lapis 6 (bag. 3)
"Eleanor," Damien menggeram waspada, "rem pelan-pelan." Gadis di sebelahnya terlihat tegang, jari-jari kecil menggenggam roda setir dengan kuat. Kecepatan Jeep putih yang melaju di antara kebun tak juga berkurang. "Jangan lagi injak gas" Instruksi mudah itu tak masuk ke kepala Eleanor yang sedang tegang dan menginjak pedal gas makin dalam.
"Eleanor!" Beberapa puluh meter lagi mereka harus berbelok jika tak ingin menabrak pohon besar. "Rem!" Kali ini Damien mulai tak sabar, tubuhnya tersentak karena kecepatan bertambah dengan cepat. Eleanor panik, salah menekan pedal.
"Eleanor!" Jantung Damien bergemuruh, tikungan semakin dekat. Tangannya langsung meraih setir. "Lepas tanganmu, angkat kaki!" perintah Damien yang makin kesal. Kecepatan menurun karena pedal gas tidak lagi diinjak. Instruktur dadakan itu memutar setir tepat sebelum mobil keluar jalur dan menarik tuas rem tangan.
"Sudah! Tidak ada latihan lagi!" bentak Damien kesal yang langsung disesali begitu melihat wajah pucat Eleanor. Kedua tangan gadis itu tertangkup di depan dada, napasnya terengah.
"Sial!" maki Damien pada dirinya sendiri sembari membuka sabuk pengaman dan memutar tubuhnya hingga langsung menghadap Eleanor. Mengambil napas sebentar sebelum meminta maaf. Tangannya terulur, membelai kepala si gadis. "Aku tidak bermaksud membentak," bujuknya. Eleanor adalah seseorang yang sensitif, perasaannya terlalu halus.
"Eleanor," ucapnya selembut mungkin, tangannya yang bebas mengangkat dagu temannya yang masih gemetaran. "Semuanya baik-baik saja." Mata hitam itu mulai fokus padanya. Damien bernapas lega.
"Galak!" Gadis itu cemberut dan makin cemberut ketika Damien menyeringai lebar sambil terus membelai kepala Eleanor.
"Maaf," rayu Damien yang menghasilkan kerutan bibir penuh Eleanor makin dalam. "Aku belikan Baskin Robin, bagaimana?" Bocah lelaki itu menampilkan senyum terbaiknya.
"Memangnya aku anak kecil? Disuap pakai eskrim!" ujar Eleanor kesal.
"Oh, kamu tidak mau?"
"Satu pint!" Eleanor menawar, meminta es krim ukuran setengah liter untuk tanda perdamaian mereka. Namun, fokus Damien bukan pada permintaan yang diucapkan temannya, melainkan bibir gadis itu yang berada di dekat ibu jari Damien yang sedang ia gunakan untuk mengangkat wajah Eleanor. Saat ujung jarinya menyentuh kulit lembut itu, Eleanor langsung diam. Pupilnya melebar memandang balik mata Damien yang telah menjelaskan semuanya.
Damien mengangkat dagu Eleanor makin tinggi sembari menurunkan kepala. Saat kedua bibir itu nyaris bersentuhan, si gadis memundurkan kepala dan menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Singkirkan tanganmu, Eleanor!" perintah Damien frustrasi. Ujung bibirnya menggoda punggung tangan gadisnya. Iya, gadisnya. Sejak dia mencuri ciuman pertama Eleanor, Damien menetapkan bahwa teman yang telah dia kenal seumur hidup itu sebagai gadisnya. Klaim sepihak. Namun, memang sejak lama Damien tidak menyukai jika ada anak laki-laki lain yang mendekati Eleanor. "Eleanor," geramnya dan dijawab dengan gelengan dari si gadis.
"No more kiss," suara gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu itu teredam oleh telapak tangan.
"Mengapa?" ujung lidah Damien menggelitik punggung tangan, mengakibatkan pemiliknya terkikik.
"Tadi aku melihatmu mencium Irene di parkiran." Damien menghentikan gerakannya, tapi masih belum mengangkat wajah. "Kamu boleh menciumku, kalau kamu bisa berjanji." Kali ini Damien mulai membalas tatapan Eleanor. Mata gadis ini lembut, bibir di balik tangannya tersenyum, ada sedikit permohonan di nada suaranya, "Kamu tidak akan mendekati gadis lain."
Sebuah pinta sederhana, Damien hanya perlu berkata 'iya' dan dia akan mendapatkan bibir yang sudah menghantuinya selama tiga bulan sejak ciuman pertama mereka. Tapi dia bukan laki-laki yang mudah berjanji, jika dia tidak berniat untuk menepatinya.
"Bagaimana kalau dua pint es krim?" tawar si bocah lelaki.
"Aku hanya minta itu, bukan yang lain." Eleanor mundur, mengambil kedua tangan Damien dari kepalanya, lalu menggenggamnya.
"Di antara semua gadis, kamu yang paling tahu aku tidak akan membuat janji yang tidak bisa aku penuhi." Damien kembali menyandarkan punggungnya ke kursi penumpang, memandang tangan mereka yang terjalin di atas rem tangan.
"Karena itu aku memintanya," ujar Eleanor putus asa.
Damien diam sesaat. Dia tidak pernah siap jika hanya berhubungan dengan Eleanor. Dia menyukai hal-hal lain yang dimiliki oleh beberapa teman perempuannya.
"Kita beli es krim." Damien melepaskan tangan Eleanor lalu membuka pintu di samping kirinya. Saat kakinya menjejak tanah, dia bisa mendengar dengkus kecewa dari gadisnya.
***
"Silahkan Ibu Ratu," goda Damien sambil membukakan pintu penumpang Jeep putihnya. Eleanor menutup mulutnya menahan tawa.
Setelah memutari mall, membelikan Elenaor beberapa aksesoris rambut, dan di akhiri dengan mampir booth Baskin Robin. Hubungan mereka kembali normal. Normal dalam artian mereka akan saling melemparkan canda lalu tertawa bersama.
Kaki Eleanor baru di pijakan yang ada di bawah pintu ketika Damien mengangkat tubuhnya hingga mereka berdua menginjak lantai garasi.
"Kamu tambah gendut!" ledek si bocah lelaki yang belum melepaskan tangannya dari pinggang si gadis.
"Enak saja!" Eleanor memukul ringan tangan Damien, berharap agar dilepaskan. Sebaliknya, Damien semakin merapatkan tangannya, membawa tubuh Eleanor makin dekat. Dia masih belum rela atas penolakan gadis itu tiga jam lalu. Dia ingin kembali mencuri ciuman Eleanor.
Namun, lagi-lagi, sebelum Damien berhasil tangan Eleanor telah bergerak cepat. Kali ini mulut Damien yang ditutup.
"NO!" ujar Eleanor tegas dan segera melepaskan diri. Damien membiarkan gadis itu pergi. Dia tidak akan memaksa jika Eleanor memang tidak mengingkannya. Bocah lelaki itu mondar mandir di garasi untuk menenangkan diri. Sementara Eleanor sudah berlari kecil masuk ke rumahnya lewat pintu samping. Pintu pelayan yang sering mereka lalui jika mereka tiba di garasi.
"Damien," sebuah panggilan terdengar dari belakang mobil, tak lama kemudian ayahnya muncul. Ada panik yang terbentik dalam diri Damien ketika Haryanto mendekat dengan wajah serius. "Apa yang kalian lakukan?"
"Bukan apa-apa. Hanya jalan-jalan ke mall," Damien berusaha menjawab dengan wajar, tapi ayahnya hanya memandang lama padanya.
"Dengar, aku tidak peduli apa yang kamu lakukan dengan teman perempuanmu, selama kamu tidak menghamili mereka." Dahi Damien berkerut mendengar penuturan ayahnya, tapi dia memilih tetap diam. "Aku juga pernah muda." Mendengar ini sang anak muak.
"Tapi Eleanor...," Haryanto memandang pintu yang baru dilewati gadis itu, "dia bukan cuma teman perempuanmu. Purnomo dan dia bagian dari keluarga kita. Kalau kamu menyentuh, mempermainkan, dan sampai menyakiti dia, kamu menyakiti semua orang. Dan percayalah padaku, di antara semua gadis yang kamu tahu, kamu tidak akan pernah ingin menyakitinya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top