja untuk menghindari perjodohan mereka.
Zidan menghentikan mobilnya di dekat taman, tak terlalu ramai, karena masih sore. Zidan mengkode agar Rena ikut turun. Tak banyak bicara, Rena ikut turun dan bersandar di pintu mobil. Kepalanya makin terasa pusing, Rena hanya diam untuk tidak memijit pelipisnya karena itu akan membuat Zidan makin dekat dengannya, sungguh Rena tidak ingin dia melakukan kontak fisik lagi.
Zidan berdiri bersidekap dada di depan Rena, memandang wajah Rena penuh kekhawatiran. Zat dan maju dan memegang bahu Rena, membuat Rena mendongak. Zidan mengumpulkan keberaniannya, untuk mengajak Rena menikah dengannya.
"Terima saja perjodohan itu, lebih saya menikah dengan kamu walaupun terpaksa, daripada saya harus menikah dengan perempuan yang aneh-aneh dan manja" Rena mengalihkan tatapannya pada Zidan, dia merasa muak dengan kata-kata pedas Zidan.
Zidan mencengkeram bahu Rena, dia tak suka jika dia berbicara dan Rena tidak pernah melihatnya, sungguh membuatnya terluka hanya karena tatapan Rena yang seperti itu. Zidan berharap Rena akan memujanya.
"Tatap lawan bicara kamu" mata Rena mulai berkunang-kunang, jika dia bergerak sedikit saja, dia pastikan dia akan limbung sekarang juga.
"Kamu butuh ciuman itu lagi?" Rena menggeleng. "Baik, kita akan menikah"
"Tidak" jawab Rena lemah, dia memejamkan matanya kala pening hebat menyerangnya.
"Kenapa? Tatap saya Rena, saya tidak terima penolakan, dan kita tetap akan menikah" Zidan mengguncangkan bahu Rena. Hilang sudah tenaga Rena saat ini, dunianya terasa berputar dan badannya terasa lemas tak bertulang.
Bruk
Rena limbung, dia kehilangan kesadarannya. Sebelum Rena terjatuh ke tanah, dia lebih dulu menangkap Rena. Zidan panik, dia menepuk pelan pipi Rena kanan kiri.
"Rena. Rena jangan bikin saya takut. Rena" tak ada jawaban. "Shit!"
Zidan segera membopong tubuh Rena masuk ke mobil, membawanya menuju rumah sakit tempat Azalea bekerja. Zidan dengan gilanya mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, dia bahkan tidak memperhatikan traffic light yang sudah berwarna merah. Seorang polantas mengejarnya dan menyuruhnya menepikan mobilnya. Zisan berdecak sebal, memandang bawahannya dengan tajam.
"Selamat sore komandan, maaf komandan sudah menerobos lampu merah"
Shit! Bego lo Zidan. Batin Zidan.
"Ya. Maaf, tapi saya buru-buru Dik, Rena pingsan" Radika menunduk dan mengamati wajah pucat Rena.
"Saya kawal saja biar cepat sampai ke rumah sakit" Zidan hanya mengangguk.
10 menit waktu yang cepat. Rena berada dalam gendongan Zidan dan membawanya ke IGD. Melewati Azalea, Janet dan Alexa yang sedang berbincang-bincang di lobby.
"Rena" Azalea mengikuti Zidan menuju IGD, diikuti Janet dan Alexa.
"Kenapa ini?" Tanya Azalea pada Zidan yang baru saja dia taruh di bed.
"Tadi pingsan tante Waktu saya jemput Rena"
Azalea memeriksanya, dan Untung saja tidak kritis. Suster memasangkan infus di tangan Rena. Azalea tentunya bingung bukan main, dia tidak pernah melihat Rena sakit.
"Zidan, kamu pulang aja, Rena biar tante yang urus" Zidan mengalah, dia juga harus bekerja.
Setelah Zidan pamit pulang, para lelaki berbeda usia itu datang menuju rawat inap Rena yang hanya ada Azalea disana.
"Ma, boleh aku cerita" Azalea mengangguk pada Billal, mengamati wajah Rena yang masih pucat.
"Kakak, akhir-akhir ini, gak tahu tepatnya kapan, dia memuntahkan semua makanannya, selalu seperti itu jika dia selesai makan"
Azalea memejamkan matanya sebentar, dia sangat tahu apa yang sedang diderita anak perempuannya itu. Azalea menutup wajahnya saat air matanya luruh begitu saja, dia sudah gagal untuk menjaga Renanya, membuat Rena seperti menyendiri saat dia berusaha menjodohkan Rena dengan Zidan. Tunggu Perjodohan itu.
"Lea" suara Arsa membuatnya sadar, dia menghapus air matanya. "Rena sakit apa?"
"Gejala yang Rena dapat mirip sekali dengan penderita Anorexia nervosa. Aku juga gak tahu kak, tapi nanti kalau Rena udah sadar, aku bisa minta tolong pada Alexa untuk pemeriksaan lebih lanjut"
🔫🔫🔫
Apa yang ditakutkan Azalea benar adanya. Renanya mengidap Anorexia nervosa. Azalea merasa sedih, dia tak memperhatikan anak perempuannya ini. Rena sedang membaca novel dan bersandar di di bed. Azalea menggenggam tangan Rena. Rena tersenyum dan menutup kembali novel cintanya.
"Mama ingin bicara berdua sama kamu kak" Rena mengangguk dan tersenyum. "Boleh Mama tahu, apa penyebabnya kamu memuntahkan makanan?" Rena menunduk, tidak berani menatap mata Azalea. "Kak" panggilan lembut itu membuat Rena merasa bersalah, memeluk Azalea.
"Maaf Ma"
"Kamu diet?" Rena menggeleng. "Apa karena perjodohan itu?" Rena mengangguk. Azalea memejamkan matanya dan membelai punggung Rena.
"Kamu mau membatalkannya?" Rena menguraikan pelukannya dan memandang wajah kecewa Azalea.
"Rena gak mau Mama sedih. Rena ingin jadi anak yang berbakti Ma" Azalea menggeleng, menyentuh pipi Rena dengan tangan kanannya.
"Kamu anak Mama, Mama gak mungkin memaksakan kehendak Mama. Mama harap kamu bisa mendapatkan lelaki yang mencintai kamu sayang" Rena mengangguk dan memeluk Azalea.
Tok tok tok
Suara pintu diketuk, Azalea mengijinkan masuk. Radika berdiri disana dengan membawa buah-buahan. Radika tersenyum dan menaruh buah yang dia bawa di nakas.
"Apa kabar Tante, Rena?" Rena bingung dengan kedatangan Radika. "Bingung ya?" Radika terkekeh. "Kemarin saya yang mengawal kalian kemari" Rena tersenyum fan mempersilahkan Radika duduk.
Azalea harus kekuar untuk melakukan visit sore. Memberikan waktu untuk Radika dan Rena berbicara berdua.
"Rena, mungkin ini bukan waktu yang pas, tapi saya ingin bertanya sama kamu untuk yang terakhir kalinya. Apakah kamu tidak mencintai saya?" Renan hanya diam. Radika tersenyum, lalu dia berdiri dan menepuk pelan kepala Rena yang tertutup hijab. "Saya pergi, semoga kamu bahagia dengan bang Zidan"
Rena mendongak menatap Radika yang masih tersenyum, walaupun ada luka dimatanya. Radika mengatur nafasnya yang terasa sesak.
"Bang Zidan, cinta mati sama kamu Ren, sejak dia pindah di Surabaya, dia selalu bertanya tentang kamu ke saya. Bahkan bang Zidan setiap weekend akan berkunjung kerumah finas orang tua kamu. Kalau gitu saya pergi Rena. Terimakasih sudah pernah di hati saya" Radika tersenyum lagi, kemudian dia pergi dari hadapan Rena. Rena menangis, merasa bersalah pada lelaki sebaik Radika.
Zidan melihat Radika baru saja keluar dari ruang inap Rena. Zidan duduk di depan ruang inap Rena, memberi waktu bagi Rena untuk sendiri. Zidan sendiri baru saja dia menghadap ke Arsa dan mengakui perasaannya yang telah jatuh cinta pada Rena sejak dia menjadi pelatih Rena di sekolah. Zidan hanya bisa pasrah menunggu jawaban dari Rena.
🔫🔫🔫
Zidan bucin gaess😝😈
Part terpanjang yang bunda ketik untuk story ini👏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top