#28 Akhirnya luruh juga


REX melihat Tessa bersepeda lagi di hari Minggu saat dia sedang memakai sepatu di teras rumahnya, bersiap-siap berangkat. Hari ini dia ada latihan renang.

Segera dia berjalan menyeberangi halaman. "Gabut, Tes?" tanyanya santai, menyandarkan dagu ke pagar rumahnya, sementara Tessa yang menghentikan sepeda tetap duduk di atas sadel.

"Lagi suntuk," sahut yang ditanya.

"Mau ikut gue renang, nggak? Mayan, sepi. Udah dibooking khusus buat latihan. Jadi nggak ada pengunjung lain."

"Kalau Tessa ikut malah ngerepotin, dong?"

"Enggak. Kan ada kolam anak-anak yang emang nggak kita pakai." Rex menahan tawa melihat perubahan ekspresi Tessa, yang tadinya setengah berharap sekarang jadi kesal. "Nggak cetek-cetek amat kolam anak-anaknya. Masih bisa lah dipakai sama yang setinggi elo. Gimana? Ikut?"

Tessa berpikir sejenak. "Boleh, deh."

"Oke. Gue manasin motor dulu, gue samper ke rumah lo sebentar lagi."

"Oke."

Mereka berangkat tak lama kemudian. Rex memperkenalkan Tessa ke teman-temannya yang sudah tiba, kemudian segera undur diri ke ruang ganti pria, setelah menunjukkan ke Tessa di mana lokasi ruang ganti wanita.

Rex baru keluar ketika Tessa menghampirinya. Gadis itu masih memakai pakaian yang sama dengan saat mereka tiba, belum berganti dengan pakaian renang. Bahkan dia juga masih bersepatu.

"Kenapa? Kok kayak bingung gitu?" tanyanya segera.

Tessa menggeleng-geleng cemas. "Tessa balik duluan, ya, Rex. Ada urusan."

Rex mengerutkan dahi, yakin pasti salah dengar. "Lah, baru juga nyampe?"

"Iya, tapi ini penting."

"Mau pulang atau ke mana? Gue anter dulu, deh."

"Jangan. Pelatih lo kan udah dateng. Tessa naik ojol aja." Karena Rex nampak skeptis, Tessa segera menambahkan. "Nggak pa-pa, bener. Tessa bisa pulang sendiri. Makasih lho udah ngajakin ke sini. Cuma Tessanya emang lagi ada urusan yang nggak bisa ditunda."

"Oke. Ati-ati. Bilang supir ojolnya jangan ngebut-ngebut."

"Iya."

Selesai latihan, Rex tidak ikut kumpul-kumpul makan bersama teman-teman dan pelatihnya. Dia terlanjur khawatir, ingin cepat-cepat pulang dan mampir ke rumah Tessa. Firasatnya tidak enak. Pasti gadis itu sedang ada masalah. Karenanya akhir-akhir ini jadi sensitif, bahkan ke pacarnya sendiri.

"Rex?"

Tessa tertegun di depan pintu melihat Rex berdiri di sana, dengan rambut masih basah.

Tessa kemudian mempersilakannya masuk. Rex meletakkan tasnya di lantai, dan duduk di sofa panjang. Tessa duduk di sebelahnya.

"Lo lagi ada masalah, kan?" tanya Rex tanpa basa-basi.

Tessa terdiam, hanya memandang lurus ke wallpaper di dinding seberang ruangan, ke motif bunga bernuansa hijau muda.

"Keluarga?" tanya Rex lagi.

Gadis itu masih bergeming. Rex tidak bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya karena Tessa menolak menghadapkan wajah padanya.

"Gue kenal semua keluarga lo, Tes. Nyokap-Bokap lo. Adek lo. Gue juga tahu karakter mereka. Ada apa? Cerita sama gue. Pasti gue ngerti."

Tessa masih tidak menyahut. Hanya beberapa kali menghela napas panjang, nampak jelas menahan diri.

"Gue nggak maksa cerita sekarang, sih. Tapi gue nggak suka aja lihat lo murung begini. Gue cuma pengen lo tahu, kapan pun lo mau cerita dan ngebagi beban lo ke gue, gue selalu ada buat lo. Jangan ngerasa hidup sendiri."

Tessa mengalihkan pandangan, kali ini ke langit-langit ruang tamu.

"Sorry nih, ya. Apa ini soal ortu lo, Tes?"

"Kenapa bisa mikir gitu?" Tessa akhirnya menyahut, dengan suara lirih, mengesankan seolah-olah dia akan menangis. Tapi Rex sudah siap.

"Inget aja dulu pas libur ke sini lo pernah nelepon Mama lo, ngancem bakal ... you know?" Rex sengaja tidak melanjutkan kalimatnya karena yakin Tessa masih ingat lanjutannya. "Lo bahkan bilang ke Mama lo kalau kita pacaran."

Tessa tersenyum kecut. Dulu memang dia suka menggertak tidak akan balik ke Bandung dan kabur bersama pacarnya. Padahal dia tidak punya pacar. Dan Rex lah yang sering dia jadikan kambing hitam.

"Kayaknya cara Tessa ngingetin Mama salah, deh."

Benar, mata itu sekarang mulai berkaca-kaca.

"Padahal Tessa pikir, karena punya anak perempuan, Mama mungkin bisa sadar kalau perubahannya bisa berpengaruh ke perubahan perilaku anak gadisnya juga. Kalau karma itu ada. Tessa cuma kepikiran cara itu. Dan ternyata cara Tessa salah."

Rex menarik Tessa ke pelukannya, membiarkan gadis itu menangis di bahunya.

Rex tidak bertanya-tanya lagi, membiarkannya menangis sampai puas.

Nanti kalau ingin cerita, pasti Tessa akan buka mulut dengan sendirinya.

Rex mengelus pelan punggungnya.

Tapi ternyata Tessa hanya menangis, tidak berniat membuka mulut untuk bercerita lagi, hingga makin lama suara tangisannya makin berkurang, dan kemudian terhenti.

Rex masih mengelus punggungnya, dan kemudian dilihatnya mata gadis itu sudah terpejam.

Tessa ketiduran.

Rex menghela napas pelan. Gempita kalau habis menangis juga sering ketiduran. Katanya menangis itu capek. Rex sendiri tidak paham. Dia sudah lupa kapan terakhir kali menangis, karena memang tidak punya alasan untuk itu. Kemudian dia menelepon Asti.

Asti datang secepat kilat karena memang sedang ada di rumah. "Apaan?" tanya gadis bongsor itu di ambang pintu, kemudian melongo melihat Tessa terkulai lemas di bahu Rex.

"Sst. Kamar Tessa di sebelah mana? Dia ketiduran. Pengen gue pindahin ke kamarnya, takut fitnah. Temenin gue."

"Astaga. Cuma gitu doang?"

"Lo kan tahu mulutnya orang kampung sini kayak gimana pedesnya."

"Iya, bener." Asti kemudian menunjukkan kamarnya, sementara Rex mengikuti dibelakang sambil berusaha tidak menjatuhkan Tessa dari gendongannya. "Nggak tahu zaman sekarang wajar kalau pulang bimbel jam sebelas malam. Eh dikira kelayapan."

"Itu mah elonya aja yang apes, kebagian jadwal jam segitu." Rex meletakkan Tessa pelan-pelan di kasurnya, merapikan bantal di belakang kepalanya, kemudian melepas sepatunya. Baru sadar Tessa masih mengenakan sepatu yang dipakai saat berangkat ke kolam renang bersamanya tadi.

"Mau gimana lagi, murah biayanya. Mana daftarnya juga terakhir-terakhir." Asti masih melanjutkan.

Rex menyelimuti Tessa dan mengurangi temperatur penyejuk ruangan agar tidak terlalu dingin.

"Lo suka sama ceweknya Edgar, Rex?" Asti bersedekap di kusen pintu, tiba-tiba mengubah topik.

Rex langsung melotot dan memberi isyarat agar dia tidak berisik, kemudian keduanya meninggalkan kamar Tessa. "Kagak, lah. Dia mah udah kayak adek gue sendiri." Rex menyahut setelah mereka kembali ke ruang tamu, seraya mengambil tasnya yang tadi dia letakkan di lantai.

"Apaan, lo sama Gempita aja suka timpuk-timpukan sepatu gitu! Tapi kalau sama Tessa tuh, kayak kasih tak sampai."

"Kan gue nggak ada bilang adek kandung."

Asti ketawa. "Yuk ah, gue balik dulu."

"Tunggu As, buset deh. Gue kunci dulu pintunya."

"Emang abis ngapain sih kalian berdua? Bisa-bisanya dia ketiduran di pelukan lo gitu?"

"Nggak abis ngapa-ngapain."

"Tessa ada masalah, ya? Dia nggak mau cerita sama gue. Tapi sering gue lihat nangis sendirian di ruang tengah pas gue lewat. Kan kelihatan tuh kalau pintunya kebuka."

"Hmm, emang ada orang yang nggak punya masalah?"

Rex kemudian mengeluarkan motornya dari halaman, dan menutup kembali pintu pagar.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top