#8 Diskusi pinggir ranu
CUACA sepanjang perjalanan menuju Semeru, tempat Edgar mengajak Tessa hiking, sedang cerah. Padahal kata supir jeep yang membawa rombongan mereka, hujan masih sering turun. Karenanya dia mewanti-wanti mereka untuk hati-hati, kalau-kalau nanti selama pendakian tiba-tiba badai datang.
Tessa menaikkan resleting jaketnya karena suhu dingin gunung mulai terasa menusuk tulang. Padahal sekarang sudah jam tujuh pagi dan matahari mulai naik.
Edgar yang berdiri di sampingnya merangkul bahunya agar tidak jatuh saat jeep mereka berguncang melewati aspal yang tidak rata.
Gadis itu lalu memasukkan rambutnya yang berkibar dihembus angin ke dalam jaket dan menarik tali tudungnya, kemudian kembali fokus menatap pemandangan di kanan kiri. Sedari tadi dia memang lebih banyak diam, bergantian dengan Aurel dan Kak Ria Ricis saling memotret menggunakan mirrorless yang mereka bawa.
"Masih jauh nggak, sih?" Ricis yang bertanya.
"Bentar lagi masuk desa." Tessa menyahut, mengabaikan Edgar dan yang lainnya ketika mereka memandangnya heran. Dia memang tidak bilang kalau sudah beberapa kali mendaki ke sini.
Dan benar, tidak sampai lima menit kemudian, mereka sampai di desa terakhir dan jeep mereka berhenti tepat di depan kantor TNBTS.
Edgar yang turun lebih dulu mengulurkan tangan untuk membantu Tessa.
Tessa menggeleng, pilih melompat sendiri. Bahkan dia juga menurunkan carriernya---yang memang tidak seberapa besar---sendiri.
"Tessa nggak mau dimodusin. Kalau Tessa nggak minta tolong, jangan sok-sokan mau bawain tas apalagi gandeng tangan Tessa kalau nanti nemu tanjakan. Oke?"
"Ashiaaap."
Edgar mengiyakan saja daripada ribut. Nggak heran ada cewek model begitu meski sebagian besar temannya justru senang dimanja-manja.
Mereka lalu masuk ke dalam salah satu warung makan sambil menunggu jeep satunya lagi yang membawa guide mereka tiba. Rex dan Troy juga ada di jeep itu.
Setelahnya mereka masih harus melakukan briefing dan pengecekan barang.
¤ ¤ ¤
"Lo kok nggak bilang udah pernah ke sini?" tanya Edgar saat dia dan Tessa akhirnya bisa berjalan beriringan, setelah sejak tadi mereka dipisahkan oleh jalan setapak yang terlampau sempit.
Tessa meringis. "Kan Kakak nggak nanya."
"Sampe puncak?"
"Iya."
"Kapan?"
"Terakhir tahun lalu."
"Sama?"
"Keluarga. Kebetulan emang keluarga Tessa suka piknik, sih. Ke pantai, ke gunung. Udah biasa dari kecil. Kata Ayah biar nggak main gadget mulu di rumah, atau ke mall doang, yang cuma bikin gaya hidup makin hedon."
"Pantes gampang banget diizinin."
"Diizinin karena rame-rame dan ada penanggung jawabnya."
"Keluarga lo asyik, ya?"
"Emang." Tessa mesem. Dan kemudian dia harus berjalan mendahului karena jalan setapaknya mulai menyempit lagi.
Di depan Tessa, Aurel mulai berkeringat.
"Kita kapan istirahat, nih?" tanya cewek itu, menoleh ke belakang.
"Bentar lagi sampe di pos satu. Ada yang jual semangka sama gorengan biasanya." Tessa menyahut. "Tapi gorengan dingin, hehe."
"Pengen makan semangka." Aurel ngiler.
Tessa menepuk daypack enteng temannya yang hanya berisi sleeping bag, baju ganti, raincoat, beberapa pack permen dan survival kit itu. "Sabar ya, anak maniiis ... "
¤ ¤ ¤
Rombongan mereka istirahat makan siang di Ranu Kumbolo. Meski rencananya malam kedua mereka akan camping di sini, yang artinya masih ada kesempatan mengambil foto sepuasnya, semuanya kompak pilih berfoto-foto sekarang saja, mumpung muka belum gosong dan baju belum kusut kayak anak ilang.
"Mau gue fotoin, Tes?"
Rex menghampiri Tessa yang asyik selfie di atas sebatang pohon tumbang yang ujungnya tenggelam di air danau.
"Eh, boleh. Gantian kalau mau, Pak Waketos yang terhormat."
Tessa menyerahkan HPnya dan mulai memberi instruksi, ingin difoto seperti apa.
"Masih suka basket, Tes?" tanya Rex sambil memotret.
Tessa menggeleng. "Elo masih?"
"Udah enggak juga. Nggak sempet. Mau fokus renang aja sekarang."
"Eh iya, kata Kak Asti, lo abis ikut lomba di Jakarta?"
"Iya. Masih rookie banget, tapi."
"Ah, udah lolos tingkat nasional mah, bagus banget, kali."
"Belum bagus kalau belum menang."
"Yang penting prosesnya."
"Sayangnya nggak semua orang mandang proses, Tes."
Tessa melangkah pelan di atas batang pohon menuju tepi danau, berusaha menyeimbangkan diri agar tidak terpeleset.
"Mau gantian?" tanyanya.
"Enggak." Rex mengangsurkan HP Tessa kembali ke pemiliknya.
Kemudian keduanya duduk-duduk di tempat yang berumput.
"Yang penting elo seneng." Tessa mengawali, membuat Rex menoleh padanya. "Kalau kebetulan target lo sama dengan harapan orang-orang yang lo sebut tadi, kenapa enggak? Malah enak kali, ada yang rajin ngingetin betapa loser-nya kita, betapa kita masih harus berjuang, meski kadang dengan cara yang super duper ngeselin dan bikin pengen nabokin mulutnya."
"Ini lo lagi curhat apa gimana?" Rex ngakak. "Tapi emang iya, sih. Di satu sisi, gue seneng ada orang-orang yang pengen lihat gue di puncak. Di sisi lain, hell ... bisa nggak sih gue sedikit nyantai, kerjaannya cuma sekolah dan rebahan kayak yang lain? Tapi gue terlalu cemen, sih. Nggak berani ngambil resiko."
"Hmm?"
"Gue takut nyesel di belakang kalau males-malesan sekarang. Jadi biarlah gue nyantai-nya nanti aja pas tua."
Tessa kontan melotot. "Itu cemen yang baik, Bosku!"
Rex cuma ketawa-ketiwi, kemudian mengeluarkan HP untuk mengambil foto bersama.
"Tapi gue tim yang nggak berorientasi pada hasil, sih." Tessa mulai lagi setelah mereka mendapatkan beberapa angle yang bagus. "Karena meski gagal, gue yakin ada progress yang didapat melalui proses. Pasti ada self improvement di situ."
"Lo sekarang sok bijak, ya?" Rex tersenyum geli.
Tessa menautkan alis.
"Perasaan baru kemarin lo ngompol di teras depan kelas sambil nangis karena nggak bisa buka sabuk. Itu kelas berapa, ya?"
Tessa mencubit lengannya keras-keras. "Ya Tuhan, please, itu aib gue tolong disimpan rapat-rapat!"
Rex masih saja ngakak. "Gue inget banget muka lo waktu itu kayak gimana."
"Please, Rex!" Tessa manyun.
"Oke, oke." Rex berusaha berhenti tertawa. "Tapi serius, balik ke ceramah lo tadi. Kalau menurut gue, kata-kata itu cuma jadi pembelaannya orang-orang yang udah malas berjuang, Tes."
Alis Tessa makin terangkat tinggi, rada tersinggung. "Kok?"
"Karena kalau plan A gue gagal, gue bakal bikin plan B, plan C dan seterusnya sampai berhasil. Sampai mati."
"Ya kalau itu siapa yang nggak setuju, sih? Ih, kesel, deh! Kita tuh bukan beda pandangan, tapi malah udah beda yang diomongin! Maksud Tessa tadi kan bukan berarti selama proses yang gagal tadi nggak ada hikmahnya. Orientasi ke hasil tuh maksudnya fokus ke hasil doang, mengabaikan prosesnya. Mau pakai cara instant, yang penting tujuan tercapai, gitu lhooo."
Rex cuma ngakak melihatnya menjelaskan dengan berapi-api, dalam hati menyadari juga, tadi dia salah ngomong. "Yakin lo ini introvert?"
"Kenapa emang?" Tessa rada tersinggung lagi.
"Terlalu luwes aja."
"Oh." Tessa mengibaskan rambutnya dengan sombong, tidak sengaja melihat Edgar dikejauhan sedang berjalan ke arah mereka. "Gue ini introvert yang well developed, hahaha," bisiknya kemudian, melambaikan tangan ke Edgar.
Rex melengos. "Btw, feeling gue ada yang mau ditembak, nih."
Tessa memutar bola mata. "Jangan kenceng-kenceng ngomongnya!"
"Liat aja entar." Kemudian Rex berdiri, membersihkan pantatnya dari kotoran. "Gue ke shelter duluan. Laper."
¤ ¤ ¤
"Kalau gue nembak di sini, diterima nggak, Tes?"
Pertanyaan Edgar itu kontan membuat Tessa melongo.
Tembakan macam apa ini? batinnya, miris.
"Emang mau nembaknya kayak gimana?" tanyanya akhirnya.
"Elo sukanya gimana?"
"Lah, ditanya balik." Tessa mendengus pelan. "Tessa nggak suka ditembak. Terlalu saklek. Cuma bisa nerima atau nolak. Nggak bisa nawar."
"Ya udah, kita diskusi aja." Edgar pusing. "Gue pengen lo jadi cewek gue. Gimana ini baiknya?"
Tessa menggaruk tengkuk yang tidak gatal, nyengir.
Iya juga sih. Memang aneh. Tapi mau bagaimana lagi? Yang namanya hubungan dua orang ya harus dua arah. Nggak bisa give and take doang.
"Emang kalau Tessa jadi cewek Kakak, yang Kakak harapin apa? Apa bedanya sama sekarang?"
Alis Edgar bertaut. "Yaa ... kayak gini-gini juga, sih. Cuma biar nggak ada cowok lain yang ngedeketin elo dengan tujuan PDKT aja."
"Nggak ada juga yang ngedeketin, kok."
"Ya lo belum aja. Baru juga masuk sekolah dua minggu doang."
Tessa menghela napas. "Kakak kapan terakhir pacaran?"
"Ngaruh banget, ya?"
"Penasaran doang."
"Belum lama, sih. Kenapa? Mau ngejudge gue playboy?"
"Enggak kok. Dibilangin cuma penasaran aja."
"Ya udah, jadi gimana?"
"Lho tadi katanya nggak ada yang berubah. Tetep kayak gini."
"Lo mau?"
"Emang biar nggak ada yang ngedeketin Tessa Kakak mau apa? Berkoar-koar ke sekolah kalau Tessa pacar Kakak, gitu?"
"Ya nggak berkoar-koar juga. Tapi kalau gue yang pacaran, satu orang tau, besoknya juga satu sekolah pada tahu semua."
"Ya udah."
"Tapi elonya juga jangan mau kalau ada yang ngedeketin. Bisa kan ngebedain orang yang ngedeketin karena suka dan yang tulus cuma pengen berteman?"
"Bisa."
"Sip."
Edgar jadi senyum-senyum sendiri, membuat Tessa merinding.
"Kakak waras?"
Edgar tidak peduli dikatai. Yang penting Tessa sudah jadi pacarnya. "Boleh peluk nggak, nih? Kan udah pacaran."
Tessa kontan melotot. "Jangan harap. Nanti kalau udah ngerasain peluk, pengen ngerasain yang lain-lain. Apalagi situasi mendukung gini. Udah dingin, romantis pula."
"Iya, deh. Gue minum kopi aja biar anget."
Tessa cuma mendengus pelan.
"Nggak pa-pa, Tes. Gue suka punya cewek yang logis, mau ngapa-ngapain dipikir mateng-mateng. Nggak kebawa perasaan."
Tessa bangkit berdiri dan mengibas-kibaskan debu di pantat.
Ya kali mau baper? Kenal juga baru menghitung hari! batinnya.
"Yuk, ah, ke shelter. Tessa udah laper."
"Mau dibantuin bersihin debunya?"
"Jangan coba-coba!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top