#7 She said yes to hiking
"TEEES, Waketos udah mulai masuk sekolah! Tadi gue lihat di parkiran!"
Hari Senin pagi, Aurel berteriak-teriak heboh di dalam kelas. Tessa yang sebenarnya sudah mendengar berita tersebut lebih dulu dari Kak Asti, tetangga sebelah rumah, hanya bisa berlagak surprised, daripada membuat teman sebangkunya kecewa.
"Gilaaa, aslinya ganteng banget, jauh lebih ganteng dari foto di buletin. Mirip Jefri Nichol. Hiks." Aurel menangkupkan tangan di kedua pipi sambil merem, nampak jelas sedang membayangkan wajah sang pujaan hati.
Tessa bergidik sendiri.
Dia suka Waketos juga, tapi nggak segitunya. Dan tentu saja orang yang dimaksud beda jauh dengan seleb yang disebutkan tadi.
Jefri Nichol mah kecakepan. Jauuuh.
"Nanti pas istirahat pokoknya temenin nyari dia, ya?" Aurel memohon.
Tessa ternganga. "Mau ngapain?"
"Nggak pa-pa. Pengen lihat doang."
Tessa mendengus pelan.
Padahal tadinya dia ingin memberi tahu cewek ini bahwa dirinya dan Rex, si Waketos, sebenarnya bertetangga. Tapi melihat reaksi ekstrem barusan, otomatis Tessa membatalkannya. Biarlah Aurel tahu dengan sendirinya, asal tidak dari mulutnya. Dia ogah disalahkan seandainya terjadi sesuatu. Soalnya cewek-cewek macem gini punya potensi untuk jadi stalker.
¤ ¤ ¤
Tapi ternyata, saat jam istirahat tiba, boro-boro menguntit kakak kelas, pergi makan ke kantin saja mereka tidak sempat, karena tugas yang harus dikumpulkan saat jam pelajaran tadi belum selesai juga hingga bel berbunyi.
Bukan karena tugasnya begitu sulit. Tapi begitu banyak.
Soal-soal essay semua.
Saking banyaknya, semua mengerjakan secara berkelompok, saling contek menyontek, bagi tugas. Nggak mungkin diperiksa juga. Paling pol, tugas ini hanya diberikan biar anak sekelas tidak ada yang keliaran di luar saat jam kosong tadi.
Bisa dibayangkan riweuh-nya seperti apa. Nyaris nggak ada yang duduk di bangku masing-masing. Semua bergerombol, menggeser meja dan kursi-kursi. Belum lagi penghuni kelas minim yang membawa penghapus bolpoin, membuat suasana jadi makin nggak karuan karena saling sodok menyodok menunggu giliran meminjam. Tessa akhirnya mengalah dan berlari membelinya di koperasi sekolah.
Saat hendak kembali ke kelas, langkahnya terhenti oleh kemunculan orang yang sejak tadi pagi dibicarakan.
"Tessa?"
Cowok berbadan tinggi menjulang itu memandangnya terheran-heran.
Sang atlet renang.
Tentu saja. Siapa yang akan menyangka Tessa melanjutkan sekolah di sini?
"Hai, Rex." Tessa mesem.
Yang disenyumi kontan ternganga. "Beneran Tessa? Sekolah di sini?"
Tessa meringis, mengangguk-angguk.
Dia memang belum lama tiba di Malang, belum sempat main ke mana-mana, jadi belum banyak temannya yang mengetahui kepindahannya.
Mereka tinggal di satu kompleks yang sama, sekolah di SD yang sama. Lalu saat kelas tiga, Tessa pindah ke Bandung, dan selanjutnnya hanya sesekali bertemu saat mudik lebaran atau libur sekolah.
"Iya, balik lagi ke Malang. Rencana mau nerusin kuliah di sini juga, nggak pengen jauh-jauh." Tessa menyahut kalem.
"Kelas sepuluh berapa?"
"Sepuluh tujuh. Elo?"
Tessa sudah tahu jawabannya. Kadang dia memang suka latah saat bertanya.
"Dua belas IPA lima. Save nomor gue, Tes."
Tessa mengeluarkan HP dari saku dan menyerahkannya. Rex mengetik nomornya dengan cepat, kemudian mengembalikannya ke sang pemilik.
"Tes?"
Suara Edgar.
Tessa menoleh.
Edgar muncul dari ruang guru, menenteng laptop di satu tangan.
"Udah kenalan?" Edgar berdiri di samping Rex, merangkul bahunya dengan akrab.
"Eung?" Tessa menimbang-nimbang antara ingin menjelaskan situasinya ke Edgar atau tidak, karena sebenarnya tidak penting juga.
"Waketos. Ini hari pertama dia masuk sekolah lagi. Kemarin-kemarin lari dari tanggung jawab jadi panitia MOS. Btw rumah kalian sekompleks, lho." Edgar memperkenalkan.
"Udah kenal." Rex akhirnya menyahut.
"Iya, dulu sempet satu SD." Dan Tessa menambahkan.
Edgar manggut-manggut, kemudian menoleh sekilas ke arah kantin. "Laper nggak, Tes? Kantin, yuk."
Tessa menggeleng. "Lagi ngerjain tugas. Terus abis ini pelajarannya Pak Arif. Kan nggak ada toleransi kalau telat masuk."
Edgar terpaksa menghela napas. "Ya udah, semoga nggak ngantuk, ya. Elo kan pernah bilang musuh bebuyutan banget sama Fisika."
Tessa cuma nyengir dan segera berlalu.
"Cewek lo?" tanya Rex sepeninggal Tessa.
"Calon." Edgar bersiul. "Weekend ini mau gue tembak. Pas kita ke Semeru."
¤ ¤ ¤
"Dapet, Tes, tape-x nya?" tanya Aurel begitu Tessa tiba di kelas dan sampai di meja mereka.
"Dapet." Tessa mengeluarkan dua buah penghapus bolpoin dari saku roknya. Satu dia serahkan ke Aurel. Satunya lagi untuk dirinya sendiri.
Anak-anak yang lain langsung merubungi bangkunya untuk gantian meminjam sebelum lembar tugas mereka dikumpulkan paksa oleh ketua kelas.
Sementara, pikiran Tessa masih tertahan di depan koperasi tadi.
Bukan soal Rex, tapi Nirina. Teman MOSnya yang sekarang ada di kelas sepuluh enam. Cewek yang dulu terang-terangan mengatakan menyukai Kak Edgar itu selalu menghindarinya tiap berpapasan di koridor, seiring berhembus kabar bahwa Kak Edgar dekat dengannya.
Padahal mah kalau dia tahu, Tessa kan nggak ngapa-ngapain. Caper juga enggak. Terus kalau Kak Edgarnya suka duluan, salah siapa?
"Kenapa muka jadi muram gitu?" tanya Aurel setelah mengikhlaskan lembar tugasnya yang sebenarnya belum selesai. Tessa selesai mengerjakan duluan hanya karena kebetulan tulisannya jelek dan bisa menulis tangan dengan lebih cepat.
"Nggak pa-pa. Rada laper aja. Kesel nggak sempet ke kantin."
"Gue punya onigiri. Mau?"
"Mau."
Aurel membagi sebungkus onigiri padanya.
"Lo udah ngasih jawaban ke Kak Edgar soal ajakan hiking?" Cewek itu bertanya sambil mengunyah.
Tessa menggeleng.
"Nggak diizinin?"
"Diizinin. Tapi lagi nggak pengen ikut."
"Iiih, ayolah, ikut. Ajakin gue." Aurel malah membujuk-bujuk.
Tessa cepat-cepat menggeleng. "Lo pasti mau ngecengin Waketos. Ogah, ah. Nanti gue yang kena marah, ngajakin temen ganjen."
Aurel ingin membujuk lagi, tapi bel keburu berbunyi dan Pak Arif masuk tidak lama kemudian. Tentu Tessa mengantuk sepanjang jam pelajaran. Dia tidak paham Fisika, sehebat apapun gurunya menerangkan.
Lalu dia jadi kepikiran ajakan Kak Edgar lagi.
Dia tidak ingin pergi ke gunung sebenarnya. Dengan teman-teman Edgar juga dia tidak akrab. Jadi tidak ada alasan untuk mengiyakan ajakannya.
Apalagi kalau ingat motif seniornya itu mengajaknya ke sana. Untuk PDKT dia bilang? Hmm, Tessa bahkan kepikiran ke arah situ, meski dia tidak akan menolak Edgar mentah-mentah juga.
Tapi di sisi lain, dia penasaran apa yang akan terjadi kalau dia ikut.
Sudah lama dia tidak pergi ke gunung.
Pasti seru. Apalagi perginya rame-rame.
Dan sudah pasti kalau ikut nanti, dia bakal bisa membuat teman sebangkunya senang setengah mampus.
"Lo pernah naik gunung?" bisik Tessa ke Aurel akhirnya.
Muka Aurel kontan histeris, tapi masih cukup tahu diri bahwa ada Guru di depan kelas. "Pernah, lah. Panderman, Bromo, Kawah Ijen." Aurel balas berbisik.
"Lo rajin olahraga?"
"Sepedahan, renang, jogging, bulu tangkis. Rajin, lah. Ayo, ajakin gue."
"Tapi janji nggak bakal kegatelan?"
"Janji. Gue mah gatel di belakang doang. Kalo di depan Kak Rex, udah pasti jadi putri malu."
"Najis." Tessa menggeleng-geleng, kemudian berusaha fokus menyimak lagi. Dalam hati berharap semoga pilihannya tidak salah.
¤ ¤ ¤
"Kok rumah lo sepi terus? Orang tua pada ke mana? Lo nggak punya saudara?" tanya Edgar sambil melepas helm, sesaat setelah menurunkan Tessa di depan rumahnya sepulang sekolah. Dia duduk santai di jok motor, tidak berniat segera pergi.
"Kepo." Tessa mengulurkan helmnya tanpa menjawab, memperhatikan Edgar mengaitkan helmnya ke besi belakang jok.
Dia memang sedang tidak ingin menjelaskan situasi keluarganya pada siapapun. Terlebih ke orang yang baru dikenal.
Edgar menghela napas, memikirkan topik lain agar bisa berada di sana lebih lama.
"Elo nggak laper? Tadi pas jam istirahat kan nggak makan."
"Kenapa emang? Laper kan gampang, tinggal beli makan. Warung juga nggak jauh."
"Mau makan sekarang, nggak? Gue temenin."
"Kakak udah laper juga?"
"Iya."
"Tapi Tessa pengen mandi dulu." Tessa meringis.
"Gue tungguin."
Akhirnya Tessa mandi dengan cepat, dan tak lama kemudian keduanya sudah duduk di salah satu rumah makan tidak jauh dari rumahnya.
"Tessa mau ikut ke Semeru, tapi ngajak satu temen. Kuotanya masih? Denger-dengar kalau mau ke sana jauh-jauh hari harus registrasi online dulu?"
"Bisa, bisa. Lebih, kok, bookingnya." Edgar langsung semringah. "Mulai besok, tiap sore kita lari-lari dulu ke Rampal. Biar enteng nanti pas nanjak. Tenang, peralatan gue yang siapin semua. Lo tinggal bawa baju ganti sama badan."
"Segitunya Kakak pengen Tessa ikut?" Tessa berdecak-decak gemas, membuat Edgar salah tingkah. "Nggak lah, perlengkapan pribadi Tessa siapin sendiri. Kakak kasih rekomendasi aja, tempat beli atau sewanya di mana."
"Oke, oke."
Hidung Edgar kembang kempis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top