#22 Privat tutor
KETIKA Tessa membuka pagar rumah Rex, cowok itu sedang duduk-duduk di hammock yang terikat di bawah pohon di halaman rumahnya, sambil main HP.
"Malem-malem kok di bawah pohon!" Tessa mencibir.
Rex menoleh, kemudian mendengus. "Baru dateng tuh salam, Tes. Bukan langsung ngehujat."
Tessa kontan meringis. "Iya, maap. Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam."
Rex mempersilakan masuk, berpapasan dengan mamanya yang bersiap-siap keluar.
"Tessa, Ma."
Tessa mesem, kemudian mencium tangannya.
"Oh, ya ampun, lama nggak main ke sini."
Rex permisi ke dalam.
Tessa meringis. "Iya, Tan. Udah gede, bingung kalo main mau ngapain."
Mama Rex menepuk pelan pundaknya. "Pangling, deh. Makin cantik sekarang. Satu sekolah lagi, kan, sama Rex?"
"Iya, Tante. Ini mau minta diajarin ngerjain PR Fisika."
"Oh ya udah, silakan. Anggap aja rumah sendiri. Tante pergi dulu. Om sama adiknya Rex ada di dalem, kok."
"Makasih Tante."
Rex kembali dengan beberapa buku. Tessa sudah duduk di karpet, menyesuaikan tinggi meja ruang tamu yang tidak seberapa, dengan buku Fisikanya yang sudah terbuka. Sementara mamanya sudah pergi.
Rex membaca sekilas materi yang ditunjukkan Tessa, kemudian menjelaskan langkah-langkah mengerjakan soalnya, dengan studi kasus berbeda dari soal yang ada, namun cara mengerjakannya sama. Tessa manggut-manggut, merasa penjelasan Rex lebih mudah dipahami dibanding Guru Fisikanya karena menggunakan bahasa yang lebih sederhana.
Kemudian Rex menyuruhnya mulai mengerjakan, sementara dirinya sendiri mulai membuka buku untuk belajar karena besok pagi ada ulangan harian.
Tapi belum lama mengerjakan, Tessa sudah terkantuk-kantuk, sampai kertasnya banyak terkena coretan bolpoin. Dan kemudian dia jatuh tertidur.
"Eh, malah molor."
Adik Rex, Gempita, yang saat ini duduk di bangku kelas sembilan, yang kebetulan lewat langsung komen, menyadarkan Rex dari keseriusannya membaca.
Rex melongo. Padahal baru sebentar dia meninggalkan gadis itu untuk mengerjakan.
"Ambilin selimut, dong. Kasian, dingin."
Gempita melotot. "Buat dia? Ambil sendiri, lah."
"Ck. Nggak lihat gue lagi belajar? Atau mau gue aduin Mama lo remidi?"
"Hmm. Dasar Abang, cari kesempatan dalam kesempitan. Gue doain kualat."
"Makanya jangan pacaran mulu. Nanti kalau dia sadar lo bego, pasti bakal diputus juga."
"Alah, cewek yang lo suka juga bego."
"Psst!"
Gempita segera masuk dan mengambilkan selimut, kemudian melemparkannya asal ke punggung Tessa. Rex melotot, bembenarkan posisi selimut itu.
"Kalau suka tuh bilang, Bang. Cemen."
"Bodo!"
"Lomba renang sampe tingkat nasional aja bisa, masa nembak cewek nggak bisa. Amit-amit!"
Rex melotot lagi, mengusir adiknya pergi.
Karena Tessa nggak bangun-bangun, Rex sampai sudah pindah posisi ke atas sofa, membaca sambil rebahan. Malah sudah diselingi ngegame juga lewat HP.
Akhirnya Tessa melek karena lehernya pegal.
"Akhirnya bangun juga. Baru aja mau gue usir." Rex mencemooh.
Tessa mengerjapkan mata, mengecek jam di ponselnya. Sudah jam sembilan lewat. "Yah, udah malem. Kok Tessa nggak dibangunin? Kan belum selesai ngerjainnya?"
"Percaya deh, Tes. Kalau lo jadi gue, lo juga nggak bakal bangunin. Oke? Nggak perlu berdebat. Ya udah, buruan kerjain."
"Tapi kan udah malem."
"Kan PRnya buat besok pagi. Lagian rumah lo di situ doang, kenapa emangnya kalo pulang malem? Orang sekampung juga tahu lo abis belajar sama gue. Emang mau besok dihukum karena nggak ngumpulin PR?"
"Tapi ngantuk banget."
"Cuci muka lah."
Tessa akhirnya bangkit untuk mencuci mukanya di wastafel dekat meja makan.
Kemudian mulai mengerjakan kembali sesuai contoh dan penjelasan yang tadi sudah diberikan Rex padanya.
"Astaga, nggak ngerti. Berasa bego banget. Padahal ngerjain matematika perasaan nggak gini-gini amat." Tessa mengeluh. Kemudian matanya tidak sengaja tertuju pada kertas-kertas dibawah tangan Rex, dipangkuannya.
"Itu ... lo ngerjain soal yang sama?"
"Bukan."
"Boong."
"Emang kalau iya kenapa?"
"Buat Tessa, dong. Biar nggak udah nulis ulang. Kan tulisan tangan kita mirip."
"Enak aja."
"Nyontek, deh. Tessa udah ngantuk. Nggak kuat mikir."
"Idiiih, ngerengek kayak anak TK aja!"
Tessa mulai mewek.
"Percuma. Air mata buaya lo nggak mempan di gue. Elo kan ke sini minta diajarin, bukan minta gue yang ngerjain."
Tessa mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu mulai meraih bolpoinnya lagi.
Rex memang dari dulu selalu kejam padanya. Nggak ada manis-manisnya.
"Nanti pasli lo bakal bersyukur karena hari ini gue ajarin, bukan kasih contekan. Kalau contekan sifatnya temporary doang nyelametin lo buat satu momen. Kalau ngerjain sendiri kan besok dan seterusnya lo bisa sendiri."
"Udah tahu kalau teorinya mah. Nggak usah sok bijak."
"By the way, Edgar tahu nggak sih kalau lo punya sisi males, nyebelin, dan suka seenaknya gini?"
"Apaan, sih?!"
Rex ketawa.
"Mau direfill lagi nggak kopinya? Biar melek?"
"Nggak usah, makasih!"
Rex makin ngakak melihat ekspresi Tessa yang kesal di saat ngantuk parah begini.
"Lo masih aja nggak punya belas kasih, ya. Pantes dari dulu nggak punya pacar." Tessa mendengus. "Kalo ke cewek yang lo suka, emang lo bakal kejam gini juga?"
"Maybe."
"Nggak bakal dia suka balik sama lo."
"Ck. Di depan anak-anak aja sok manggil Kak-Kak. Disini lo-lo. Emang gak ada sopan-sopannya!"
"Elah, kan udah kenal lama banget!"
Rex menjitak kepala Tessa. "Nah sekarang udah melek, kan? Buruan dikerjain. Biar gue masih sempet mabar sama cowok lo."
Tessa mendengus dan barusaha konsen lagi mengerjakan. Sudah pukul sebelas ketika akhirnya dia lulus koreksi terakhir dan Rex menyatakan pekerjaannya sudah cocok semua.
"Anterin jalan ke rumah." Tessa mengemasi bukunya.
"Ogah."
"Lah?"
"Jalan sendiri, gue liatin dari bunderan."
Tessa cemberut.
"Kelarin dulu masalah lo sama Edgar. Jangan bikin dia mikir yang enggak-enggak. Gak lucu kalau dia ngelihat gue lewat CCTV lagi nganter lo."
Tessa berberes. "Cowok ribet."
"Lah, malah ngejudge." Rex ketawa.
"Makasih udah bantuin bikin PR." Tessa memakai sandal jepitnya. "Nggak usah di anter sampe bunderan. Tessa nggak takut. Tadi cuma ngetes doang, masih cuek bebek kayak dulu apa enggak."
"Oke."
"Ck. Tadi lo bilang mau nganternya juga cuma basa-basi, kan?"
"Hmm."
Tessa membuang napas, segera pergi.
Dulu mereka akrab karena bisa saling berdebat dan bertengkar. Nggak jaim-jaiman. Mau gimana lagi, orang sama-sama pernah lihat waktu masih ingusan jeleknya kayak apa.
Tapi ternyata, meskipun Tessa tidak menyadari, Rex tetap mengikutinya sampai bundaran kompleks, melihat cewek itu sampai masuki halaman rumahnya dengan selamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top