Lapis 9 (bag. 3)




"Kamu bisa Waltz?" Aidan mengangkat tangan kirinya yang terjalin lembut dengan jari kanan Ela.

"Waltz?" Ela bertanya ketika mereka kembali berdiri berhadapan di lantai dansa. "Bahkan senam di sekolah saja aku sering salah langkah." Jawaban Ela membuat pria di hadapannya harus menahan tawa.

"Separah itu?" Ela mengangguk sebagai jawaban. "Ini mudah, percayalah padaku. Aku menguasainya sebelum lima tahun.

"Tangan kiri di pundakku," Aidan memberi aba-aba, Ela mengikuti. Saat telapak kiri Ela telah bertumpu pada pundak pagan itu, baru dia sadari, dia masuk arena permainan yang berbeda dengan semua permainan yang telah dia lakukan dengan para pria selama ini. Tangan kanan Aidan bergerak di sisi tubuhnya yang separuh tertutup kain, separuh terbuka. Hangat menguar dari telapak tangan yang sama sekali tak menyentuh kulit, seperti bara kecil yang tersimpan dalam sekam. Melenakan, karena nyaris tidak terlihat, tetapi persisten dan berbahaya.

Mereka saling bertumpu sepanjang lengan. Untuk pertama kalinya Ela bersyukur bahwa mereka berdua memakai baju berlengan panjang, karena jika kulit mereka saling bertemu....

Ela membersihkan tenggorokan, berusaha melepaskan simpul yang diciptakan oleh sentuhan. Melihat ke sekeliling, mengalihkan perhatiannya dari telapak tangan kanan Aidan yang nyaris menangkup belikat kirinya. Sampai dia menyadari, bahwa para lelaki di lantai dansa meletakkan telapak tangan mereka secara langsung ke punggung pasangannya.

"Bertanya," Ela bertanya lugu, dia tidak pernah menjadi lugu jika sedang bermain dengan pria, "telapak kananmu, apakah memang harus melayang seperti itu?" Saat mata cokelat yang memesona di bawah cahaya itu menggelap, Ela sadar, dia salah bertanya. Dia salah menjadi lugu.

"Kamu bertanya?" Suara Aidan rendah, menggoda kuduknya untuk berdiri. Ela tidak mampu menjawab, karena bernapas saja dia kepayahan. Nala Kecil tersenyum dengan senyum tak sempurna. "Karena, jika aku melakukan ini...," sentuhan kecil menggoda belikat Ela yang telanjang, membuatnya merasa sama sekali tidak berpakaian," ... akan berlanjut ke hal lain yang membuat kita terpaksa meninggalkan pesta lebih cepat."

Ela tengadah, karena tenggorokannya makin tercekat, ujung-ujung jari Aidan menyentak seluruh sel di tubuhnya, bahkan hingga kulit kepala. "Hm." Wanita yang selalu memegang kendali permainan itu tidak tahu harus berkata apa untuk sesaat. Ketika seluruh lantai dansa memudar, dan hanya meninggalkan pria di hadapannya. "Kita bisa meninggalkan pesta lebih cepat." Wanita ini tidak pernah memakan umpan pada kesempatan pertama, dia yang selalu memberi umpan.

"Menggoda." Aidan membersihkan tenggorokannya, di sini bukan hanya Ela yang sedang kepayahan mengendalikan diri dan tetap bersikap pantas di hadapan umum. "Tapi aku datang kemari untuk sebuah misi, untuk anak-anak di Papua." Mata Aidan tampak serius, mengembalikan kewarasan Ela, membuatnya tersenyum lega.

Pria yang bisa menyisihkan segalanya untuk memperturut keinginan paling primitif selalu menyenangkan. Namun, pria yang bisa mengendalikan diri untuk tujuan lebih besar?

"Memikat," puji Ela tulus, meskipun dia tidak keberatan jika kata itu diartikan sebagai rayuan. "Jadi mengajariku dansa?" Mereka berdua butuh pengalih perhatian.

Setelah tiga kali menginjak sepatu Aidan dengan ujung runcing hak, Ela mulai bisa mengikuti irama. Hanya gerakan sederhana, bergerak dalam langkah kotak. Sementara Aidan berusaha menahan tawa melihat wajah Ela yang mengerut ketika berkonsentrasi.

"Bagaimana kamu bisa berdansa?" Langkah kaki Ela mulai lentur, mulai bergerak dengan refleks, tidak lagi berpikir tentang langkah selanjutnya.

"Ibuku suka berdansa, sangat. Kami sering menjadi partner dansanya kalau dia tiba-tiba ingin menari berkeliling ruangan," Aidan menjawab dengan rindu yang terselip di antara kata.

"Kami? Maksudmu, kamu dan Adam?"

Aidan menjawab pertanyaan Ela dengan guman kecil sambil mengarahkan matanya ke samping. Ela mengikuti arah pandang si dokter dan mendapati Direktur Aswin Group--Adam, lelaki tiga puluh enam tahun itu sedang berdansa bersama istrinya--Loretta. Gerakan mereka seirama, bahkan Loretta kini berputar lalu menjatuhkan punggung di dalam lengan kiri suaminya, dengan satu kaki terangkat ke udara.

"Kamu bisa mengajariku gerakan tadi?" pinta Ela seperti anak kecil yang melihat temannya memakan permen. Bersemangat.

Aidan tertawa, "Nanti, ketika kamu tidak memakai sepatu runcing dan tidak ada orang lain. Kakiku sakit waktu kamu injak, dan aku tidak ingin membahayakan orang lain ketika kamu menendang di udara."

"Kamu mengejekku!" Tanpa sadar bibir Ela mengerucut membuat tawa Aidan makin lebar. Ela melirik Adam dan istrinya untuk terakhir kalinya. Teringat percakapan mereka berbulan-bulan lalu ketika lelaki yang sangat suka bercerita itu membahas adiknya, Nala Kecil, Aidan.

Hal yang membuat Ela sangat penasaran.

"Boleh bertanya sesuatu?"

"Kamu sudah bertanya," goda Aidan, membuat bibir Ela makin runcing.

"Aku penasaran...."

"Kamu boleh bertanya apa pun, tapi atas pertanyaan itu, aku juga ingin mendapatkan jawabanmu. Aku juga ingin bertanya, dan aku akan mengatakan jawabanku. Bagaimana?" potong Aidan, sepertinya lelaki itu memang menanti kesempatan untuk menginterogerasi Ela.

"Deal!" jawab Ela cepat, sebelum kehilangan keberanian. Setelah Aidan mengangguk, Ela melanjutkan, "Jika kamu bisa mengubah apapun tentang bagaimana kamu dibesarkan, apa itu?"

Ela berharap jawabannya adalah kedua orangtua Aidan tidak pernah bercerai. Dari cerita Adam, Ela tahu, bahkan setelah perceraian kedua orangtua mereka, Aidan--yang hak asuhnya berada di ibu--tetap berhubungan baik dengan ayahnya. Kecuali terkait urusan komersialisasi Aswin Hospital dan keputusan Aidan untuk mengabdi ke masyarakat.

Sang dokter termenung beberapa saat, matanya menyapu lantai dansa. Dari kakaknya ke tuan rumah. "Apa saja yang sudah Adam ceritakan?" Ela mengangkat bahu, tidak ingin menjawab. "Sejujurnya, tidak ada. Mereka membesarkan kami dengan benar."

"Benarkah? Bahkan perceraian orangtuamu, tidak menjadi masalah?" Ela ingin membungkam mulutnya sendiri karena berani menanyakan itu pada seseorang yang baru dua kali ditemuinya. Namun, bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang keluarga yang terpecah selalu membuatnya penasaran. Terutama ketika orang itu tumbuh menjadi pribadi matang, seperti Aidan.

Ela penasaran bagaimana pria di depannya menghadapi perceraian orang tuanya. Karena dia ingin membantu seseorang yang sepertinya belum selesai dengan perpisahan orangtua. Damien.

"Perpisahan Ayah dan Ibuku adalah keputusan terbaik untuk kami," ucap Aidan berat, ada beban yang mencekik tenggorokannya. "Tidak ada lagi pertengkaran yang perlu aku dengar tiap malam. Ayahku lepas dari kekhawatiran. Dan ibuku bisa meraih impiannya."

"Wow," Ela tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Meskipun mereka berpisah, ibuku selalu bilang dia bukan single parent. Karena ayahku masih menjadi ayahku, selalu ada untukku," senyum Aidan hangat, menghangatkan pelupuk Ela.

Dia ingin melepaskan tangan mereka dan larut dalam pelukan Aidan. Namun, dansa mereka terlalu menyenangkan untuk diakhiri. Sehingga Ela memilih mengistirahatkan kepalanya di dada Aidan. Untuk sesaat tubuh tegap itu kaku, langkah mereka terhenti. Seiring helaan napas mereka kembali menari.

"Kamu sendiri, apa yang ingin kamu ubah?" tanya Aidan hati-hati.

"Banyak," jawab Ela pendek sebelum melanjutkan, "tapi yang utama, aku ingin bisa membuat pilihanku sendiri. Bukan hidup dalam bayang-bayang utang budi."


#teamdamien strong ya..😬
#teamaidan jangan seneng dulu ya🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top