Invalidite | 4

I'm not living. I'm just surviving.

-Dewa Pradipta-

Sudah berapa lama Dewa tidak menginjakkan kaki di rumah ini?

Ia tidak bisa memastikan karena sepertinya sudah lama sekali. Terbukti dari beberapa ornamen yang berubah letaknya, cat dinding yang berbeda, lalu hiasan dindingnya, lampu gantung yang semakin besar,  juga wajah-wajah familiar namun asing, termasuk---

"Mau apa lo disini?"

--- orang ini.

Dewa mendengus. Tidak menyangka jika kedatangannya justru disambut oleh sorot tidak suka itu.

"Ini rumah keluarga Pradipta," ujar Dewa. "Lo tau nama belakang gue apa?"

"Gue kira udah lupa jalan pulang."

"Gue kesini bukan mau pulang." Dewa tidak datang untuk berbasa-basi, ia mencoba melewati orang itu namun jalannya di halangi. Ia kembali mundur dan membalas tatapan itu sama tajam.

"Gue tau apa yang lo lakuin tadi siang."

Dewa mengernyit. "So?"

"Gue tau apa penyebabnya. Kali ini, gue setuju sama keputusan lo."

Dewa menarik kepala ke belakang, seolah ia benar-benar terkejut. Terlebih lagi merasa tertarik. "Jadi, seorang Gilvy Langgawan sekarang mendukung gue? Wah... Jangan-jangan tadi pagi lo nginjek tai kuda?"

Gilvy menatapnya serius. "Gue gak ngerti apa yang diharapkan Kakek dari seorang perusak kayak lo. Nyatanya, lo sama sekali gak berminat sama masa depan."

Dewa mengangkat bahunya. "Apa sekarang lo mulai mencontoh sikap bokap lo? Menjilat semua orang? Buat apa? supaya di mata dunia, Dewa tetaplah jadi perusak dan Gilvy yang akan selalu menjadi anak idaman? Cih, jadi taman aja lo sekalian."

"Gue gak peduli akan berakhir seperti apa hidup lo, Wa." Gilvy maju selangkah. "Ini semua karena Pelita,"

Layaknya serigala, telinga Dewa mengacung naik mendengarkan.

"Lo bisa dengan mudah membakar kantor Pak Brata. Dan disini lo berdiri tanpa penyesalan sedikit pun. Gue gak akan biarin Pelita harus berurusan sama orang rusak kaya lo."

"Jadi karena cewek cacat itu-"

Gilvy meraih baju Dewa dan mencengkaramnya kuat. "Jaga mulut lo!"

"Emang dia cacat, kan?" Dewa terkekeh. Membuang tangan Gilvy menjauh dengan mudah. "Lagian gue gak minat sama Pelita. Lo harusnya tau seperti apa tipe cewek gue. Mana bisa gue napsu sama yang jalannya aja pake tongkat."

Tangan Gilvy naik dalam bentuk kepalan. Sudah siap melayangkan pukulan. Dewa pun enggan menghindar dan justru mendongak seolah menantang.

Kepalan tangan Gilvy bergetar beberapa saat, cowok itu mengeram lalu kemudian menurunkan tangannya. Menarik napas guna menenangkan diri.

Dewa mencibir. "Apa tinggal di istana ini membuat sifat kelelakian seseorang jadi lembek? Liat lo. Mukul gue aja gak bisa."

"Gak semua hal harus diselesaikan dengan otot."

"Bagi gue, otot selalu nyelesaikan segalanya."

"Itu karena lo gak punya otak."

Kali ini Dewa yang terpancing. Ia menarik kerah baju Gilvy. "Jadi anak emas, mau bagian mana dulu yang perlu dibikin penyok?" Dewa mengepalkan tangan sejajar kepalanya, hampir memeta lebam di sisi wajah Gilvy jika bukan panggilan Santoso menghentikannya.

Lihat, Gilvy harus berterima kasih pada sekretaris Kakeknya itu, atas keberuntungannya lolos dari pukulan Dewa.

Dewa yang memang datang bukan untuk meladeni Gilvy melengos pergi mengikuti Santoso. Meninggalkan Gilvy yang masih memberinya tatapan sama tajam.

Saat tiba di ruang kerja Kakeknya,  ia langsung mengambil duduk dengan salah satu kaki naik ke kursi. Tidak mempermasalahkan sorot intimidasi dari sosok di seberang meja.

Santoso, membungkuk lalu meninggalkan ruangan. Memberi sunyi semakin pekat, sampai suara berdehem berat terdengar.

"Beruntung, kebakaran di ruang Brata tidak menjalar ke ruang lain karena penanganan yang cepat. Tidak bisa Kakek bayangkan jika kampus kebanggaan keluarga harus lenyap jadi abu oleh tangan keturunannya sendiri."

Yap. Tanpa basa-basi. Langsung hajar ke inti. Jangan tanya kalau begitu dari mana sifat Dewa yang satu itu berasal. Dewa mengangguk-anggukkan kepala. Ia tidak mendengarkan, kepalanya sedang menggumamkan sebuah lagu sekarang.

"Kakek sudah meminta maaf pada Brata. Dan kamu juga akan melakukan hal yang sama,"

Tidak ada tanggapan dari Dewa selain mata anak itu yang meneliti setiap sudut ruangan. Ini adalah tindakan bar-bar kesekian dari Dewa, yang mengharuskan David menurunkan wajah menghadap lantai.

Dan anak itu bahkan tidak merasa bersalah.

Merasa jika perkataannya hanya dianggap angin lalu, laki-laki tua itu menghela napas lelah. "Apa yang kamu inginkan sebenarnya?"

"Siapa?" Dewa menoleh, memasang tampang bingung. "Kakek lagi nanya siapa?"

"Dewa," tegur David. Rambut yang memutih tidak melunturkan ketegasan dalam suaranya.

"Bisa kita lakuin introgasi ini lebih cepat?"

"Kakek yang meminta Brata untuk mengatur pendidikanmu. Sudah saatnya kamu serius tentang hal itu. Jadi, kalo kamu keberatan, sampaikan sekarang di hadapan Kakek. Jangan bertindak tidak masuk akal dengan menyerang orang lain."

Rupanya ia dipersilakan memberontak. "Dewa gak menyerang siapa-siapa. Cuma meja. Lagipula, siapa yang butuh belajar, Kek."

"Lalu kapan kamu membutuhkannya? Mau menunggu sampai Kakek mati dulu?"

Dewa melarikan matanya ke arah meja. Alasan lain kenapa Dewa pergi dari rumah ini adalah, bahwa seorang David Juardi Pradipta terlalu sulit ia lawan dari berbagai sisi. Bisa jadi, di muka bumi ini, hanya David yang mampu mencekiknya dengan perkataan.

"Untuk apa melakukan hal percuma kalau masa depan memang sudah dipastikan. Buang-buang waktu aja,"

David bersandar di kursinya sambil mengusap wajah. "Apa kamu gak pernah berpikir kalau bisa saja orangtuamu di atas sana kecewa melihat tingkahmu seperti ini?"

Dewa menatap lurus ke arah David. Kakeknya sudah melemparkan topik paling sensitif baginya.

"Kamu cucuku satu-satunya, Dewa. Aku berharap banyak padamu. Tapi jangan jadikan itu sebagai alasan kamu bersenang-senang dan meninggalkan tanggung jawab untuk belajar. Bagaimana Kakek bisa percaya, kalau kamu saja tidak pernah duduk di dalam kelas. Setiap hari hanya ada laporan atas semua pelanggaran dan keributan yang kamu lakukan. Itukah yang kamu janjikan untuk Kakek?"

Dewa masih diam. Berharap Kakeknya lelah bicara dan dia bisa segera pergi.

"Kenapa kamu tidak bisa mencontoh sepupumu?"

Yang benar saja...

"Kenapa kamu tidak bisa seperti Gilvy? Dia tidak pernah mengecewakan. Tidak pernah terlibat masalah. Tanpa diminta pun, dia sudah menjadi yang terbaik."

Bicara soal jarum kesabaran milik Dewa, sepertinya sudah meleset jauh melewati angka sepuluh. Bahkan berputar semakin cepat hingga ia perlu mengepalkan tangan kuat.

"Kalau kamu tetap bersikap tidak peduli seperti ini, jangan salahkan Kakek kalo ternyata ada yang lebih baik menjadi penerus Pradipta, meski itu bukan keturunanku sekalipun."

***

Baru saja Dewa keluar dari mobilnya, seseorang sudah berdiri menghadang langkah malasnya memasuki gedung.

"Pagi!" sapa Pelita ceria. Dengan rambut panjang terkepang dua dan kacamata hitam, Dewa seperti sedang berhadapan dengan wanita zaman penjajahan.

Dewa berbelok dari langkahnya dan melewati cewek itu begitu saja, sambil menyalakan rokok untuk ia hisap.

"Kamu hari ini ada kelas Penganggaran I, kan?" Tanya Pelita, masih berusaha mengimbangi langkah Dewa. "Masih keburu kok ini jamnya. Ruangannya ada di gedung C lantai dua. Kalo kamu pergi sekarang gak bakal telat."

Tepat diundakan tangga, Dewa menahan langkahnya. Menatap ke sisi. "Lo ngapain?"

"Aku lagi ngingetin kalo kamu hari ini ada kelas penganggaran I di gedung C lantai dua. Kalo kamu pergi sekarang, kamu gak bakal telat." Pelita menurunkan kertasnya. "Masa gak ngerti sih omonganku?"

"Ngapain lo ngurusin kelas gue?"

"Aku pembimbing kamu sekarang. Selain ngasih latihan tambahan, aku juga harus mastiin kamu masuk kelas tiap harinya." Pelita Tersenyum, lalu merogoh kertas yang sudah ia siapkan sebelumnya di dalam tas. "Ini nomor hapeku, nanti kalo kamu udah dapet tempat belajarnya hubungi aku disini."

Dewa memperhatikan sodoran kertas itu beberapa saat. Lalu beralih pada sosok cewek yang masih saja menyunggingkan senyum, seolah wajah datar Dewa tidak cukup jelas menampilkan jika ia terganggu.

Dewa menghembuskan asap rokok lalu mengambil kertas itu. Membuat Pelita semakin lebar tersenyum.

"Oke, kalo gitu aku juga mau masuk kelas. Inget ya. Gedung C lantai dua." Kemudian cewek itu melambaikan tangan di depan wajah Dewa. "Dadaahh..."

Sejenak Dewa memperhatikan deret nomor di kertas itu, kemudian menyulutnya dengan rokok lalu membiarkannya terbakar jatuh di depan kakinya.

Dewa mengangkat tatapan, ke arah punggung kecil Pelita yang sedang berebut jalan di lorong sesak menuju kelas.

Jika Pelita itulah yang coba dilindungi Gilvy, sepupu sempurna yang selalu mendapat perhatian, bukankah seharusnya Dewa bisa sedikit bersenang-senang dengan cewek itu?

***


S

etelah kelas architecture berakhir, Pelita bergegas keluar kelas sebelum ia harus menunggu antrian di pintu.

Ia menuju gedung C dan menaiki lantai dua dengan perlahan. Ruang kelas yang berangsur sepi membuatnya melongokan kepala mencari seseorang.

"Permisi Pak," sapa Pelita pada dosen yang baru saja keluar melewati pintu. "Saya mau nanya sebentar boleh,"

"Boleh, ada apa?"

"Apa tadi di kelas bapak ada mahasiswa yang bernama Dewa Pradipta?"

Pak Handoko, mengerutkan kening beberapa saat. Ia lalu membuka jurnalnya yang Pelita perkirakan adalah absen manual.

"Ya, Dewa Pradipta ada di list absen kelas,"

Tidak bisa ditahan, senyuman mengembang di wajahnya.

"Tapi absennya selalu kosong."

Seketika saja senyumnya luruh. "Hari ini dia juga gak masuk, Pak?"

Pak Handoko bergeleng lalu beranjak pergi dengan Pelita yang meremas tongkatnya gelisah.

Ia lalu turun ke lantai satu. Bermaksud mencari Dewa. Di pertengahan tangga, ia bertemu Gilvy yang langsung membantunya turun. Seperti yang biasa dilakukan cowok itu.

"Udah selesai kelas?" Tanya Gilvy.

Pelita mengangguk. "Emm, kayaknya nyari patung pengganti nanti aja deh ya."

Gilvy mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Aku mau cari Dewa. Dia gak masuk kelas hari ini. Padahal udah dikasih tau tadi pagi,"

Seketika saja, Gilvy mengepalkan tangannya. "Kamu masih nerima permintaan buat ngajarin dia?"

"Gil, ini bukan cuma sekedar permintaan. Ini bisa jadi nilai tambah aku buat bisa mempertahankan beasiswa di kampus ini."

"Tapi Dewa bukan orang sembarangan, Ta."

"Justru itu," Pelita melemparkan pandangannya ke sekitar. "Aku harus bisa melakukan tugas yang dipercayakan Pak Brata. Anggap aja sebagai tantangan,"

Jelas, pandangan Gilvy dan Pelita tentang Dewa sangatlah berbeda. Cewek itu belum tau sampai serusak apa Dewa ini.

Di tengah taman kampus, Pelita menangkap sosok Dewa sedang duduk di kursi bersama teman-temannya. Hal itu juga menyeret Gilvy memandang ke arah yang sama.

"Sudah dulu ya, nanti aku hubungi kapan kita cari patungnya."

Belum sempat Gilvy menahan, Pelita sudah terlanjur beranjak menyusuri lahan berumput di area pusat gedung kampus itu.

Dua orang teman Dewa langsung menatapnya. Yang satu mengerutkan dahi dengan memandangnya dari atas sampai bawah, yang satunya tersenyum simpul seraya menoyor kepala Dewa. Membuat mata Dewa terbuka dan langsung menatap Pelita.

"Kamu kenapa gak masuk kelas tadi?"

Pertanyaan Pelita itu memancing deru dari dua orang teman Dewa.

"Wohoooo... " Seru Gerka antusias.

"Gue ketinggalan apa, Ka?" Tanya Rendi kebingungan.

"Udah diem. Liatin aja ini drama." Ujar Gerka sembari mencuri lirik ke arah Dewa.

"Kan udah dikasih tau kelasnya, Wa." Lanjut Pelita.

"Kapan gue bilang iya?"

Pelita cemberut. Lalu mengangkat satu tongkatnya dan memukul sisi kaki Dewa. Tidak sakit untuk Dewa  namun kedua temannya tertawa sangat keras.

"Nakal banget sih kamu. Di luar sana ada banyak orang yang gak bisa kuliah. Tapi disini, kamu justru nyia-nyiain kelas. Coba dong otaknya dipake, Wa."

Gerka dan Rendi tidak sungkan tergelak. Mereka bahkan menepuk meja batu di sana seolah mengumpat saja tidak cukup.

Dewa berang. Ia menurunkan kakinya yang tadi bertumpu di batu lalu menunduk, menatap Pelita. "Jadi selain dapet tugas ngasih bimbingan, lo juga ngurusin kelas gue?"

Pelita mengangguk. Tanpa sadar cemberutnya berganti senyuman. "Jadi jangan bolos lagi, ya."

Dewa perlu menggeplak kedua temannya yang tidak biss berhenti tertawa melihat kepolosan Pelita.

"Jadi kamu udah dapet tempat buat belajar?" Cewek itu tampak bersemangat.

Dewa mengangguk. "Gedung seni."

"Wah... Aku sering kesana," Pelita sumringah. "Mau mulai kapan?"

Dewa tidak bisa menahan matanya yang menatap turun ke arah kaki cewek itu.

Ia lalu mengangkat matanya. Menembus kacamata yang membingkai wajah mungil Pelita.

"Jam sepuluh, malam ini."

***
TBC

Holaaaa

Duh kelamaan ya.

Wajar lah, kan ngurusin yang atunya dulu. Biar cakep Hehehe

Sejauh ini, Invalidite cukup menarikkah??

Faradita
Penulis Amatir yang gengsi bilang sayang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top