#31 Topeng


TESSA sedang di kantin bersama Aurel dan Judith. Sekarang baru pukul setengah tujuh lewat. Ketiganya tadi belum sempat sarapan di rumah, jadi Aurel mengajak teman-temannya untuk mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut.

"Bingung deh, mau makan apa," gumam Judith sambil memperhatikan jajanan di depannya.

"Makan nasi aja, sih." Aurel memutar bola mata. Dia sendiri memesan nasi goreng. Dengan telur dadar yang diirisi cabai.

Judith bergidik. Dia memang agak pemilih soal makanan dan nggak terlalu suka pedas. "Ngantuk gue kalau makan nasi pagi-pagi."

Tessa berdiri di depan warung terpisah dari keduanya, memesan seporsi bubur ayam dengan tambahan topping irisan cakwe. Kemudian setelah pesanannya jadi, dia segera membawa nampannya menuju salah satu bangku kosong, mendahului kedua temannya.

Sebenarnya kantin sedang tidak terlalu ramai, jadi pilihan bangkunya banyak. Tapi tetap saja meja yang di ujung, tempat dia dan Edgar biasa duduk adalah yang paling enak, karena dekat dengan pohon akasia yang tumbuh di sebelah kantin. Semilir anginnya lebih terasa dibanding di meja lain.

Tapi sebelum sempat dicegah, seorang cewek dengan sengaja menyenggol Tessa saat berjalan melewatinya, membuat es teh di nampan yang dibawanya tumpah mengenai kemeja seragamnya.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Tessa disenggol-senggol, bahkan ditabrak-tabrak saat sedang berjalan, entah di kantin, atau koridor depan kelas-kelas. Dilempar pakai bola basket juga sering, dengan dalih nggak sengaja karena baru belajar. Tapi saat itu suasana hatinya sedang adem. Dan dia tidak mau ribut di depan Kak Edgar.

Tapi sekarang dia nggak punya alasan untuk mendiamkannya. Toh dari awal dia sudah bertekad, kalau diomongin doang, digibahin, biarpun gibahinnya keras-keras sampai dia dengar, dia nggak akan mempermasalahkan. Tapi kalau sudah main fisik, jangan kira Tessa bisa dibully!

Segera diletakkannya nampannya di meja terdekat, kemudian dia menghampiri cewek yang tadi menyenggolnya, yang sekarang sudah duduk di tengah kantin, tanpa berniat sedikit pun untuk meminta maaf.

Hari ini Tessa sedang tidak ingin berlagak menjadi siswi teladan. Kepada siapapun yang cari gara-gara, dia tidak akan tinggal diam.

Langsung dia jambak rambut panjang cewek itu tanpa peringatan, yang kontan jadi mengaduh kesakitan. Teman-teman di mejanya langsung pada panik, tapi tidak ada yang berani melerai.

Ah, mereka memang cuma sesama anak kelas sepuluh juga, tapi lagaknya sudah seperti senior. Dia pikir Tessa takut?!

"Lo sinting, ya?!" Cewek itu masih sempat-sempatnya mendamprat disaat rambutnya sendiri sedang berada di cengkeraman Tessa.

"Mau lo apa nyenggol-nyenggol gue? Jalan segitu luasnya, lo pikir gue nggak tahu kalau lo sengaja? Dan lo pikir gue nggak inget, muka-muka yang sering melototin tiap gue jalan sama Kak Edgar. Kenapa? Sirik gue bisa dapet cowok yang lo suka?"

"Apa-apaan, sih? Lebay lo!"

"Gue peringatin untuk pertama dan terakhir kalinya, cari masalah sama gue sekali lagi, siap-siap kita berdua dikeluarin dari sekolah!"

Tessa melepas rambut yang dia pegang. Percuma. Mereka bukan tandingannya. Baru juga dijambak, udah jiper. Mana temennya nggak ada yang belain. Nggak asyik.

Tessa kembali ke meja tempat nampannya ia letakkan. Aurel dan Judith sudah ada di sana.

"Kenapa, Tes?" tanya Judith. Sebenarnya dia juga sering mengompori Tessa untuk tidak diam saja diganggu anak-anak seangkatan, bahkan senior-senior cewek. Anak-anak model begitu kudu dilaporin ke orang tuanya, kalau kerjaan mereka di sekolah cuma nggibah dan ngebully anak orang!

"Biasa."

"Itu kemeja lo basah nggak pa-pa dibiarin aja? Nggak lengket?"

Tessa mendesah.

Tentu saja bakal lengket kalau tidak dicuci. Kena es teh manis.

"Biar deh, nggak mood." Dia lalu memandang sekeliling. "Gue mau ambil teh kotak aja. Ada yang mau nitip?"

"Nitip satu, deh. Yang apel." Judith meringis.

Tessa segera beranjak. Dan tidak sengaja sepasang matanya bersitatap dengan Nirina, teman pertamanya saat MOS dulu, yang juga sedang menuju ke warung yang sama dengannya.

"Hai, Na. Lama nggak ketemu." Tessa menyapa duluan, sadar temannya ini pasti akan menghindar lagi.

"Iya. Elonya sibuk pacaran," sahut Nirina ketus.

Tessa mesem. "Udah putus, kok."

Nirina membeliak. Suara Tessa tadi cukup keras sehingga bisa didengar sebagian pengunjung kantin yang berada tidak jauh darinya, bahkan dari meja Aurel dan Judith. "Sumpah? Kok bisa? Minggu lalu kan masih lengket banget di kantin."

"Iya, baru kemarin putusnya."

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-napa."

"Oh. Gue turut berduka."

"Selow. Bentar lagi juga pasti Kak Edgar udah dapet gantinya, kalau nggak lagi males nyari."

Nirina tertawa parau, memperhatikan sekeliling yang jadi berkasak-kusuk. Pasalnya baru beberapa hari yang lalu pasangan fenomenal itu masih menjadi bahan gunjingan di kantin karena Edgar memang tidak menutup-nutupi perhatiannya ke Tessa, membuat sebagian besar cewek-cewek iri setengah mati.

"Sumpah lo putus sama Kak Edgar? Kenapa?" tanya Aurel saat Tessa kembali ke meja mereka dengan dua kotak teh di tangan.

Tapi Tessa dama sekali tidak berniat menjelaskan.

Malamnya, saat sedang tidak ingin bertemu siapapun, Tessa mendengar ketukan di pintu.

Tessa membukanya dengan malas dan terheran-heran melihat Rex yang berdiri di hadapannya, padahal mereka tidak ada janji.

Muka Rex terlihat mengkilat. Berarti baru pulang latihan renang. Dia memang sudah berhenti mengikuti semua turnamen, hanya tetap rutin latihan agar performanya tidak turun.

"Iya, Rex. Ada apa?" tanyanya.

"Besok hari Rabu. Kan lo ada mapel Fisika. Nggak ada PR?"

Tessa mengerutkan dahi, ingin menertawakan modusnya, tapi tidak tega. "Nggak ada, sih. Mau ngajarin Tessa ngerjain PR lagi? Nggak usah repot-repot, kali. Tessa sekarang langganan online course."

Bohong. Tessa sebenarnya ada PR. Tapi dia sedang tidak ingin mengerjakannya sekarang.

Rex manggut-manggut. "Mau pergi makan?"

Tessa menggeleng. "Belum laper. Terus Budhe sekarang juga lagi ke kondangan, katanya nanti pulang mau mampir beliin makan sekalian."

Bohong lagi. Budhe sedang ke rumah saudaranya di kota sebelah, dan kemungkinan besar menginap di sana malam ini.

Selepas Rex pergi, Tessa duduk sambil memeluk lutut di balik pintu ruang tamu. Dia merasa hampa.




¤ ¤ ¤




Belum sampai sepuluh menit selepas Rex pergi, pintunya diketuk lagi. Tessa cepat-cepat mengusap pipinya yang basah dengan lengan kaos. "Apa lagi?" tanyanya sambil membuka pintu.

"Apa, Tes? Gue baru dateng."

Edgar. Berdiri menjulang di hadapannya, menatapnya sendu.

Tessa menelan ludah. Edgar juga bukan tamu yang diharapkannya. "Sorry, kirain orang lain. Ada apa, Kak?"

"Orang lain siapa?" Tapi kemudian perhatian Edgar sudah teralihkan oleh hal lain. Mata Tessa merah dan sembab. "Lo abis nangis?"

"Iya, lagi nonton drakor."

"Bohong." Edgar menundukkan punggungnya agar sejajar dengan Tessa. "Lo nggak suka nonton drakor. Biasanya kalau bilang mau maraton nonton, itu cuma alesan doang biar gue nggak dateng."

Tessa menelan ludah lagi. "Ada apa Kakak ke sini?"

"Kalau udah putus, emang gue nggak boleh main ke sini lagi?"

Tessa mengernyit. Kalau dia jadi Edgar, tentu dia tidak akan sudi ke rumah Tessa lagi setelah diputuskan begitu. Kalau perlu malah tidak udah bertemu di sekolah juga. Fokus ke urusan masing-masing.

"Denger ya, Kak. Tessa nggak suka kalau Kakak tiap hari ke sini. Kalau ketemu di sekolah, oke, karena emang kita satu sekolah dan nggak mungkin nggak ketemu. Ngobrol dan makan di kantin sekali-kali juga oke. Tapi Kakak jangan ke sini tiap hari."

"Gue nggak akan ke sini tiap hari. Kebetulan aja besok nggak ada tugas. Jadi malem ini gue bisa ke sini."

"Tapi Kakak nggak ngehubungin aku dulu, nanya aku luang apa enggak."

"Iya, sorry. Kalau gue bilang dulu, bisa-bisa lo kabur duluan. Dan Alhamdulillah lo luang, kan? Itu sempet nonton drakor."

"Mending Kakak pulang aja. Tessa butuh me time!"




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top