#33 Reset, lagi [end]


TESSA membuka mata perlahan.

Bau karbol menyengat hidungnya.

Dan yang pertama dilihatnya adalah Edgar. Duduk di kursi di samping tempat tidur. Sedang menggenggam tangannya dengan mata terpejam.

Jelas dia sedang berada di ruang rawat inap rumah sakit, entah telah berapa lama.

"Kak ...." panggilnya lirih.

Edgar membuka mata, langsung nampak bersyukur melihatnya sadarkan diri.

Lelaki itu lalu beringsut duduk di tepi ranjangnya, mengelus pipinya. "Akhirnya lo melek juga," gumamnya.

Tessa memejamkan matanya lagi, menikmati sentuhan lembut itu.

Rasanya hangat.

Membuatnya tersadar bahwa sudah sangat lama dia tidak diperhatikan sebegitunya. 

Entah kapan terakhir kali Ayah dan Mamanya bergantian mendengarkan curhatnya sebelum tidur. Memberi tahu bahwa mereka bangga pada kerja kerasnya hari ini. Mengatakan tidak sabar ingin melihat pencapaian apa lagi yang akan diraihnya besok.

Dia sungguh rindu memiliki teman berbagi.

Dia takut hidup sendirian.

"Tessa kenapa? Yang bawa ke sini siapa?" tanyanya kemudian, dengan suara serak dan lirih, yang membuat hati Edgar tersayat saat mendengarnya.

"Jangan banyak ngomong." Edgar menyahut galak. "Kemarin-kemarin elo udah kebanyakan ngomong, sekarang ganti dengerin gue."

Edgar mengusap air mata yang sudah mengalir di pipinya tanpa sadar.

Gadis itu memejamkan mata lagi, memang belum sanggup untuk bicara banyak, meski saat ini selang infus sudah terpasang di pergelangan tangannya.

"Kenapa nggak cerita ke gue, sih, kalau ortu lo lagi bermasalah?" Edgar menurunkan nada bicaranya. "Gue udah tahu semuanya. Tadi Adek lo nelepon. Karena gue takut dia khawatir kalau nggak diangkat, ya udah, terpaksa gue angkat. Dan dia cerita."

Tessa menghela napas berat.

"Lo nggak percaya sama gue, Tes, makanya nggak mau cerita?"

Gadis itu menggeleng lemah.

Masalahnya memang bukan pada Edgar. Tapi dirinya sendiri.

Dia terlalu takut membuka diri pada orang lain.

Dia sudah hancur.

Dia tidak ingin menghancurkan orang lain juga.

"Gue juga anak broken home." Edgar melanjutkan. "Tapi nggak gue ambil pusing. Ortu gue jelas punya pertimbangan sendiri. Gue cuma anak kemarin sore, tahu apa? Ricis juga biar kelihatannya sableng gitu, dia sama kayak kita. Dan kami pasti ada buat lo kapanpun lo butuh dan pengen cerita."

Air mata Tessa mengalir lagi.

"Terharu kan lo, punya mantan sebaik gue?" Edgar mendengus pelan.

Tessa menyentuh punggung tangan Edgar yang mesih menangkup pipinya. "Maafin Tessa, Kak."

"Nggak perlu. Gue tahu rasanya jadi elo. Wajar kita bereaksi kayak gitu di umur segini. Ngerasa dunia kita runtuh. Nggak punya orang lain yang bisa dipercaya. Bangun pager tinggi-tinggi biar orang lain nggak bisa masuk, saking takutnya disakiti lagi." 

Edgar menggenggam tangannya yang lain.

"Sorry karena gue nggak peka dan maksa ngelewatin batas yang lo bikin. Sorry karena gue belum layak jadi orang yang bisa lo percaya. Padahal semuanya butuh waktu, dan gue malah nggak sabaran."

Tessa mulai sesenggukan.

Edgar mengecup punggung tangannya. "Ssh. Jangan nangis. Jadi pengen peluk, nih."

Tessa mengelap ingusnya. Tulang rusuknya terlalu sakit, membuatnya tidak sanggup tertawa, meski ingin. "Yang lain mana?"

"Yang lain siapa? Emang gue aja nggak cukup?"

Tessa mesem lagi dengan susah payah. "Cukup. Kakak lebih dari cukup. Tessa cuma mau bilang makasih."

Edgar lalu celingukan. "Tadi sih ada. Pada ke kantin kayaknya. Udah, tidur lagi aja, nanti gue sampein. Biar cepet sehat, biar cepet pulang. Biaya opnamenya nggak murah. Makin banyak utang deh lo sama gue."

"Iya nanti Tessa balikin pelan-pelan."

"Nggak mau, nggak sebanding." Edgar mencubit pipinya pelan. "Gue maunya dibayar dengan jadi cewek gue lagi. Seumur hidup."

Edgar lalu menertawakan dirinya sendiri.

"Ish, gue kedengeran menjijikkan banget!"




¤ ¤ ¤




Jam istirahat beberapa hari kemudian, Tessa, Aurel, dan Ricis duduk berdempetan di kantin sambil ngerumpi. Kemudian Edgar CS datang dan langsung duduk tanpa permisi.

Ricis melotot. "Pindah gak lo?! Ini area girls only!"

"Paan, sih?" Edgar nggak peduli.

"Ck. Udah diputusin juga, masih aja nempel-nempel. Nggak punya harga diri!"

Tessa ketawa. Dia memang belum bilang pada siapapun kalau mereka balikan.

Malu.

"Tes, nanti pulang sekolah anter nyari buku lagi, ya." Edgar berujar seolah-olah tidak ada Ricis di sana.

Tessa merenung sejenak. "Enggak ah. Tessa udah terlanjur bikin janji sama Kak Ricis. Kakak telat, sih."

"Ck. Sekarang aja gue di depak! Nggak inget kemarin-kemarin di rumah sakit nggak mau gue tinggalin sebentar aja?"

Tessa melotot dan mencubit pinggangnya.

Edgar menggeliat karena geli.

"Udah lah, ngapain sih, ditutup-tutupin? Kalau sayang tuh dideklarasiin, biar gue nggak dicolek-colek ama cewek lain."

Tessa manyun.

"Bodo, ah!"

Edgar tertawa, kemudian merangkul lehernya dan pasang wajah pongah ke Ricis.

"Mulai sekarang, lo kalau mau ngajak cewek gue jalan, harus atas sepengetahuan gue!"



TAMAT



Note:

Thank you for reading and appreciating this work, guys. That means a lot.

Aku tau kalian merasa jengkel sama penyampaian dan penyelesaian konfliknya. Sama, aku juga [setelah baca ulang]. Btw cerita ini memang adalah cerita kedua yang kutamatkan di Wattpad, dan kalau kalian ngikutin lapakku dari awal, you guys know I'm growing slowly but surely.

Kayaknya zaman nulis ini, aku pribadi masih punya kecenderungan menghindari konflik, jadi kebawa sampe ke tulisan, biarpun aku udah berusaha menyesuaikan resolusi konfliknya berdasarkan MBTI para tokoh. Sama ... kayaknya pas ini ditulis, lapakku masih luar biasa sepi, wkwk. Yang baca cuma silent reader pindahan dari FB, yang bacanya lewat browser dan nggak mau capek-capek bikin akun supaya bisa ngevote dan komen, and honestly hal itu sempat bikin demot, hahaha. 

So guys, please, kalau kalian baca cerita on going, support para penulisnya dengan vote dan komen kalian. Ceritanya mungkin nggak bagus-bagus amat sehingga kalian merasa mereka nggak deserve vote dan komen, but who knows, suport kalian bisa membuat seorang penulis pemula jadi semangat belajar dan kelak bisa jadi penulis besar? Kalau untuk cerita ini, tenang, gak di vote dan komen aku ridho aja karena sudah kuanggap produk gagal a.k.a. bahan pelajaran.

Terakhir ... kritik dan saran masih sangat diterima. Maybe nggak akan kuaplikasiin untuk merevisi cerita ini. Tapi pasti bakal jadi catatan tersendiri untuk project-project tulisan ke depannya.

Once again, thank you so much. 



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top