#32 Hari kejatuhan
"TESSA nggak sekolah lagi, woy! Udah hari ketiga!" Troy langsung duduk di meja di depan Edgar begitu tiba di kelas, tanpa meletakkan tas di punggungnya. Ricis mengekor masuk di belakangnya. Sementara Edgar yang sedang mengutak-atik HP hanya mengangkat wajah dengan lesu.
"Tadi kita sengaja lewat depan rumahnya, lampunya masih nyala." Ricis menimpali, tapi Edgar masih tidak menunjukkan perubahan ekspresi yang signifikan.
Tessa tahu apa yang ingin dan harus dia lakukan. Dan Edgar juga sedang tidak dalam posisi berhak menghawatirkannya, meski tentu saja dia khawatir.
"Fix putus nih, Bro?" Troy memandangnya lurus-lurus, menopang tubuhnya pada satu siku di atas meja.
Ricis meletakkan tasnya dan duduk di bangku Troy. "Putus nggak pa-pa, sih. Asal tetep jaga hubungan baik." Ricis berkata sabar. "Gue sebenernya kasihan sama Tessa. Gue yakin dia lagi stress aja, makanya putusin lo. Dan sebagai temen, kita jangan sampe tutup mata sama masalahnya. Takut kalo dia kenapa-napa. Inget pas kelas sepuluh dulu, kan, Gar? Kalau nggak ada temen-temen macem kalian, udah pasti gue nggak bisa survive."
"Iya." Edgar menghela napas. Dulu waktu kelas sepuluh Ricis memang pernah down karena masalah keluarga. Dan kalau bukan karena teman-teman macam Edgar, Rex, dan Troy, yang biarpun dari luar nampak cuek bebek, jelas masa SMA Ricis tidak akan semulus sekarang. "Gue juga bersyukur punya temen kayak lo, Cis."
"Makanya, jangan gampang nyerah sama Tessa, ya. Ngadepin gue aja lo bisa sabar, masa sama Tessa enggak."
"Gue sabar, kok."
"Good."
"Padahal gue udah mantep banget sama Tessa. Nggak mau nyari cewek lain. Abis ini kita makin sibuk, dan Tessa tuh paling ngertiin. Nggak manja, apalagi minta sering-sering ketemu. Kalo gue jadi kuliah di tempat yang jauh, gue juga yakin dia bakal setia gitu. Eh, nggak tahunya gue malah diputusin."
"By the way, ke mana lagi ya, tu bocah?" Troy menegakkan posisi duduknya.
Ricis mengusap-usap lengan Edgar untuk menenangkan. "Rex nggak tahu juga?" tanyanya, tiba-tiba teringat kalau Rex dan Tessa bertetangga.
"Gue nggak nanya."
"Why?"
"Males."
"Lah? Kenapa?"
"Males ya males."
"Lagi ribut?"
Edgar dan Rex memang bukan tipe teman yang nggak pernah ribut. Kalau sudah berselisih paham, entah masalah OSIS atau hal lain, mereka bisa tiga hari nggak bertegur sapa, meski tetap duduk bersebelahan saat rapat atau makan siang ramai-ramai di kantin.
"Percaya nggak sih kalian, kalau Tessa suka sama dia?"
Troy dan Ricis saling pandang. Kemudian Ricis yang menjawab. "Maybe, sih. Rex kan lebih asyik daripada lo."
Edgar sudah tidak kaget dengan jawaban kejam teman-teman akrabnya. Mereka memang nggak sudi bohong demi nyenengin teman. "Kalau Rex suka Tessa?"
"Maybe juga. Siapa sih yang nggak suka Tessa? Dia itu kayak visualisasi anak SMA yang nggak terpengaruh sama dunia, gitu. Bener-bener punya pendirian, dan kalau bergaul sama dia kayak udah jaminan bakal bisa jadi better version of you gitu lho. Bener-bener bawa dampak positif. Di saat cewek-cewek lain ribut mikirin cogan atau bias K-Pop, she really knows what to do biar masa remajanya tetep asyik tanpa berlalu sia-sia. BTW kenapa elo tiba-tiba nanya gitu?"
"Percaya nggak kalau Tessa nggak pernah suka sama gue?" Kali ini Edgar hanya menoleh ke Ricis karena malas diledek Troy.
"Percaya." Ricis menyahut tanpa sungkan. "Elo tuh nyebelin tau nggak, sih? Udah bucin, posesif, suka seenak-enaknya."
"Lah terus ngapain dia mau nerima gue?"
"Ya kan nerima bukan berarti suka. Menerima itu bisa juga salah satu bentuk dia ngasih kesempatan ke elo dan ke dirinya sendiri. Kalau ujung-ujungnya tetep doesn't works, ya putus. Kayaknya sih dia tipe yang sesimpel itu. Atau kayak yang gue bilang tadi ...."
"Paan?"
"Dia cuma lagi stres, lagi pengen sendiri, nggak pengen ngerepotin lo. Makanya dia asal nyeplos biar lo kesel dan menjauh."
"Terus gue harus gimana?"
"Bro, lo kesambet setan mana, sih? Jangan jatuhin harkat dan martabat kaum kita, dong. Harga diri dikit napa?"
Edgar mendengus kesal. Di antara semua temannya, Troy memang yang paling jarang menghibur.
"Cewek itu kudu ditarik ulur. Biar dia sadar. Biar dia ngerasain dulu bedanya ada lo sama enggak. Meski Tessa bukan tipe cewek brengsek yang bakal manfaatin lo karena lo bucin, paling nggak dia tetep harus dikasih tau rasanya kalau punya pacar itu lebih enak dibanding jomblo."
Ricis berdecak. "Amit-amit banget, sih!"
¤ ¤ ¤
Pulang sekolah, Troy dan Ricis berjalan beriringan ke tempat parkir motor. Ricis nebeng Troy hari ini karena motornya sedang diservis, sementara Edgar sudah keluar duluan dari kelas begitu bel pulang tadi berbunyi.
Dan begitu tiba di tempat parkir, keduanya dikejutkan oleh Edgar yang sedang adu mulut dengan Rex di dekat sekretariat OSIS. Keduanya segera berlari mendekat, tapi Edgar sudah keburu melayangkan tinjunya ke wajah Rex. Kena. Rex tidak menghindar. Bibirnya langsung bocor.
Ricis sampai menjerit kaget, tapi Troy mencegahnya melerai. Biar selesai dulu katanya. Untung parkiran sudah sepi, jadi mereka berdua tidak bikin heboh sekolah.
"Ada apa lo sama Tessa?" tanya Edgar geram.
Rex mengatupkan rahangnya yang terasa sakit, tidak menyahut.
"Lo suka sama dia?" tanya Edgar lagi.
"Iya."
"Bangsat lo, makan temen!" Edgar sudah ingin memukul lagi, tapi dicegah Ricis.
Rex masih nampak santai. "Lah, gue suka sama Tessa emang iya, jauh sebelum lo suka sama dia. Tapi ya udah, gue suka doang."
"Ck, Gar, masa sampe tonjok-tonjokan, sih?" Ricis berusaha mengingatkan.
"Gue nggak ada apa-apa sama Tessa." Rex bersuara lagi. "Nggak worth it. Cuma cinta ABG doang, nanti juga ilang sendiri. Makanya gue nggak ngapa-ngapain, nggak ada usaha apa-apa buat ngedeketin dia. Karena Tessanya nggak suka sama gue."
"Gue lihat lo di CCTV. Lo sering nyamperin dia!"
"Emang! Siapa juga yang nggak khawatir ngelihat kondisinya kayak gitu? Lo lupa dulu kita sering nyamperin Ricis karena takut dia bunuh diri?"
"Dia suka juga sama lo, bego! Dia bilang sendiri ke gue!" Edgar masih geram.
"Itu sih alesan dia biar bisa putus aja sama lo. Dari dulu dia emang sering jadiin gue kambing hitam, kok."
"Chill, brother."Troy membisikinya.
"Gue sih yakin dia lagi ada masalah keluarga. Tapi gue nggak bisa kasih tau ke elo, karena menyangkut privasi dia."
Rex kemudian pamit pulang duluan, tidak peduli Edgar masih meneriakinya.
¤ ¤ ¤
Rex menyusul Asti, menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumah cewek itu.
Asti menjerit karena kaget. "Bisa nggak sih, jangan ngagetin?!"
"Sorry, sorry. Mau nanyain Tessa gue."
"Tessa kenapa?"
"Dia bilang nggak, pergi ke mana?"
"Pamitnya sih ke Bandung. Tapi gue nggak lihat kapan perginya. Pagarnya juga nggak digembok."
"Mungkin nggak sih, dia ada di dalem?" Rex menyuarakan pertanyaan yang sudah ada di benaknya sejak tadi.
"Sinting! Ngapain dia di dalem?"
"Ya kali. Males keluar, males sekolah. Ngurung diri di dalem."
"Tapi udah tiga hari ini, Rex. Ya kali dia makan mie instant doang tiga hari!"
"Lo kayak nggak tahu Tessa aja, gimana keras kepalanya."
Asti memarkir motornya ke halaman. Kemudian keluar lagi karena Rex tampak belum ingin beranjak. "Dia ada masalah apa sih, Rex? Khawatir juga gue sebenernya. Bisa kacau banget gitu kelihatannya."
Rex tidak ingin menjelaskan, masih keukeuh dengan dugaannya tadi. "Temenin gue masuk rumahnya yuk. Ngecek di dalem."
"Gila aja, main masuk rumah orang sembarangan!"
"Kan berdua, biar ada saksinya kalau gue nggak niat maling."
Akhirnya Asti menurut saja karena Rex sudah jalan duluan.
Rex membuka pagar dan masuk diikuti Asti, mencari anak kunci di deretan pot-pot bunga di teras.
Ketemu.
Dia segera membuka pintu rumah itu dan memanggil-manggil nama sang pemilik, kemudian memutar knop pintu kamanya.
"Nggak ada, kan?" Asti bertanya di belakangnya.
Rex tercekat selama sepersekian detik.
Tessa ada di sana, meringkuk di atas kasur!
Asti menjerit tertahan, mengira telah melihat hantu karena bahkan lampu kamar Tessa tidak dinyalakan.
Rex setengah berlari menghampirinya, sementara Asti langsung mencari-cari saklar lampu.
"Tes, Astagfirullah!" Rex menepuk-nepuk pipinya. Gadis itu melek.
"As, bikinin teh anget!"
Asti yang masih kaget seketika berlari ke dapur untuk menyeduh teh.
"Udah berapa hari lo kayak gini, Tes?"
Tessa tidak sanggup menyahut. Beberapa bulir air mata menuruni pipinya yang makin tirus. Matanya sudah sembab seperti mata ikan. Rex jadi tersayat-sayat melihatnya. Nggak tega.
"Kalau ada masalah tuh cerita, jangan dipendem sendiri. Ngeyel banget sih dibilangin!"
Tessa menggeleng lemah, kemudian memejamkan mata lagi, seiring dua bulir air mata jatuh lagi ke pipinya.
Melihatnya, Rex jadi disergap panik. "As, cepetan tehnya!"
Direngkuhnya gadis itu ke pelukannya.
Badan Tessa bahkan sudah lemas sekali, tidak sanggup menggelak saat dipeluk.
"Tessa pikir bakal lega kalau Mama sama Ayah pisah." Gadis itu menggumam. Nafanya nyaris datar, berbanding terbalik dengan air mata yang terus mengalir. "Tapi ternyata enggak. Malah sakit ..."
Rex menggeleng, mencegahnya berbicara. "Ssh. Gue di sini, nggak bakal ninggalin lo. Kita hadepin bareng-bareng."
"Jangan kasih tau Budhe-Pakde, apalagi Ayah."
"Enggak. Udah, jangan banyak ngomong. Abis ini lo makan dulu biar ada tenaga."
"Jangan tinggalin Tessa."
"Enggak, Tes. Janji."
Dan tiba-tiba saja gadis itu kehilangan kesadaran.
Rex tercekat selama sedetik. Bingung. Takut.
Tapi setelagnya dia langsung berlari keluar.
"As, tungguin di sini. Gue ambil mobil bentar. Tessa pingsan. Kita ke rumah sakit."
Asti langsung mematikan kompornya dengan panik. "Buruan Rex, gue takut!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top