Lapis 7


Hai... sebelum baca terusannya, yuk bahas mobil bentar..

Ini mobil Damien pas SMA


Ini mobil Ela 'present day'


Ini mobil Damien 'present day'


Dan... mobil Aidan adalah

Jreng

Jreng

Jreng


Cute, right? 😉

——

Lapis 7

Aidan memandang layar besar yang ada di depan. Alisnya sudah berkerut sejak film adaptasi dari novel Agatha Christie itu diputar. Di sampingnya, Ela sedang serius menyaksikan bagaimana Hercule Poirot menyelesaikan kasus di depan Tembok Ratapan. Melihat wanita itu dari samping, dengan latar gelap, satu-satunya sumber cahaya adalah layar; jantung Aidan menari di dada. Lekuk wajah Ela terlihat jelas, hidung tingginya, bibir berisi, dagu yang terlihat angkuh, rahang yang lembut, serta leher. Sang dokter buru-buru mengembalikan pandangannya ke layar.

Sayangnya, ketika Aidan mulai larut dalam cerita detektif itu, sebuah sentuhan mendarat di lengan. Seluruh kuduk pria itu nyaris berdiri ketika dia menoleh dan mendapati wajah yang menjungkirbalikkan siangnya hanya berjarak dua inci.

"Ceritanya sedikit beda dari novelnya, ya?" tanya Malaikatnya lugu. Ela hanya menatap sekilas sebelum kembali melihat layar tanpa memundurkan badan, menyapukan rambut bergelombang yang menyimpan aroma mawar di hidung Aidan.

"Iya." Aidan berusaha berkata datar dan menahan diri agar tidak menghirup wangi sampo yang sudah tercampur feromon dalam-dalam. "Kamu membaca novelnya juga?" Lelaki itu berbisik, mencari alasan agar Ela tidak menjauh.

"Hm," rambut Ela berayun seiring anggukannya. Aidan memanfaatkan kesempatan itu untuk menyentuh rambutnya. Bagi sebagian orang, mungkin Aidan terlihat sedang menyingkirkan rambut agar tidak mengganggu hidungnya. Namun, sebenarnya dia sedang mengambil kesempatan untuk menikmati tekstur rambut wanita itu.

Selain jabat tangan mereka tadi, ini adalah kali kedua Aidan kembali menyentuh Ela. Hanya dengan beberapa helai rambut di antara jari, dia dibuat nyaris gila.

"I'm mesmerized." Aidan ingat apa yang dikatakan Ela ketika mengagumi mobil tuanya. Sekarang dia sendiri yang merasakannya. Rambut di tanganya memantulkan cahaya dari layar. Aidan bisa melihatnya berlama-lama hanya untuk mengetahui bagaimana arah cahaya akan berubah jika dia menggerakkan jari-jarinya.

Matanya mengikuti pandangan Ela ke layar, kembali merengut ketika hasil adaptasi di layar perak berbeda dengan bukunya. Aidan mencondongkan tubuh ke arah Ela. Dia suka mendengar suara wanita itu, oleh karena itu dia harus berbicara dan bertanya jika ingin Malaikatnya kembali bicara.

"Seharusnya...," apa pun yang hendak dikatakan Aidan tentang film menghilang begitu saja. Sesuatu yang halus dan lembut menyentuh bibir, aliran udara hangat menggelitiknya. Mereka berdua serentak memundurkan tubuh saat menyadari pada yang terjadi. Seluruh tubuh Aidan menegang.

"Maaf," suara Aidan hilang, tenggorokannya tercekat. Ujung bibirnya bagaikan tersengat ketika menyadari bahwa bibir mereka sempat bersentuhan selama dua detik tadi. Dan kini, panasnya menyusuri tiap pembuluh darahnya. Ela belum mengatakan apa pun. Dia menyapu bibir penuhnya dengan ujung jari, yang ingin Aidan gantikankan perannya dengan bibirnya sendiri.

"Aku tidak sengaja, aku tidak bermaksud...," gagap Aidan mengundang desis dari penghuni lain bioskop. Dia kembali duduk dan menghadap depan, membisikkan maaf untuk terakhir kalinya, tidak ingin mengambil risiko untuk mencondongkan tubuh ke arah lawan bicara. Berusaha fokus selama satu jam sisa film dengan memaku matanya ke layar, meskipun sebenarnya yang ingin Aidan lakukan adalah menarik Ela keluar dari bioskop dan meneruskan apa yang tidak sengaja mereka mulai.

***

"Tidak perlu repot mengantarku." Ela memberikan usaha terakhirnya untuk menolak tawaran Aidan mengantarkannya pulang. Dari tadi keluar dari bioskop dan Ela menyatakan ingin pulang, si dokter itu langsung menawarkan diri. Ela menolak, tapi Aidan keras kepala.

"Aku tidak repot," ucap pria itu tegas saat menahan pintu penumpang agar tetap terbuka sampai Ela duduk nyaman.

"Aku bisa pulang sendiri. Aku wanita mandiri." Ela mengatakannya dengan nada tegas saat Aidan telah duduk di belakang kemudi. Tidak ingin dianggap merepotkan.

"Aku mengantarmu bukan karena aku menganggapmu tidak mandiri." Aidan menatap Ela dengan sabar, mata kecokelatannya lembut. Caranya memandang Ela, membuat wanita itu ingin melepaskan semua kemandirian dan menyandarkan kepala. Aidan tersenyum meyakinkan. "You are worth my effort."

"Aku tak mempertanyakan kemandirianmu. Yang aku tanyakan, apakah teman kencanmu memiliki effort untuk mengistimewakanmu. Lelakimu harus berusaha untuk mendapatkanmu."

Ucapan Damien beberapa jam lalu membisik di telinga Ela, membuatnya diam, tak ingin membantah Aidan lagi.

"I am honoured." Karena dari banyak lelaki yang ia temui, untuk pertama kalinya, Ela ingin diperjuangkan.

"My pleasure." Senyum di bibir Aidan semakin dalam, dan melihat bibir itu, Ela teringat momen singkat di dalam bioskop tadi. Dia masih merasakan kerlip kecil yang muncul saat mereka bersentuhan sampai sekarang.

"Ehm," guman Aidan ragu, "aku ingin minta maaf." Lelaki itu meraih kemudi, seperti membutuhkan pegangan untuk mengatakan apa yang diinginkan. "Aku tidak berniat menciummu tadi. Aku tidak mencium wanita dalam kondisi seperti tadi."

Ela menatap lelaki aneh di depannya. Entah mengapa, dia merasa tersinggung dengan kejujuran Aidan. Teman kencannya terdahulu sering mencuri kesempatan dalam kegelapan bioskop. "Benarkah? Lalu apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan?" tantang Ela.

"Aku hanya ingin mengomentari film," jawab Aidan jujur, "tidak sadar kalau jarak kita terlalu dekat."

"Benarkah?" Ela pura-pura curiga, mempermainkan Aidan yang langsung terlihat frustrasi. "Lalu, jika di dalam bioskop tadi bukanlah kondisi yang akan membuatmu mencium seorang wanita, kondisi seperti apa yang akan membuatmu melakukannya?"

Aidan tidak langsung menjawab, ujung-ujung jari kokohnya mengetuk roda kemudi. "Aku baru akan mencium seseorang, jika wanita itu istimewa." Mata cokelat Aidan mengunci tatapan Ela. "Dan dia juga mengistimewakanku."

Udara terasa berat di sekitar Ela. "Jadi, aku tidak istimewa?" godanya untuk meringankan suasana.

"Apa kamu menganggapku istimewa?" tantangan Aidan seperti berbalut harapan.

"Aku ingin mengistimewakanmu," jawab Ela jujur, berusaha menyunggingkan senyum agar kejujurannya tidak terlalu menyakitkan.

"Baru ingin, belum terjadi." Aidan menyalakan mesin, mengisi kesunyian kaku di antara dua orang yang baru saling mengenal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top