Bab 2

"Kenangan akan terus mengalir,
Entah menyisakan kebahagiaan atau kesedihan."

- oOo -

"Little Wylie!" panggil Elgard sembari mendekati Ray dan merangkulnya erat. "Tumben telat. Padahal biasanya kau datang awal."

Ray hanya tertawa kecil menanggapi Elgard. Ia pun menjawab, "Tadi ada sedikit masalah pas pulang sekolah."

"Begitukah? Semangat sobat." Elgard menepuk punggung Ray, membagikan dukungan agar tetap ceria.

"Tenang saja El, dan... apa yang bisa kubantu untuk saat ini?" tanya Ray kepada Elgard.

"Kau bisa merapikan meja nomor 08, dan 10. Setelah itu mengantarkan minuman ke meja 01.

"Jangan terlalu lama membersihkan meja, pesanannya sedang dibuat oleh peracik handal kita." Elgard mengedipkan satu mata. Sesudahnya,  Elgard bergegas ke belakang untuk mengambil pesanan pelanggan lain.

Ray cepat-cepat mengganti bajunya. Ia mengenakan kemeja hitam, ciri khas cafe dan celana panjang berwarna putih, dilapisi celemek. Lelaki tersebut melakukan tugasnya dengan baik, yaitu merapikan meja 08 serta 10.

"Ray!" seru seseorang. Ray langsung menengok ke arah belakang. Ternyata sang peracik sudah selesai membuatkan pesanan. Ia segera ke sana dan membawa Vanilla Latte spesial kepada pelanggan.

"Ini pesananmu, Nona." Ray membungkuk pelan, diiringi oleh senyum yang menampilkan lesung pipinya.

Tampaknya wanita itu sedikit terpesona kepada Ray, tapi yang menjadi fokus Ray adalah surat pada tangannya.

'Surat.. Dia mengingatkanku akan satu hal' Batin Ray.

Kabar Valerie sampai saat ini yang hilang tanpa jejak masih membekas dalam benak Ray. Baru saja ia teringat pada surat yang berada di kapsul. Lokasi tersebut tidak jauh dari cafe, namun cukup menyita waktu.

Ray bertekad untuk membuka kembali kapsul waktu yang mereka kubur pada masa itu besok. Sebab saat ini dia sedang bekerja, juga ada tugas belum terselesaikan. Ray membuang napas kasar dan melanjutkan pekerjaan yang belum dikerjakan.

Malamnya setelah mengerjakan tugas, Ray duduk di balkon. Ia menikmati pemandangan malam kota, kemudian mengadah ke langit.

"Bintang, melambangkan harapan. Ia tidak menyerah menemani bulan setiap malamnya. Walau bulan tidak pernah meminta, namun bintang tetap melakukannya...," ujar Ray. "seperti diriku Valerie, aku tidak akan menyerah mencarimu. Mau kamu berada di bagian kutub selatan, aku akan menyusulmu. Sebab aku ingin selalu hadir dalam hari-harimu, melihatmu tertawa dan menangis lalu menenangkanmu."

Ray mengangkat tangan dengan telapak terbuka ke arah bintang. "Tunggu aku hingga saatnya tiba."

Angin sepoi-sepoi menerpa, membelai lembut wajahnya. Ray sangat menikmati saat saat seperti ini. Ia pun berdiri dan melangkah untuk mengambil secangkir teh hangat bersama sebuah kertas juga pena.

Ray menyeruput pelan tehnya ketika sudah sampai di balkon. Ia menulis surat yang mengungkapkan perasaan rindu kepada sang pujaan hati. Mungkin, suatu saat ia akan memberikan surat ini kepada Valerie oleh karena itu, Ray akan mengumpulkan jadi satu di dalam kotak.

Sesudahnya, ia berjalan masuk. Tidak lupa juga untuk menutup pintu balkon. Ray menuju kamar, menghempaskan diri ke atas kasurnya. Manik mata kecoklatan Ray menerawang.

'Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi?' Batinnya. Kemudian Ray menutup mata dan tenggelam dalam dunia fantasi miliknya.

- oOo -

Keesokan hari, Ray menjalani hari seperti biasa. Namun, rumor tidak benar mulai beredar lagi, yaitu Ray memukul gadis yang menyatakan perasaan kemarin. Saat ia memasuki kelas, temannya menatap aneh dan juga rasa tidak suka kepada Ray. Bahkan meja Ray kotor, banyak sekali coretan.

Ray hanya diam tidak menanggapi, tapi wajahnya mengeras menandakan bahwa ia sedang menahan emosi. Ray meletakkan tasnya. Ia berjalan kedepan, menuliskan 'Meja' di papan tulis dengan kapur.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Ray sembari menujuk tulisan tersebut. Teman-temannya tidak menjawab.

"Saya tanya sekali lagi, siapa?" Ray mengeluarkan nada tajam, artinya bahwa ia sudah diambang batas.

Seorang murid perempuan mengangkat tangan dan berdiri. "Tadi pagi saya melihat segerombolan gadis datang ke kelas ini. Cukup mencurigakan karena kunjungan mereka pagi, di saat murid belum datang."

Ray meletakkan kapur dan bergegas keluar kelas. Ia akan segera mencari segerombolan gadis tersebut. Ray menemukan mereka di kantin, sedikit pembicaraan terdengar.

"Haha, biarin saja laki-laki kemarin merasakan akibatnya." ucap salah seorang darinya.

"Betul tuh, supaya dia tahu jika berani berurusan dengan kita." Gadis tersebut menyeringai lalu tertawa.

"Hai." ujar Ray penuh penekanan, disertai senyum seringai ke arah mereka.

Mereka langsung terdiam begitu mengetahui kehadiran Ray di sana.

"Ayo lanjutkan... topik yang tadi menarik." timpal Ray menambahkan kata-katanya barusan.

"Ah.. itu.."

"Kenapa? Kemana mulut kalian yang tadi? Sudah tidak berani berbicara lagi?" Ray menyelipkan tangan ke saku celananya.

Para gadis tersebut masih diam, tidak berani membuka suara.

"Apakah kalian tahu akibatnya jika berani berurusan dengan saya?" Ray menatap sinis mereka. "Dasar merepotkan."

Sesudahnya, Ray pergi ke kelas sambil membawa kain basah untuk mejanya yang malang. Lagi-lagi murid-murid hanya memperhatikan Ray, tanpa adanrasa untuk membantunya.

Ray tidak peduli terhadap simpati ataupun empati teman-temannya. Ia akan mengurus hal ini sendiri. Tidak lama setelahnya, bel berbunyi. Untungnya kegiatan Ray sudah selesai sehingga ia bisa duduk dengan tenang.

Ray tidak akan terganggu oleh hal kecil seperti ini. Ia harus fokus pada jalan awal, yaitu mencari Valerie. Sebab hanya gadis itulah yang bisa mengendalikan dirinya. Mau kata orang bahwa Ray lemah dikendalikan oleh seorang gadis, ia tidak peduli. Sebab senyum gadis itu meluluhkan hati beku yang selama ini tidak terjamah. Sang harapan, Valerie.

18 Desember 2017
Salam,

GL

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top