Invalidite | 9

Don't let girls ruin your day. Especially if she's cute.

- Dewa Pradipta -

Hari ini tim mereka sedang mengerjakan proyek baru yang bekerjasama dengan sebuah perusahaan kosmetik brand internasional. Sejak pagi, studio dipenuhi oleh banyak model dan kru freelance yang membantu persiapan pemotretan.

Rendi sibuk memboyong model ke ruang ganti dengan berbagai arahan. Gerka tampak repot memberi intruksi aturan set dan juga lampu. Sedangkan Dewa tengah menyiapkan seperangkat kamera serta lensa di atas meja panjang di tengah ruang. Cowok itu fokus menyapu mata lensa dengan kuas saat seseorang menggelayut di lengannya.

"Dewa," panggil manja Siska, ia seperti sengaja berdiri begitu dekat dengannya. "Abis ini jalan sama gue, ya."

Dewa nampak acuh dan mengambil lensanya yang lain. Siska belum ingin menyerah tentu saja. "Wa, gue minta nomor lo dong," Siska merapatkan dadanya ke lengan Dewa. "Biar kita gampang janjian,"

"Woi, elahh!" Sergah Gerka tiba-tiba. Ia sedang membawa kardus besar berisi properti. "Ini uler keket ngalangin jalan mulu, geseran lo!"

"Itu jalan sono lebar lo malah lewat sini!" sahut Siska tak kalah galak.

"Lagian bukannya siap-siap take foto, ini malah melingker disini. Minggir!" Gerka mengeratkan pelukannya pada kardus dan menggeser Siska menjauh dengan kardus. "Wa, kepake gak nih? kalo enggak gue balikin gudang."

Dewa menoleh melihat isi kardus berupa lampu sorot. "Enggak. Sekalian beresin tripod. Kotaknya ada di gudang."

"Deket mana?"

"Sampingnya kardus tirai."

"Bukannya udah gue buang ya itu kemaren?"

"Yang lo buang kardus screen layar."

Gerka tampak mengangguk-angguk karena baru teringat hal yang sebulan lalu dikerjakannya. Ia kemudian berlalu dengan sebelumnya mendapat delikan tajam Siska.

Cewek itu kembali merangkul Dewa. Meski ia tidak dipedulikan sama sekali, Siska nampaknya tidak merasa terganggu dengan itu.

"Nomor lo mana, Wa?" minta Siska lagi.

Dewa menarik lengannya, bahkan tanpa menoleh. "Berisik! Gue sibuk!"

"Yaudah, gue yang ambil sendiri," Siska meraba kantung celana Dewa, memasukkan tangannya disana dengan gerakan yang disengaja menggoda, namun usaha itu terhenti karena Dewa mencekal tangannya.

"Lo masih mau jadi model disini?" Dewa mengibaskan tangan Siska. "Jaga tangan lo tetep diem."

"Kenapa? Biasanya lo suka," Siska kembali mendekat, merebahkan kepalanya di bahu Dewa. "Gue aja masih keingat terus malam itu."

Lagi, Dewa mendorong Siska menjauh. "Gue enggak." Ia memutari meja dan melanjutkan kegiatannya.

Siska terkekeh. Ia malah mengikuti dan berdiri di sebelah Dewa lagi. "Mungkin lo perlu diingetin. Gimana kalo malam ini? Gue yakin lo gak bakal nyesel,"

Siska mulai meraba lengan Dewa, lalu menjalar ke beberapa lensa di atas meja. Belum sempat cewek itu menyentuh, Dewa sudah menahannya. Kali ini benar-benar mencekal tangan Siska kuat.

Terlihat cewek itu meringis namun Dewa sudah terlanjur kesal. "Jangan sentuh kamera gue!"

Ada alasan kenapa hanya ada Dewa di meja ini. Kenapa hanya Dewa yang membersihkan lensa kamera, dan kenapa tidak ada yang boleh menyentuh kameranya.

Karena bagi fotografer, kamera adalah nyawanya.

"Oh, dan malam itu," Dewa menatap kesal Siska. "Itu cuma satu malam yang gak berarti apa-apa buat gue. Udah lama. Udah basi. Jangan anggap diri lo beda cuma karena itu. Lagian lo lupa kalo gue gak tahan sama satu cewek aja?"

"Santai dong, Wa." Entah buta atay memang cewek itu tidak punya malu, Siska justru berdiri merapat. "Kita sama-sama tau kalo gue bisa nyenengin lo lagi, kenapa harus ditahan?"

Dewa menahan lidahnya saat tiba-tiba ia mencium samar aroma bedak bayi, membuat cowok itu menoleh. Di seberang meja penuh kameranya, Pelita berjalan mendekat. Kekesalan atas gangguan Siska bertambah berkali lipat karena ternyata cewek itu tidak datang sendiri.

"Ngapain cewek itu disini?" ucap Siska sinis.

"Halooo..." Sapa Pelita terlampau riang sambil melambaikan tangan. "Wahh...tempatnya bagus ya. Banyak lampu-lampu," Pelita mendongak penuh menatap langit-langit.

Siska maju bersidekap. Memperhatikan penampilan Pelita dari atas sampai bawah. "Lo kesasar?"

Pelita mengerutkan dahi bingung. "Enggak kesasar, kok. Emang mau kesini. Yeee salah nebak..."

"Cih," Siska menggendikkan bahu. "Dengan tampang kayak gini lo cocoknya bagi-bagi pampers di panti jompo!"

"Mulut lo gak sekolah?!" Gilvy yang berdiri di sebelah Pelita menyahut kesal.

"Lo ngapain?" Kali ini Dewa yang maju melewati Siska, berhadapan langsung dengan Gilvy. "Gue gak terima kehadiran penjilat disini."

Kalimat itu membuat wajah Gilvy mengeras. Sama seperti Dewa yang tidak menunjukkan keramahannya. Keduanya berdiri diam dengan tatapan saling menusuk.

"Gue nganter Pelita. Mastiin dia baik-baik aja dari serigala macam lo."

Dewa mendengus. "Kalo gitu lo udah bisa pergi sekarang."

Siska sendiri tampak congkak karena berpikir Dewa maju membelanya, sedangkan Pelita menghela napas lelah.

"Pada suka berantem, ya. Heran, deh." Pelita menggerutu. "Kamu," tunjuk Pelita dengan dagu ke arah Dewa. "Aku disuruh kesini ngapain?"

Siska tertawa. "Mana mungkin Dewa yang nyuruh kesini," Siska bergelayut di lengan Dewa. "Bikin sakit mata tau gak. Mending minggat sana. Gak cocok cewek jelek ketinggalan zaman berkeliaran disini. Bisa-bisa nyebarin virus dari bajunya yang mungkin diambil dari museum itu."

"Mbak ngomong sama siapa sih dari tadi?" sahut Pelita. "Aku bingung mau nyaut apa enggak nih."

Siska membuka mulutnya lebar. Ia melotot kesal. "Wa, suruh mereka pergi aja, deh."

Gilvy semakin jengah melihat kumpulan orang yang tidak menghargai Pelita. Ia tadi memang sengaja datang ke restoran, berniat mengantar cewek itu pulang. Namun Pelita memaksa datang kesini. Sekarang baru dua menit mereka berdiri di ruang serba putih ini, dan Gilvy sudah sangat ingin membawa Pelita pergi.

"Ta," Gilvy menyentuh pundak Pelita, yanf tertangkap jelas oleh mata Dewa. "Pulang aja, ya."

"Kenapa? Kita baru sampe? Ini tempatnya bagus banget coba deh liat," ucap Pelita tersenyum sembari melemparkan matanya ke segala sudut ruang.

"Norak!" cibir Siska.

"Ta, kamu mau ke panti kan kemaren. Aku bisa anterin sekarang."

"Oh iya. Bentar nanya Dewa dulu ya, Gil." Pelita beralih menatap Dewa. "Tadi Dewa nyuruh kesini mau ngapain?"

"Lo ngayal apa gila sih? Dewa tuh gak mungkin nyuruh lo - a-aduh," Siska terpekik karena Dewa mendorongnya menjauh. "Dewa!"

"Sana lo sama Rendi. Atau pulang aja sekalian. Terserah. Gue gak butuh model cerewet!"

Siska merasa mati kutu. Mendapat kesempatan menjadi salah satu model Dewa adalah hal yang sulit. Ia harus memohon dengan sangat pada Rendi dan juga Gerka. Ini sama saja dengan sebuah kesempatan untuk bisa mendekati Dewa lagi. Setelah menatap Pelita sengit, akhirnya Siska memilih beranjak menuju ruang ganti.

"Gue mau bimbingan." ucap Dewa, bersidekap. "Jadi suruh pacar lo pulang."

"Gilvy? Udah dibilang bukan pacar, ih." Pelita mendongak ke arah Gilvy. "Enggak kan, Gil?"

"Bagus kalo gitu," Dewa yang menyahut, lalu meraih bahu Pelita agar berdiri di sampingnya. "Sana." Lalu mengibaskan tangan di udara untuk Gilvy.

Pelita yang melihat itu memukul tangan Dewa turun. "Gak sopan. Masa ngusir orang gitu, sih."

"Yadia gak diperluin."

"Aku tunggu di luar aja ya, Ta." Gilvy akhirnya bicara. Ia tidak ingin menimbulkan keributan di wilayah Dewa, dan juga tidak akan meninggalkan Pelita.

"Gausah ditungguin. Dia bakal lama sama gue,"

"Paling cuma satu jahmmppphhm-," kalimat Pelita terhenti karena Dewa menutup mulutnya cepat.

"Kalo lo mikirin gimana cara cewek ini pulang," lanjut Dewa. "Gue yang nganter. Beres, kan? Dah sana. Hushh!"

Pelita melepaskan bekapan tangan Dewa. Lalu menyentakkan tongkatnya ke kaki cowok itu. Dewa hanya membalasnya dengan melotot.

"Yauda, Gil. Gak papa. Nanti pulangnya sama Dewa aja,"

"Aku tetep nunggu kamu." Sahut Gilvy bersikeras.

"Tenang aja, nanti kalo Dewa jahat, aku gebukin dia pake tongkat."

Alasan Gilvy untuk tetap tinggal menipis, karena ia juga tidak bisa melarang Pelita. Ia hanya seorang teman bagi Pelita, meski Gilvy merasa lebih.

Ia tersenyum lemah menanggapi Pelita dan membagi tatapan permusuhan untuk Dewa sebelum melangkah keluar dengan berat.

"Ini terakhir kalinya lo jalan sama dia," ujar Dewa. "Gausah gatel napa jadi cewek."

"Dih, kenapa gaboleh? Dia temen aku, kok. "

"Gak ada pertemanan diantara cowok sama cewek." Dewa kembali ke meja panjang. Mulai merakit kameranya lagi.

"Kamu tukang foto?" Tanya Pelita dengan mata membesar. Terlihat begitu tertarik dengan semua barang disana.

"Fotografer!" Koreksi Dewa tidak terima.

"Sama aja, deh. Yang suka keliling jajanin foto itu,"

"Ck," Dewa mengangkat kamera DSLR-nya yang sudah terpasang tele. "Apa lo pernah liat tukang foto keliling bawa kamera kayak gini?"

Pelita menggeleng.

"Jadi?" Sambung Dewa menggertakan giginya.

Pelita memperhatikan semua jenis kamera di atas meja, mulai dari lensa terkecil sampai besar. Beberapa kamera dengan bentuk berbeda lalu kembali memandang Dewa, tersenyum lebar. "Kamu. Tukang. Foto." Ucapnya seperti sedang menjawab soal kuis.

Dewa mengeram dengan jengkel. Pelita terkekeh melihat itu. "Lagian kenapa minta bimbingan tiba-tiba. Hari ini bukan jadwalnya, deh."

"Suka-sukalah. Yang ngatur gue, bukan lo."

"Padahal kamu punya ingatan super," ujar Pelita. "Soal-soal pertama yang aku kasih tempo hari jawabannya bener karena sebelumnya aku kasih penjelasan dulu. Dan yang kedua gak bisa jawab karena aku langsung ngasih soal tanpa penjelasan. Jadi selama ini masalah kamu cuma males aja, kan?"

"Kayak gue males denger lo ngomong dari tadi."

"Tuhkan, galak! Pulang aja nih," Pelita terdengar merajuk, berusaha terlihat mengancam. Yang membuat Dewa menatapnya. Hanya beberapa detik saja karena wajah Pelita langsung kembali dihiasi senyum sumringah.

"Hehe... Iya-iya tau. Empat permintaan. Utang dua puluh juta." Pelita mengambil tempat duduk di kursi kayu sisi meja. "Ayo kita belajaaar, biar pinter dan gak ngomong bego-bego lagi!"

Dewa memutar mata dan mengambil kameranya menuju set pemotretan.

"Loh-loh. Dewa mau kemana?"

Dewa berhenti. "Gue motret dulu. Lo diem disitu. Jangan pegang barang-barang gue."

"Yahh.. Tukang foto kok gak konsisten. Tadi minta bimbingan. Sekarang malah moto-moto."

Mendengar itu Dewa kembali menuju Pelita lagi, menarik ujung kepang cewek itu. "Apa tadi lo bilang?"

"Aduh-duh jangan ditarik, Wa." Pelita mengambil tongkatnya dan memukul kaki Dewa. Mereka saling menyerang satu sama lain sampai Rendi memanggil karena semua model sudah siap.

"Awas lo kabur!" Ujar Dewa mengancam. "Gue lapor polisi, mau?"

Pelita menggeleng. "Enggak mau."

Dewa berlalu dari sana setelah sebelumnya berhasil menarik sekali lagi kepang Pelita. Bisa ia dengar rengekan tidak terima cewek itu.

Dewa sengaja meminta Pelita datang.

Yang ingin Dewa tunjukkan adalah, jika semua wanita cantik semampai disini tergila-gila padanya, bersedia melemparkan diri ke pelukannya, maka tidak ada alasan pula bagi Pelita untuk tidak melakukan hal yang sama.

***
TBC

Yihaaa...

Siapa yang ngira aku update lagi? 😆😆😆

Well, ini masih malam minggu kan? Gak ada bedanya dari malam biasa njir!!!

Sampai disini gimana kesan kalian baca invldt?

Aku mau ganti cover deh, udh ada bikin beberapa, ntar vote ye. Hehe

Follow instagramku juga. Gak pp sih. Polow aja hahaha

Seperti biasa, Dewa sama Pelita mau ngucapin met malam buat kalian. Muach

Mas Dewa yang gak pernah senyum. 😲

Mbak Pelita yang demen banget senyum. 😁

Faradita
Penulis amatir yang malam-malam gini disuruh nyetrika. Seandainya bisa 'wingardium leviousa" aja, ish.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top