#13 Edgar, jangan bucin!


TESSA membuka pintu rumahnya dengan terheran-heran karena menemukan Edgar sudah berdiri di hadapannya, masih berseragam sekolah. Sekarang sudah hampir pukul tujuh malam.

"Buset, ke sini lagi?" tanya cewek itu dengan kedua alis terangkat. Benar-benar tidak paham jalan pikiran cowok satu ini. Bisa-bisanya bolak-balik ke rumahnya tiga kali sehari, seperti minum obat saja.

Edgar tidak menggubris pertanyaannya. "Keadaan lo gimana?" tanyanya balik. Tapi gadis di depannya ini memang terlihat sudah jauh lebih baik dibanding saat di sekolah tadi. Tessa sekarang kelihatan lebih segar. Bahkan rambutnya kini basah karena habis mandi keramas.

Tessa menghela napas. "Baik. Tadi udah sempet tidur, terus kebangun karena laper. Ini baru kelar mandi dan mau pergi nyari makan."

Edgar mengangkat bungkusan di tangannya ke depan wajah Tessa. Merasa senang karena, sekali lagi, keputusannya tepat. "Udah gue beliin. Sate kambing. Gue beliin obat penurun demam sama vitamin sekalian."

Tessa menghela napas lagi, tapi urung mengomel, pilih mempersilakan Edgar masuk ke ruang tamu karena angin yang berhembus membuat suhu di luar rumah terasa dingin.

"Hujan lagi nggak tadi?" tanyanya sambil menyalakan lampu.

Edgar melepas sepatunya di teras, menutup pintu, kemudian mengikuti langkah Tessa masuk ke dalam rumah. Diletakkannya kantong yang dibawanya di meja, tas sekolahnya di salah satu kursi, kemudian duduk. "Pas rapat tadi hujan. Tapi udah reda pas mau ke sini."

Tessa duduk di sebelahnya, memandang Edgar sebentar, yang juga terlihat lelah hari ini. Rambutnya yang mulai panjang sudah berantakan karena bolak-balik pakai helm. Mukanya juga terlihat lesu.

Seperti yang dilakukan Edgar tadi, Tessa juga ingin sekali balik menyentuh dahinya, memeriksa apakah dia sehat-sehat saja. Atau menggenggam tangannya. Tapi ditahannya, pilih bangkit menuju dapur.

Memang benar kata orang, cewek-cowok kalau berduaan godaannya banyak. Apalagi kalau berduaannya dengan pacar seperti Edgar.

"White coffee mau?" tanyanya segera, mengalihkan perhatiannya sendiri.

"Mau." Edgar manggut-manggut. Menyisir rambutnya yang mulai lepek menggunakan jari, memperhatikan Tessa berjalan menjauh. Gadis itu biarpun cuma pakai kaos oblong, celana training, sandal jepit, dan rambut lepek karena masih basah, tetap enak dilihat. Kelihatan cantik natural, malah. Butuh otak yang waras agar dia tidak terus-terusan memaku pandangannya ke wajah Tessa yang manis dan membuat gadis itu malah tidak nyaman dan mengusirnya. "Eh, Tes, gue numpang ke kamar mandi, ya."

"Iya." Tessa menyahut dari dapur. "Kalau mau pakai facial wash Tessa, pakai aja. Handuk bersih ada di kabinet di atas wastafel."

"Oke."

Tak lama kemudian keduanya sudah duduk di ruang tamu menghadapi piring sate dan mug kopi masing-masing. Ceret air putih dan gelas juga sudah tersedia di tengah meja.

"Kalau Tessa sakit beneran dan masuk rumah sakit, bisa-bisa Kakak nggak pulang sama sekali, nungguin Tessa opname," seloroh Tessa sambil memilah-milah potongan cabai diantara bumbu satenya. Dia sedang tidak ingin makan cabai.

Edgar meringis. Ya jelas, batinnya. Selama orang tua Tessa belum datang dari Bandung, bisa jadi malah dia bakal meminta Mamanya menjaga Tessa selagi dia ke sekolah.

"Kepedean lo, Tes." Edgar cuma bisa tertawa.

"Abis, Tessa baru demam dikit, Kakak udah bela-belain bolak-balik ke sini. Kayak pengangguran aja. Kakak nggak percaya aku bisa jaga diri sendiri?"

Edgar tidak menyahut. Bukan tidak percaya. Sebenarnya dia hanya tidak sanggup membayangkan Tessa sakit sendirian di rumah. Tidak tega. Cewek-cewek lain seumurnya bahkan mungkin masih minta disuapi Mamanya makan bubur kalau sedang tidak enak badan.

"Ck. Coba bayangin. Tessa nggak mungkin diizinin ke Malang sendiri kalau belum lolos tes dari Ayah Tessa. Jadi please, stop repot-repot ngawatirin anak orang."

Edgar menjitak kepala cewek itu dengan gemas. "Itu satenya udah ditelen, seenggaknya bilang makasih, kek."

"Iya, makasih banyak Kak Edgar yang baik hati. Jangan lupa mulai besok pagi nggak usah jemput."

Edgar mendengus. Yang satu itu memang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mulai besok Tessa cuma mau diantar pulang, atau tidak sama sekali.

"Abis ini lo ngapain, Tes?" tanyanya tiba-tiba.

Tessa berpikir sejenak. "Tidur lagi."

"Nggak ada PR buat besok pagi?"

"Ada, sih."

"Banyak?"

"Lumayan. Kenapa? Mau bantuin?"

"Mapel apa?"

"Matematika."

"Ah, gampang. Abis ini gue bantuin. Biar lo cepet bisa tidur."

"Emang situ nggak ada PR juga?"

"Ya ada, lah. Selow kalau gue, sih. Malah nggak afdol kalau nggak ngerjainnya pagi-pagi di sekolah."

Tessa melotot. "Kenapa gitu, ngerjainnya kudu di sekolah? Kalau nggak keburu gimana?"

"Pasti keburu. Malu lah, Tes, cowok ngerjain PR di rumah."

Tessa mengernyit, meraih gelas dan menuangkan air putih, lalu meneguknya. "Nggak paham lagi sama pola pikir cowok-cowok," gerutunya. Digigitnya setusuk sate. "Kalau nggak ngerjain di rumah karena nggak bisa dan butuh contekan, itu Tessa masih bisa paham. Tapi kalau nggak ngerjain biar nggak dikira sok rajin, itu Tessa bener-bener nggak paham."

"Gue nggak suka kelihatan beda dari yang lain, Tes. Males diceng-cengin."

Tessa tidak mendebat lagi. Takut terdengar sok menggurui dan malah membuat Edgar kesal.

"Gimana? Mau gue bantuin, nggak?" Edgar mengulangi tawarannya.

Tessa menggeleng. "Untuk sekarang, belum perlu. Kalau udah kewalahan banget, pasti Tessa bakal minta tolong."

"Kapan lo pernah minta tolong? Biasanya juga sok tegar. Kalau nggak dipaksa dulu, nggak bakal mau juga dibantuin."

Tessa meringis, menyepakati dalam hati. Dia memang paling anti menggantungkan diri ke orang lain. Takut jadi kebiasaan. Susah nanti kalau orang yang dia jadikan sandaran tiba-tiba pergi. Bisa kelimpungan sendiri.

Edgar mencubit hidungnya. Tessa manyun. Ingin merangkul dan menyandarkan kepalanya dengan manja ke lengan Edgar, seperti cewek-cewek lain, tapi sekali lagi ditahannya.

Karena tinggal sendirian dan jauh dari orang tua, justru dia harus bekerja ekstra untuk menahan diri dan menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Pintu pagar rumah Tessa terbuka dan terdengar langkah masuk. Keduanya serempak menoleh ke halaman melalui kaca jendela yang terbuka gordennya.

"Ada tamu, Nduk?"

Budhe Tessa sudah muncul di ambang pintu, masih memakai atasan mukena dan menenteng sajadah. Baru pulang dari masjid.

Tessa bangkit dari kursinya.

"Pacar Tessa, Budhe. Mampir beliin makan doang."

Edgar buru-buru bangkit dan mencium tangan Budhe. "Edgar, Budhe. Satu sekolah sama Tessa."

"Hmm. Jangan kemaleman pulangnya. Masih pakai seragam, lagi."

"Iya, Budhe." Edgar mengangguk-angguk.

"Tadi emang pulang dari sekolahnya udah kesorean karena ada rapat OSIS, Budhe. Terus abis makan ini langsung pulang." Tessa menjelaskan daripada disalahpahami.

"Jangan keseringan bawa pacar ke rumah malem-malem."

"Siap, Budhe."

Budhe pun pergi.

"Itu Budhe yang rumahnya di sebelah?" tanya Edgar.

Tessa mengangguk, tidak berniat menjelaskan kalau rumah Budhe berjarak dua rumah dari tempat tinggalnya.

"Buruan diabisin makanannya, terus pulang." Tessa mengingatkan.

"Iya." Edgar menghela napas.

Tak lama kemudian, setelah semua sate tandas, dia membantu Tessa membawa bekas makanan mereka ke dapur, mencuci piring dan gelasnya sekalian.

"Di sekolah ada yang bikin lo nggak nyaman karena pacaran sama gue, Tes?" tanyanya tiba-tiba, meletakkan piring bersih ke rak di samping sink.

Tessa yang sedang membongkar tong sampah untuk dibuang ke bak di depan rumah menoleh, berpikir sejenak.

"Ada lah. Pasti ada," sahutnya. "Kakak kan bukan cowok invisible yang kalau mau jalan sama siapa aja di sekolah nggak ada yang peduliin."

"Lo diapain sama mereka?"

"Biasa lah, drama cewek-cewek. Bukan sesuatu yang nggak bisa Tessa tangani sendiri."

"Kalau udah ngeganggu banget, bilang sama gue ya. Jangan tiba-tiba pergi."

Tessa mesem, kemudian mengangguk.

"Ayo, Tessa anter ke depan. Sekalian buang sampah."




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top