Lapis 8 (bag. 1)

siapa yang udah kangen Damien? aku sih kangen banget...
part ini dia muncul dikit, tapi upload berikutnya...?
siap-siap ya..

---

Hari kerja berlalu cepat dengan jatuh tempo pekerjaan yang rapat. Ela menyerahkan nyaris seluruh tanggung jawab penyusunan campaign Puspita kepada Aga. Setelah junior account executive itu menyerahkan rancangannya, Ela mengoreksi, menunjukkan apa kekurangan, memberikan solusi, juga risiko atas rancangan yang disiapkan.

Ela tahu, Aga terlihat frustrasi dengan semua koreksi yang diberikan. Untungnya, Aga cukup tidak mudah menyerah. Ela berharap karyawan semacam Aga betah bekerja di perusahaan ini. Ela sedang mempersiapkan pengganti, meskipun tidak yakin, kapan dia akan pergi.

"Elanol!" pekikan cedal membuat si senior account excecutive itu menghentikan langkahnya di koridor. Beberapa langkah lagi dia akan mencapai ruang kerja Damien ketika Juna meneriakkan namanya dari pintu lift yang baru terbuka. Bocah tiga tahun itu berlari dengan kaki-kaki kecilnya diikuti Indah yang berjalan dengan anggun dan sesekali membalas senyum pada pegawai yang memunculkan kepala dari balik kubikel. Ibu dan anak itu sering mengunjungi Lit Advertising sehingga para karyawan sudah terbiasa dengan mereka.

"Elanol!" pekikan terakhir sebelum Juna memeluk kaki jenjang Ela yang memakai sepatu berhak sepuluh sentimeter. Wanita itu kehilangan keseimbangan dan nyaris membuat mereka berdua terjatuh di lantai jika tak ada sebuah lengan kokoh yang menangkap tubuhnya.

Jantung Ela berdenyut lebih cepat, bukan karena hampir jatuh, tapi karena lengan yang memeluk pinggangnya dari belakang. Tanpa perlu menoleh dia tahu siapa yang di belakangnya. Ela selalu tahu bagaimana aroma dan hangat tubuh pria itu.

"Juna," Damien memperingatkan dengan lembut, telapak tangannya menyusuri pinggang dan samping rok sebelum terlepas. Ela yakin, dari ekspresi pria itu, orang-orang tidak akan berpikir bahwa dia melakukan dengan sengaja. "Abang bilang apa soal memeluk Eleanor?" Lelaki itu berjongkok di samping Ela yang sudah berdiri tegak. Sementara bocah yang ditanya sedang memeluk kedua lutut wanita itu yang tidak tertutup oleh ujung rok pensilnya.

"Juna mau Elanol!" Dekapan lelaki kecil itu makin erat membuat Ela tersenyum sambil memandangnya.

"Sepertinya Abang Damien memiliki saingan sekarang," goda Indah membuat Ela dan Damien kehilangan senyum mereka. Ela berharap tidak ada karyawan yang mendengar. Dia punya reputasi 'pembangkang atasan' yang harus dijaga. "Juna bisa mengalahkan Abang?"

"Elanol suka Juna," ujar Juna sembari menatap Ela dalam, meminta pembenaran. "Bukan Abang!" Mau tak mau Ela tertawa. Sayangnya, dia tidak bisa melihat ekspresi Damien.

"Iya, Juna lebih ganteng dari Abang Damien." Ela mencubit gemas pipi tembam Juna, membuat bocah itu tersenyum lebar.

"Juna mau main dengan Abang Damien sebentar? Mama bicara dengan Ela dulu, boleh?" tanya Indah lembut.

"Bicara orang dewasa?" tanya si bocah dengan logat cedalnya.

"Iya, pembicaraan wanita dewasa yang membosankan," timpal Damien yang mengulurkan tangan tapi dihindari oleh adiknya yang mulai terlihat ragu melepaskan pelukan ke Ela. "Kita nonton video?"

"Robot?" Mata Juna berbinar. Begitu Damien mengangguk, bocah kecil itu langsung menghambur ke arah kakaknya.

***

"Maaf membatalkan acara kita tiba-tiba," ucap Indah ketika memasuki ruang kerja Ela. Juna sudah asyik menonton di ruangan Damien.

"Saya tidak mungkin bisa bersaing dengan Pak Haryanto, kan?" Ela mempersilakan Indah duduk dengan gerakan tangannya. "Sebenarnya saya kaget, Pak Haryanto bisa seromantis ini."

Sekitar empat hari lalu Indah dan Ela sudah membuat janji untuk pergi makan siang bersama. Namun, tadi pagi Bu Haryanto V ini memberi tahu bahwa suaminya mengajak kencan berdua dalam rangka peringatan lima tahun pertemuan mereka.

Hal yang baru diketahui oleh Ela, bahwa ayah Damien bisa bersikap begitu mengistimewakan istrinya. Ela tidak tahu, apakah memang Haryanto selalu demikian, atau hanya kepada Indah saja. Di antara wanita yang pernah menikah dengan pria itu, Ela hanya dekat dengan Annette--ibu Damien, dan Indah. Istri-istri yang lain tidak terlalu menyukai Ela.

"Aku juga kaget, sekaligus senang." Indah tersenyum lembut, wajahnya bersinar, matanya berbinar. Wanita ini bahagia. "Beliau tidak menerima begitu saja kehadiranku dan Juna, tapi juga berusaha untuk menjadi lebih baik."

"Mungkin karena Pak Haryanto sudah sering gagal, jadi beliau berusaha lebih keras kali ini." Ela membalas senyum Indah. Dia berbahagia, sebuah bahagia yang tulus, untuk keluarga kecil itu.

"Aku berharap," Indah menggenggam tangan Ela yang duduk di depannya, "Damien tidak perlu mengikuti jejak kegagalan ayahnya." Ucapan Indah mengagetkan Ela. "Semoga kamu juga memiliki kesabaran untuk menunggunya."

Ela membersihkan tenggorokannya, merasa tidak nyaman. Sejelas itukah perasaannya pada Damien?

"Kalau saya tidak memiliki kesabaran itu?" Untuk sesaat Ela takut, jika dia tidak memiliki kesabaran itu, dia akan kehilangan seluruh keluarga Sastranegara.

"Kamu berhak bahagia." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top