Invalidite | 15

Bahwa kuat bukan hanya soal berdiri tegak melawan angin, tapi juga tentang menunduk demi mengulurkan tangan.

-Pelita Senja-

Setengah dari kanvas berukuran sedang di hadapannya sudah terisi warna jingga dan merah yang berpadu. Sebuah foto sunset digunakan sebagai acuan terjepit di tepinya dan menjadi pusat perhatian Pelita setengah jam terakhir.

"Bagus banget, Ta." Puji dari seseorang di sampingnya.

Pelita menyunggingkan senyum seraya menggosok bagian bawah hidungnya dengan jari. "Iya dong."

Bobby yang berdiri di sisi kanannya mendorong kacamatanya naik. "Kamu bener-bener bisa jadi pelukis hebat nantinya. Percaya deh. Sama seperti dugaan Bu Yeni."

"Dibanding aku, kamu yang lebih berpotensi. Mana lukisan peternakan kamu kemarin lusa, yang udah bikin bu Yeni ngasih formulir beasiswa ke Paris itu."

Mendengar itu membuat Bobby tersipu. Ia menggaruk belakang kepala canggung. Mereka kembali tampak sibuk membahas pencampuran warna cat sampai suara derit kursi terdengar cukup nyaring. Menarik perhatian keduanya menoleh ke arah pintu masuk.

Wajah Bobby berubah pias, sedangkan Pelita tersenyum lebar.

"Halo, Dewa..." sapa Pelita melambaikan tangan dengan kuas cat di sela jari. Bobby segera beringsut ke sisi kiri Pelita sambil menunduk memilin jari. Dewa berjalan mendekat dengan menenteng ransel, malas.

"Ta," panggil Bobby gemetar. "Aku pergi duluan ya."

"Eh, mau kemana?"

Bobby lagi-lagi menunduk, karena tengah mendapat kilatan tajam dari Dewa yang sudah duduk di atas meja bak seorang dewa.

Bobby tergagap mencari alasan, memilih menjawab jika ia sedang buru-buru karena ada kelas lain. Cowok itu mengambil ranselnya tanpa berani mengangkat wajah dan berlalu sambil memeluk ransel keluar.

"Tadi masuk kelas, kan?" Tanya Pelita. Dewa membuka jaket denimnya dan meletakkannya sembarang di atas meja. Pelita sendiri sudah membalikkan tubuhnya ke arah Dewa. "Gimana tadi kelasnya?"

"Sama kayak lo," tunjuk Dewa dengan dagu. "Bosenin parah. Ga denger gue itu dosen ngomong apaan. Jadi gue tinggal tidur."

Pelita mengernyit. "Kelas itu bukan dipake buat tidur, Dewa. Tapi belajar."

Dewa turun dari meja, menarik kursi dan beralih duduk di depan Pelita dengan kaki bertumpu pada meja cat di samping kanvas. Mengambil sebuah pahatan kayu dan memainkannya di antara jari.

"Setelah gue pikir-pikir, gue gak mau masuk kelas lagi."

"Heh??" Pelita membelalak.

"Gue kan punya pembimbing," Dewa menunjuk Pelita. "Seharusnya itu udah lebih dari cukup."

Pelita cemberut. "Ini akibatnya kalo ke kampus cuma buat bikin sempit parkiran doang. Aku udah pernah bilang kan kita itu ada nilai absen. Sepintar apapun kamu, gabisa lulus kalo absennya kosong."

"Makanya gue bilang samain kelas kita."

"Emang kamu pikir ini kampus punya kakek kamu seenaknya main ganti jadwal di tengah semester." Pelita membereskan cat yang berserakan di sisi meja dan mengumpulkannya jadi satu dalam kotak.

"Lo tau gak sih alasan Pak Brata nyuruh ngajarin gue?" Tanya Dewa gemas.

"Karena kamu malas masuk kelas dan gak mau belajar?"

"Kenapa dia peduli sama satu mahasiswa? Padahal gue bisa aja di DO langsung? Tau sendiri gimana ketatnya penilaian disini,"

Pelita sejenak berpikir, kemudian membulatkan matanya. Dewa yang melihat itu tampak puas dan bersandar di kursi dengan tangan terlipat.

"Aku gak nyangka," Pelita menangkup tangan di depan dada. "Selama ini aku udah ngira kalo Pak Brata itu sosok yang dingin dan kaku."

Dewa mengernyit. "Apa? Lo ngomong apa?"

"Ternyata dia peduli sama semua mahasiswanya. Gak mandang siapa aja. Pak Brata gak lepas tanggung jawab sama mahasiswanya. Buktinya dia berjuang nolong kamu, Wa. Padahal kamu bandel, terus -"

"Ta,"

"Ya?"

Dewa menghela napas. Tanpa menjawab, Dewa menarik kepang Pelita, membuat cewek itu mengaduh.

"Lo kenapa ngeselin sih?"

"Kamu yang ngeselin. Tarik-tarik rambut aku terus," Pelita mengusap kepala dan beralih tersenyum geli. "Udah bisa galak lagi. Udah sembuh?" tanya Pelita. Ia menjulurkan tangan ke arah kening Dewa, hendak memeriksa suhu tubuh. Cowok itu dengan cepat menangkap pergelangan tangan Pelita.

"Liat gak tangan lo kotor?"

Tangannya masih dalam cengkraman Dewa, ia merenggangkan jarinya terbuka, menampilkan telapak tangan Pelita yang penuh cat. Cewek itu lalu terkekeh. "Hehe... lupa,"

Dengan tangan lain, Dewa mengusap bawah hidung Pelita yang terkena cat disana. "Lo cewek paling berantakan yang gue tau."

"Kan tadi abis ngelukis," Pelita melepaskan tangannya dari Dewa. "Yaudah tunggu aku siap-siap dulu, abis itu kita ke studio."

Siap-siap yang dimaksud Pelita adalah membereskan peralatan melukisnya ke dalam lemari sekaligus meja panjang di tengah ruang. Dewa sudah mengeluh puluhan kali namun Pelita tetap membersihkan kelas tersebut, dan memaksanya untuk ikut membereskan.

"Tunggu disini," ucap Dewa ketika mereka sudah sampai di depan gedung. "Gue ambil mobil dulu."

Sepeninggal Dewa, Pelita memperhatikan ke sekeliling. Suasana sepi tanpa terlihat ada mahasiswa disana karena hari yang sudah menjelang sore. Pelita menyelipkan rambutnya ke belakang telinga ketika dari arah gedung ia melihat Sandra berjalan dengan terburu.

Tangan Pelita sudah melambai untuk menyapa namun cewek itu berlalu tanpa menoleh. Dengan ponsel yang terjepit di antara bahunya, ia juga terus memperhatikan jam.

Pelita menurunkan tangannya dengan tersenyum maklum, lalu seketika hilang karena sebuah motor melaju, tepat di depan jalan yang Sandra ambil.

Refleksnya bekerja lebih besar dari kemampuan Pelita. Yang ia tau adalah ia harus mengangkat tongkatnya secepat mungkin menuju Sandra karena teriakan Pelita tak digubris cewek itu.

Pelita menjatuhkan tasnya. Mengabaikan lengannya yang sakit karena terantuk tongkatnya sendiri. Semuanya terjadi begitu cepat. Entah bagaimana caranya, dalam jarak yang sudah dikira cukup dekat Pelita melemparkan salah satu tongkatnya ke arah ban motor, sekaligus menarik bahu Sandra. Membuat mereka berakhir terjatuh di aspal.

Motor yang tadi melaju pun berhenti dengan berbelok tajam karena tongkat Pelita yang menghantam ban, hingga pengendara berguling.

Sandra yang terkejut lalu terpekik memperhatikan tubuhnya. Sikunya berdarah dan ia melotot ke arah Pelita.

"Lo gila? Liat tangan gue berdarah, bego!"

"Kamu gak pake kacamata lagi?" Tanya Pelita. Kedua telapak tangannya yang lecet menopang tubuhnya di aspal. "Kamu hampir aja ketabrak, San."

Pengendara motor tadi yang juga mahasiswa di kampus itu lekas bangkit. Tidak menunggu lama, langsung mendirikan kembali motornya dan pergi melarikan diri dengan tergesa.

Begitu pula dengan Sandra. Cewek itu berdiri seraya mengibaskan celananya yang kotor. "Aduhh, sial banget sih gue." Ia meringis sambil mengipasi lengannya yang berdarah.

"Sebentar, San. Aku punya plester luka." Pelita menatap tasnya yang berada cukup jauh. "Boleh minta tolong ambilin tas aku dulu gak?"

"Eh, cacat. Lo gausah lagi ya deket-deket gue mulai sekarang. Lo pembawa sial tau!"

Sandra berlalu dengan menghentakkan kakinya. Pelita termangu beberapa saat. Ia mengangkat telapak tangannya. Ada beberapa goresan berwarna merah disana. Ia kemudian mengusapkan telapak tangannya ke rok yang ia kenakan. Berusaha menghapus luka.

"Ta?" Dewa datang dengan langkah cepat. Cowok itu berjongkok, berupaya mencari mata Pelita.

Sesaat, Dewa tidak menemukan binar terang yang selalu ada di mata Pelita. Cewek itu menatapnya diam.

"Mana tongkat yang satunya?" Dewa memperhatikan sekitar. Menemukan tongkat Pelita yang patah dan tergeletak cukup jauh.

Seperti sebuah kertas yang disulut api, kemarahan Dewa berkobar. Dan seperti Tuhan mengetahui, rintik hujan mulai menyentuhi bumi.

Dewa meraih bahu Pelita, dan menyelipkan tangannya di bawah lutut cewek itu. Menggendongnya ke mobil. Lalu kembali mengambil tas dan juga tongkat Pelita.

Sepanjang perjalanan menuju studio, hanya ada diam diantara keduanya. Pelita masih sibuk dengan pikirannya, sedang Dewa tertegun dengan rasa tidak terima di dalam dirinya.

***
TBC

Selamat pagi minggu 😆

Yang kangen sama pasangan ini tunjukin votenya dongss 😏

Faradita
Penulis amatir belum mandi tapi udah update. Slay. 💪😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top