Lapis 9 (Bag. 2)

"Aku tidak menyangka," suara lembut dari belakang Aidan membuatnya tersenyum. Belum pernah ada sebuah suara yang bisa membuatnya bersemangat seperti saat ini. Pengusaha yang tadi menghentikan langkahnya ketika baru turun dari panggung telah pergi. Aidan berbalik. "Jika perpaduan kacamata dan tuksedo bisa begitu...," sosok dengan gaun hitam yang melekat sesuai lekuk tubuh itu sedang mencari kata yang tepat. Langkah kaki beralas sepatu tinggi itu anggun, dan pingulnya berayun seirama tungkai.

"Memikat," bisikan wanita dengan leher jenjang itu nyaris tidak terdengar ketika ujung-ujung sepatu mereka hanya berjarak sejengkal. Siapa di sini yang sedang terpikat?

Sepertinya Aidan harus mengganti sebutan Malaikat untuk wanita di depannya. Karena melihat dia sekarang, tidak mungkin ada malaikat yang membuatnya ingin melakukan dosa dan pelanggaran.

"Kamu juga memesona." Aidan berusaha memfokuskan matanya pada wajah Ela, bukan pada tubuh wanita yang membuat setiap kepala menoleh padanya.

"Kuanggap itu pujian," senyum Ela masih sama seperti terakhir mereka bertemu. Tulus yang lugu, tapi juga menggoda. Aidan tidak pernah menyangka lugu dan menggoda bisa dilakukan pada saat yang sama.

Bagiamana Ela bisa melakukannya? Atau mungkin pikiran Aidan yang mulai tidak pada tempatnya, menganggap sebuah ketulusan sebagai sebuah undangan.

"Good to know, bahwa kenyataan yang kukatakan dianggap sebagai pujian." Oh, sejak kapan Aidan bisa merayu? Namun, dokter itu tidak peduli karena denting tawa meluncur dari bibir penuh yang mengilat itu membuatnya rela menjadi pria paling gombal sedunia.

Ela membersihkan tenggorokannya sebelum tengadah menatap Aidan, senyum masih tersimpan di pipinya. Wanita itu membawa helaian rambut yang terlepas dari gelungan dan menutupi sebagian wajahnya ke belakang telinga. Ujung-ujung jari Aidan ingat bagaimana lembut rambut itu ketika dirinya mencuri kesempatan dalam kegelapan bioskop. Jika dia melakukannya sekarang, apakah dirinya akan dianggap lancang oleh orang lain yang berlalu lalang?

"Jadi, kamu adalah Nala Kecil yang menghilang itu?"

"Nala Kecil?" Biasanya jika sebutan itu terucap, Aidan akan defensif. Itu adalah sebutan kakaknya, Adam, untuk dirinya. Namun, senyum yang menyertai pertanyaan itu menghilangkan semua kekesalan.

"Adam sempat bercerita sekilas tentang adiknya." Kali ini mata Aidan menyipit, meminta penjelasan lebih, dan sepertinya Ela memahami. "Kebetulan aku adalah account executive yang bertanggungjawab untuk rebranding Aswin Hospital, jadi kami sering bertemu." Itu menjelaskan mengapa tadi Ela berdiri di lingkaran yang sama dengan Adam.

"Kamu yang bertanggungjawab untuk rebranding rumah sakit?" Si dokter berdecak.

"Iya. Kamu tidak menyukainya?" tanya Ela, Aidan menggangguk, "Karena terlalu komersil dan hanya menarik minat para kalangan atas?" Kali ini Ela mendekat dan berbisik, menyapukan rambut ke pipi Aidan. Untuk sejenak Aidan kehilangan pikiran.

"Iya." Lelaki itu tidak bergerak menjauh. Tidak ingin menjauh.

"Kalau begitu aku berhasil," kekeh Ela mengerutkan dahi Aidan. "Adam bilang, kalau rebranding ini berhasil, Nala Kecil pasti tidak akan menyukainya."

Aidan berdecak untuk kedua kalinya, menatap perempuan percaya diri di depannya yang tidak goyah hanya karena seseorang tidak menyukai hasil pekerjaannya. Wanita itu tahu, dia tidak akan membuat semua orang senang. Dan itu tidak menjadi masalah untuk Ela.

"Lalu, apalagi yang Adam ceritakan tentang si Nala Kecil?" tanya Aidan. Sebenarnya dia tidak peduli apa yang kakaknya pikirkan. Namun, dia ingin wanita di depannya bercerita, Aidan menyukai suaranya. Sekaligus ingin tahu, seberapa banyak Ela mengenal dirinya.

"Tidak banyak...." ucapan Ela terputus oleh suara pembawa acara yang mempersilakan Andra memulai lantai dansa dengan ibunya.

Hangat menyeruak di dada Aidan. Dia iri pada lelaki itu. Di Indonesia, dansa antara ibu dan anak adalah hal yang sangat jarang terjadi. Dansa lebih umum dilakukan oleh pasangan. Sehingga melihat mereka berdua bergerak seirama lagu lembut dan berbincang sambil menatap dengan tatapan tulus, memantik lagi rindu pada mendiang ibunya. Mereka berdua sering berdansa, dulu.

"Mau berdansa?" tanya Aidan tiba-tiba yang membuat terkejut lawan bicara. Dia butuh pengalih perhatian sebelum pikirannya berkelana tentang kematian ibunya. Dan wanita di hadapannya sangat memudahkan pikirannya hadir di sini dan kini. Be present, perintah otaknya.

Mata hitam berbulu mata lentik--yang malam ini makin lentik--itu mengerjap beberapa kali. "Aku tidak terlalu ahli." Ela tersipu.

"Aku bisa mengajarimu." Tangan Aidan terangkat, menanti Ela menyambutnya.

"Kuharap, kamu guru yang sabar." Saat tangan mereka bersentuhan untuk pertama kalinya malam ini, Aidan kembali diingatkan, atas hangat yang menjalar keseluruh tubuh dan membangkitkan tiap selnya.

Lalu, ketika Ela menggeser tubuhnya hingga sejajar, Aidan mengerti, mengapa mata para pria terpaku pada Ela. Gaun yang sempurna menutupi bagian depan tubuh wanita itu berhenti di sisi tubuh, meninggalkan punggung rampingnya polos tanpa penutup.

Aidan menelan ludah dan berharap otaknya tetap waras dalam beberapa menit dansa mereka. Namun, pertama-tama, dia harus menentukan dulu, di mana dia harus meletakkan tangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top