Invalidite | 8

All I learned was how to be strong, even alone.

-Pelita Senja-

"Gue punya ingatan fotografis,"

Sepasang mata bulat terhalang kacamata tebal di hadapannya tampak terbelalak. Apakah yang dikatakannya semengejutkan itu?Dewa sendiri tidak pernah menganggap itu hal yang spesial.

"Kamu serius?! Beneran?!" Teriak Pelita.

"Gak bisa lebih kenceng lagi?"

"Bisa," Pelita sudah membuka mulut tapi Dewa membungkamnya dengan tangan. Hal yang justru menyulut tawa Pelita. Ia menurunkan tangan Dewa dengan terkekeh. "Jadi ingatan kamu tajam? Ingatannya kuat? Bisa inget apa aja? Kayak ingatan super?"

"Apa lo sekarang mulai mikirin gue sebagai super hero?"

Pelita mengangguk penuh antusias. "Bentar," ia mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas. "Dewa liat sini-sini," ia menghadapkan bagian lembarannya ke arah cowok itu. Lalu membuka isinya dengan cepat menggunakan jempol.

Dewa mengangkat sebelah alisnya melihat tingkah aneh Pelita.

"Gimana? Bisa inget gak?" Ucap sepasang mata bening yang memandang Dewa berbinar.

Dewa sendiri mulai jengah. "Mana keliatan digituin!" Pelita terlihat begitu tertarik dengan kemampuannya. Membuat Dewa memilih mundur.

"Yaudah," Pelita yang tidak menyerah mengangsurkan novel itu. "Baca dulu,"

"Gak mau. Apasih lo. Cari sana patungnya biar cepet balik."

"Yatapi ambil ini dulu. Aku penasaran gimana sistem kerja ingatan kamu." Pelita bergerak maju, namun tasnya yang terbuka karena tadi mengambil novel, justru terkait pada salah satu sanggaan rak kayu yang mencuat. Hal yang membuat rak tiga tingkat di belakangnya tersebut berderak oleng.

Dewa yang melihat itu kembali meraih Pelita cepat. Kali ini dengan satu pelukan erat, memutar tubuhnya saat seluruh patung di pajangan rak jatuh. Beberapa patung sempat menimpa punggungnya sebelum pecah jatuh ke lantai.

Langkah berderap sang pemilik toko terdengar dari arah dalam. Laki-laki bercelana pendek dengan celemek kotor oleh tanah liat itu memandang lantai yang semula bersih kini penuh dengan serakan tanah tak berbentuk. Lalu mendapati dua sejoli berpelukan tentu bukan sesuatu yang ramah di matanya.

"Apa yang sudah kalian lakukan?!"

"Dewa," bisik Pelita berusaha mengurai pelukan. Namun ditahan oleh cowok itu.

"Raknya rubuh, Pak." Sahut Dewa santai.

Pemilik toko mengeram. "Memangnya rak ini bisa ambruk sendiri. Liat, puluhan jualanku hancur lebur. Kalian gak akan mengerti berapa nilainya karena kalian bukan pelaku seni sepertiku. Aku rugi besar, rugi besar!! Kalian tahu berapa harga semua ini, hah! Memangnya mau apa anak ingusan seperti kalian datang kesini? Paling cuma mau cari tempat foto-foto, atau main-main kayak anak bodoh lainnya!"

"Pak," Dewa melepaskan pelukan, berdiri di depan Pelita. "Rak itu sudah reyot. Harusnya bapak juga udah tahu. Beberapa sisi kayunya dimakan rayap. Cuma ada dua paku di setiap papan penyangganya. Bagian kaki rak yang harusnya kuat sebagai penopang malah cuma dipakaiin satu batang balok kayu ukuran kecil. Rak yang paling atas malah lebih parah karena cuma pake triplek tipis. Dengan kondisi rak rapuh kaya gitu, mana bisa nampung dua puluh lima barang yang dipajang sekaligus."

Sang pemilik toko mengerjap, terkejut akan penjelasan detail Dewa. "Gi-mana kamu tahu jumlahnya?"

"Ada empat puluh delapan patung di dalam toko ini," lanjut Dewa. "Sepuluh kendi tanah liat, lima belas guci berdebu di belakang pintu, tujuh patung hewan di atas lemari, lima lukisan dinding yang digantung asal, dan sebelas hiasan bambu tidak terawat di atas kepala kita sekarang. Semua barang yang hancur ada delapan patung setengah badan, sepuluh patung kecil ornamen cina, ditambah tujuh mangkuk dari tanah liat."

Pelita menutup kesiap kaget di mulutnya, sedangkan Dewa memasukkan tangannya ke dalam saku. "Bapak pelaku seni? Tapi bapak gak memperlakukan semua barang-barang disini dengan layak."

Pemilik toko melebarkan matanya, ia kehilangan kalimat dengan mulut terbuka. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Kamu!" Pemilik toko rupanya cukup tersinggung. Tangan penuh tanah liat itu mengepal. "Ganti rugi atau saya panggil polisi!"

Jika Dewa memutar matanya, Pelita beralih panik.

"Pak," selanya maju. "Kami minta maaf. Kami ganti kok pasti," Pelita merogoh tasnya mengambil dompet. "Berapa, pak?"

Sekilas, bapak itu melirik ke arah Dewa tidak suka sebelum berdehem menyebutkan angka. "Dua puluh juta."

"Gila aja," Dewa mendengus. "Gimana kalo kita ke kantor polisi bareng-bareng, pak?"

Pelita meremas dompetnya, gelisah. "Tapi saya gak punya uang sebanyak itu,"

"Kamu pikir saya peduli?! Ganti semua ini sekarang juga!"

Pelita menggigiti kukunya, hal yang dilakukannya tanpa sadar jika gugup. Ia lalu memandang Dewa penuh pengharapan. Yang ditatap malah membuang muka kesal.

"Dewa," bisik Pelita. "Aku mau ngutang."

"Eh, bego. Bapak ini lagi manfaatin kita ngerti gak sih lo?"

Mendengar itu, sang bapak tidak membantah sama sekali. Melainkan bersidekap seolah membenarkan dan mau tidak mau keinginannya harus menurut.

"Tapi kita yang salah," cicit Pelita lemah.

"Lo yang salah!" Sergah Dewa.

"Iya-iya aku yang salah. Makanya mau minta tolong sama Dewa," Pelita mulai berkaca-kaca memandang Dewa. "Aku gak punya uang segitu banyak. Nanti kalo aku dilaporin ke polisi gimana? Ayah nanti sama siapa?"

Dewa kembali melengos. Tangan kecil Pelita menarik bajunya. "Dewa," ucapnya lirih.

Menghembuskan napas kasar, Dewa menepis tangan Pelita lalu meraih ponsel dan mendial sebuah nomor.

Melihat Pelita memohon sangatlah mengerikan, namun melihat sang pemilik toko menyeringai puas membuatnya semakin kesal.

"Ren," ucap Dewa ketika sambungan telpon terjawab. "Transferin duit. Ntar gue sms rekeningnya."

***

Hari minggu selalu menjadi saat yang ditunggu oleh Pelita. Ia bangun sama paginya dan menyiapkan keperluan sarapan Burhan seperti biasa. Hanya saja tujuannya kali ini berbeda.

"Silakan, bu. Restoran kami ada menu baru, lho. Lagi promo diskon 30%! Dijamin rasanya bikin gamon."

Panas terik yang menyengat di tengah hari sama sekali tidak mengganggu senyumnya menyapa setiap orang yang lewat. Pelita mengangsurkan selebaran itu kepada seorang ibu-ibu berbadan tambun. Mengangguk penuh senyuman ketika ibu itu mengambilnya.

"Gamon apa, dek?" Tanya si ibu.

"Gamon itu Gagal move on, bu." Sahut Pelita sumringah. "Mungkin nanti ibu seringan inget makanan di restoran ini daripada sama bapak di rumah."

Ibu itu tertawa lalu berlalu setelah mencubit lengan Pelita gemas. Pejalan kaki yang lain pun lewat tidak luput dari sapaan dan senyum ramahnya. Mulai dari menepuk bahu anak kecil riang dan menghadiahinya permen yang ada tulisan semangat. Lalu memberikan tisu pada ibu-ibu yang berkeringat ketika menghampirinya.

"Istirahat dulu, Ta," Sela Aya. "Udah jamnya ini,"

Pelita menunjuk selebaran di tangan. "Mau abisin ini dulu, mbak." cengirnya.

Aya mendekat seraya menggelengkan kepala. "Harusnya tuh ya, Pak Beni ngangkat lo jadi pegawai tetap. Gue berani jamin dia bakal rugi banyak kalo gak ngelakuin itu. Liat aja karyawan di dalem santai-santai doang."

"Mungkin karena pengunjungnya belum banyak, mbak. Jadi mereka gak ada yang dilayanin,"

"Yatapi bisa kek gausah keliatan gaji buta gitu. Kesel gue liatnya. Di dalem leha-leha, lo disini justru mondar-mandir."

"Iya dong, kakiku kan empat. Sehat dan kuaat," Pelita terkekeh."Makanya doain dong, biar bisa jadi karyawan tetap juga," Pelita menyatukan tangan di depan dada. "Nanti aku traktir makan kalo bener kejadian. Okee?"

"Gue ngomong gini bukannya minta traktir. Tapi karena lo emang pantes. Udah setahun lo disini, kinerja bagus lagi, yakin gak lama lagi lo diangkat. Gak bakal panas-panasan gini lagi. Sayang banget kulit putih lo itu dijemur mulu. Ntar gak ada yang naksir,"

Pelita tergelak. Kulitnya kadang memerah jika terlalu lama di bawah terik. Tapi akan kembali ke warna normalnya dalam beberapa hari. Ia tidak terlalu mempermasalahkan itu.

"Kalopun ada yang naksir aku, dia harus tahan aku gebuk pake tongkat, mbak." ujar Pelita lalu tertawa.

Aya sendiri selalu kagum pada Pelita. Cewek itu terlihat sangat tangguh dan ceria meski kedua kakinya tidak berfungsi. "Sini, gue bantu."

Pelita menjauhkan selebaran. "Lah, nanti yang masak di dapur siapa? Masa Pak Beni. Mbak kalo becanda gak kira-kira,"

"Biar itu cepet abis jadi lo bisa makan siang,"

"Iya-iya udah bentar lagi aku istirahat," Pelita setengah mendorong Aya kembali masuk. Wanita itu hanya menghela napas dan menghilang di balik pintu. Ia sudah akan kembali bekerja ketika pintu restoran terbuka lagi.

"Buat lo," Aya menyodorkan gelas plastik berlogo restoran. "Buat minum makan siang,"

Pelita merasa terharu. "Embaakkk, minta peluk ya? Sini-sinii," Ia sudah ingin maju memeluk wanita itu namun telunjuk Aya terangkat. Mengingatkan jika ia harus segera menyelesaikan pekerjaan. Wanita itu memang selalu baik dan perhatian padanya.

Pelita melanjutkan pekerjaannya. Meski beberapa orang mengabaikan ajakannya, bahkan terang-terangan menolak dengan memandangi risih pada kakinya, tapi Pelita tetap tersenyum ceria.

Baginya, bisa diijinkan bekerja dan mendapatkan uang disini sudah sangat disyukurinya. Oleh karena itu, ia tidak mau malas-malasan atau dianggap merepotkan. Pelita mampu melakukan semuanya sendiri, dengan segala keterbatasannya.

Setelah selebaran habis, Pelita mengambil tempat di kursi beratap payung besar di luar restoran. Angin yang berhembus menggulirkan butir keringatnya saat ingatannya tiba-tiba terlempar.

"Gue punya ingatan fotografis."

Pelita tentu saja tidak mengira jika akan bertemu seseorang dengan kemampuan selangka itu. Dewa benar-benar membuatnya terpana hari itu. Bagaimana ia bisa mengingat seluk beluk sebuah toko dalam sekali lihat.

Ia sudah bersiap memakan bekalnya ketika ponselnya bergetar. Sebuah nomor tanpa nama memanggil disana.

"Halo,"

"Dimana?"

Dari suara ketus tanpa keramahan ini, ia sudah tau siapa orang yang menelpon. Senyumnya berkembang.

"Ini siapa?" Sejenak hening tidak ada jawaban. Sebelum sebuah deheman terdengar.

"Dewa."

"Dewa siapa ya?" Pelita mengambil suapan di tengah cengirannya.

"Emangnya berapa Dewa yang lo kenal?"

"Ada banyak. Dewa19, Dewa Shiwa, Dewa Zeus, Dewa Poseidon, Dewa Bujana,-" Terdengar umpatan dari seberang dan Pelita tertawa. Ia bahkan harus menjauhkan ponsel sesaat.

"Cuma bencanda doang, ih."

"Jadi anak Sule sono!"

"Enggak dong. Aku anak Ayah," Pelita terkekeh. "Ada apa nelpon?"

"Dateng ke tempat yang gue suruh. Alamatnya ntar gue sms."

"Tempat apa? Ngapain?"

"Jangan banyak tanya!"

Pelita mengosongkan mulutnya dengan minuman. "Gak mau kalo gak jelas dulu ngapain,"

"Lo pembimbing gue, dateng aja ribet banget, sih!"

"Aku pembimbing bukan pesuruh kamu."

Sekali lagi, Dewa mengumpat. Anehnya, Pelita justru tersenyum mendengar kemarahan cowok itu.

"Lo masih utang 4 permintaan yang harus dikabulin, apa perlu gue sebutin utang lo yang kemaren? jangan ngelawan!"

"Ih Dewa, gak boleh inget-inget utang," Pelita terkekeh. "Padahal lebih gampang kalo kamu ngomongnya gak pake urat terus kasih tau mau ngapain. Beres,"

"Lebih gampang lagi kalo lo gak cerewet. Tinggal dateng aja. Gue tunggu. Awas kalo sampe enggak!"

Belum sempat Pelita membalas, sambungan sudah terputus. Ia memandangi layar yang berubah hitam itu manyun.

"Dasar, dewa Maksa!"

***

Y

asshhh!!! *benerin kerah baju*

Oke. Baiklah. Ini sebuah pengakuan. Atau kejujuran. Alasan kenapa cerita ini sempat mandet lamaaaa sekali.

Aku udah nyoba nulis. Setiap hari aku pasti nulis meskipun beberapa paragraf atau kalimat. Tapi dari semua tuliaan itu gak asa yang ngefeel. Aku berasa jelek. Gak masuk sama apa yang aku pengenin.

Aku udh cerita ke temen-temen penulis lain, dan ternyata masalahku cuna satu.

Belum move on dari cerita sebelumnya!

Simple, tapi itu merusak keseluruhan kemampuanku menciptakan dunia lain.

Pelan-pelan aku mulai nulis. Jauhin segala cerita sebelumnya dan mencoba jadi bagian dicerita ini lagi. Bangun tengah malah cuma buat nulis, atau gak ngedit.

Dan, inilah yang bisa aku beri sekarang.

Semoga masih banyak yang nunggu Mas Dewa dan Mbak Pelita nongol di notif kalian yah.

Yang bikin aku pengen banget nyelesain ini karena semua coment pembaca yang benar-benar menyentuh aku. Bikin aku gak mau ngecewain kalian semua.

Setelah ini, aku akan selalu usahain untuk apdet cepet. Walaupun gak bisa tiap hari hehe 😆😆

Bilang hai sama Dewa dan Pelita, sini-sinii (gaya Pelita)


Faradita
Penulis amatir yang pengen ngempesin pipi. Tapi gorengan disana menggiurkan saoloh! 😬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top