Lapis 6 (bag. 1)
______
"Obat yang saya beri kemarin masih ada?" Aidan melepas stetoskop dari telinga lalu mengalungkannya ke leher.
"Sisa beberapa butir, besok mungkin sudah habis. Jadi resepkan lagi saja!" perintah lelaki tua yang duduk di kursi malas itu sambil menunjuk nakas tempat menyimpan obat dengan dagunya.
"Mualnya makin sering?" Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu memeriksa mata pasien di depannya, lalu pandangannya berpindah ke kaki si lelaki tua. "Maaf," ucapnya sembari mengangkat ujung celana pasien untuk memeriksa pergelangan kaki dan dapat dilihatnya sedikit bengkak.
"Lumayan, tapi hilang setelah minum obat yang kamu resepkan."
"Nafsu makan Pak Pur akhir-akhir ini bagaimana? Masih lahap atau turun?" si Dokter mengambil alat tulisnya.
"Biasa."
"Merasa gatal-gatal?" tanya Aidan lagi yang mendapatkan rengutan Purnomo sebagai jawaban.
"Menurutmu aku sakit apa?" Pertanyaan tajam lelaki tua itu membuat Aidan menghela napas.
Setelah meletakkan alat tulis dan menegakkan tubuh, lelaki muda berkacamata itu berkata, "Saya curiga Bapak ada masalah dengan hati. Mata dan kulit Bapak mulai kuning, pergelangan kaki juga bengkak. Menurut saya, Bapak seharusnya bertemu spesialis, agar pemeriksaan juga lebih menyeluruh dan diagnosanya tepat. Saya siapkan rujukannya?" Aidan berhati-hati membujuk lelaki di depannya. Pada pertemuan sebelumnya, seminggu lalu, dia telah melakukannya, tapi ditolak mentah-mentah.
"Tidak perlu! Obat dari kamu saja sudah cukup."
"Obat yang saya berikan hanya mengurangi ketidaknyamanan Bapak. Bukan menyembuhkan. Kalau diagnosanya sudah tegak, obat yang...."
"Sstt," desis Purnomo kesal, "sakitku itu sakit tua. Pakai obat dari kamu saja sudah mendingan. Tidak perlu repot-repot ke spesialis segala, diambil darah, dan lain-lain. Aku minta resep seperti yang kemarin saja."
Aidan tak ingin memperpanjang debat mereka berdua, dan memilih menuliskan resep meskipun dengan berat hati. Hanya penghilang nyeri dan pengurang mual, tak akan menyembuhkan penyakit sesungguhnya, tapi cukup memberikan kenyamanan. Mungkin dia perlu bertemu dengan dosennya yang spesialis hepatologi untuk membahas kecurigaannya tentang penyakit Purnomo.
"Bagaimana seleksi beasiswamu? Kapan pengumuman?" Di luar sikap keras kepala Purnomo terkait pengobatan, lelaki di depannya adalah sosok yang perhatian. Sejak dua bulan lalu dia mendapatkan penugasan di panti jompo ini, mereka berdua telah mengobrol banyak. Aidan bahkan bercerita tentang keikutsertaan dalam seleksi beasiswa pada pria tua itu.
Lebih tepatnya, dia tak punya tempat untuk bercerita tentang kesuksesannya lolos di tahap pertama seleksi. Dia tidak punya tempat untuk berbagi bahagia. Sehingga ketika dia datang ke tempat ini dan bertemu Purnomo, dia bercerita tanpa diminta. Dengan cepat Purnomo menjadi sosok kakek atau mungkin ayah yang Aidan rindukan.
"Seharusnya minggu depan sudah ada pengumuman...."
Apa pun yang hendak Aidan katakan, semuanya terhenti ketika pintu ruang berkumpul panti jompo itu terbuka. Dari cahaya terang matahari yang langsung menyerang matanya, perlahan muncul sosok dengan gaun kuning cerah. Rambut bergelombang tergerai ditiup angin. Ujung gaun berayun seiring langkah. Wajah lembut bertulang hidung yang tinggi dengan kulit putih yang kemerahan. Napas Aidan tercerabut saat bibir kemerahan penuh itu tersenyum padanya.
Aidan menelan ludah. Mata hitam pekat itu membuat dunia di sekitarnya sunyi. Ini bukan pertama kalinya dia bertemu wanita cantik. Tapi pemilik kaki jenjang yang kini sedang melangkah ke arahnya ini....
Aidan ingin mengenalnya, mengetahui setiap rahasianya. Karena tatapan sayu yang terbingkai bulu mata lebat itu seperti menyimpan banyak cerita. Membuat Aidan ingin menghampiri dan membuatnya bahagia.
"Cantik?" suara di sisi Aidan bertanya, dan lelaki berkacamata itu hanya mengangguk. Belum bisa berbicara. "Aku mengenal ibunya, sama cantiknya." Suara di sampingnya berkata dengan nada main-main, "Mau tahu siapa ayahnya?"
"Iya," mulut Aidan menjawab, meski otaknya masih berhamburan.
"Aku!"
Sebuah tepukan di bahu membuat Aidan terlonjak. Seluruh sel otaknya langsung bersatu di kepala ketika melihat wajah tidak suka Purnomo.
"Anak...," Aidan tergagap, belum menyelesaikan kalimatnya, malaikat bergaun kuning dengan motif bunga matari yang baru keluar dari pintu penuh cahaya telah berada di sampingnya. Seluruh pori-pori di kakinya merapat, meremangkan sekujur tubuh. Lututnya yang tertutup celana jeans bergesekan dengan paha wanita itu yang juga tertutup gaun, ketika wanita itu melewati Aidan yang duduk untuk mendaratkan ciuman di kedua pipi Purnomo yang memandangnya dengan serius.
"Bapak sehat?" suara lembut wanita itu bagai nyanyian Siren--putri duyung dalam mitologi--di telinga Aidan. Nyanyian yang membuat para pelaut terlena, dan berjalan menuju kematiannya. Dan kematian bagi Aidan, karena tatapan Purnomo makin lama makin tajam.
Aidan kembali menelan ludah.
***
"Sehat. Kalau tidak percaya, kamu bisa bertanya ke Dokter Aidan." Dengan dagu, Purnomo menunjuk seseorang yang duduk di depannya. Tadi Eleanor tak sempat memperhatikan lelaki muda itu. Kini setelah melihatnya sendiri, lelaki berkacamata itu lebih muda dari bayangannya.
Dua bulan terakhir, nama Aidan mulai mengisi obrolan antara Ela dengan ayahnya. Seorang dokter yang ramah, sabar, enak diajak bicara, juga matang. Cara Purnomo menjelaskan sosok itu membuat Ela membayangkan seorang pria di pertengahan tiga puluh, dengan wajah kebapakan, dan cara berpakaian yang membosankan,
Namun, pria di depannya sangat berbeda. Celana jeans pudar membalut kaki jenjangnya. Kemeja biru gelap slim fit dengan lengan terlipat sebatas siku memamerkan otot-ototnya yang terbentuk dengan pas, tidak terlalu kurus, tidak terlalu berotot. Rambutnya sedikit berantakan, seperti melewatkan jadwal kunjungannya ke tukang cukur karena terlalu sibuk merawat pasien. Tidak ada jenggot mau pun kumis, memberi kesan bersih sekaligus profesional layaknya seorang dokter. Di balik bingkai kacamata yang hitam dan tebal, ujung-ujung luar matanya cenderung turun, menjadikan pandangannya terlihat lembut.
"Aidan?" Ela menjulurkan tangan, "Ela," lanjutnya sambil memperkenalkan diri. Wanita itu nyaris tersinggung ketika lelaki di hadapannya tampak ragu untuk membalas jabatan tangannya. Namun, ketika kedua telapak tangan mereka bertemu, ada aliran hangat yang bergerak lembut. Sensasi yang Ela rasakan sedikit berbeda dari yang biasa dia alami ketika bertemu dengan pria yang menarik perhatiannya. Jika biasanya, dia akan merasakan layaknya kembang api: spontan, panas, membumbung, berpijar, lalu hilang. Apa yang lelaki berkacamata ini beri seperti sapuan ombak di tengah hari yang hangat. Menggoda ujung-ujung kaki dengan perlahan dan konstan, hingga sebuah keputusan dibuat: masuk ke laut untuk menyelam atau kembali ke tanah kering sambil membawa pasir di antara jari kaki.
"Aidan," jawab si dokter setelah membersihkan tenggorokan.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya hari ini adalah ulang tahun Pak Haryanto? Kamu pergi di tengah pesta?" Purnomo memberondong Ela dengan pertanyaan. Ela juga maklum tentang perhatian ayahnya pada keluarga Sastranegara. Waktu berusia tujuh tahun, dia yang yatim piatu dan terlunta-lunta di jalanan, ditampung oleh Swastiko. Purnomo diberi tempat tinggal, mendapatkan makanan, memperoleh pendidikan--hal yang sangat mewah waktu itu--dari Swastiko yang mulai merintis usahanya di bidang perdagangan.
Ketika Haryanto lahir, dia menjadi sosok paman yang mengayomi dan melindungi, sambil meneruskan perannya sebagai tangan kanan Swastiko. Lebih dari tiga puluh tahun lalu ketika Swastiko meninggal, Purnomo berperan menjadi jangkar untuk menjaga keutuhan bahtera Sastranegara. Melatih Haryanto muda agar bisa pemimpin perusahaan, juga menemani Nenek Nyonya melewati masa duka.
Saat itulah Eleanor lahir dan mulai dicetak oleh ayahnya untuk menjadi bayangan keluarga Sastranegara. Lebih tepatnya, menjadi bayangan Damien.
"Saya ke sini karena kita sudah punya janji kencan," Eleanor mulai menjawab pertanyaan sang ayah sebelum pikiran tentang Damien memenuhi kepalanya. Dia duduk di lengan kursi malas dan merangkul pundak lelaki yang kini terasa makin kurus. "Yang kedua, tadi Pak Haryanto titip salam buat Bapak. Sekaligus titip pertanyaan, kapan bisa main golf lagi? Yang ketiga, saya tidak pergi di tengah pesta." Sang anak menjelaskan dengan sabar.
"Sekarang saya yang tanya, Bapak benar-benar sehat?" Ela memandang dalam ke wajah tua ayahnya. "Bapak kurusan." Kini pandangannya kembali ke Aidan. "Semuanya baik-baik saja?"
Belum sempat dokter itu menjawab, Purnomo sudah memotong, "Dulu waktu aku gemuk, kamu bilang aku harus hati-hati soal kolesterol. Sekarang berat badanku turun, kamu masih saja protes!"
Tatapan Ela berhenti sejenak pada Aidan. Ada sesuatu yang ingin pria itu katakan, tapi dia terlihat ragu karena keberadaan Purnomo. Mungkin mereka berdua perlu bicara nanti.
"Oke-oke." Ela mengalah, "Sekarang Bapak siap-siap, kita sudah punya kencan untuk nonton."
"Aku tiba-tiba malas nonton. Lagipula aku yakin, filmnya tidak ada akan sebagus bukunya." Purnomo mengibaskan tangannya di depan muka. "Kebanyakan begitu. Iya, kan, Aidan?" Lelaki tua itu memasukkan Aidan dalam obrolan, bukan hanya duduk kikuk di depan perdebatan ayah dan anak.
"Ehm...." si dokter terdengar ragu untuk bergabung dalam obrolan, "Buku apa?"
"Murder on Orient Express, Agatha Chistie," jawab Ela dan mata Aidan langsung berbinar.
"Sudah tayang di bioskop?" tanya lelaki itu bersemangat.
"Iya," Ela menjawab pendek sebelum kembali fokus ke ayahnya, "Ayolah! Bapak sudah janji, dan saya sudah beli tiket."
"Tidak, aku malas keluar hari ini. Kamu pergi saja sendiri, atau ajak Aidan." Mata tua itu mengarah pada Aidan, membuat dua orang anak muda itu diam, tak berani bersuara. "Kamu suka novel-novel Agatha, kan?" tanyanya pada Aidan, mengabaikan keberadaan putrinya. "Kalau begitu, temani anakku," lanjutnya yang terdengar seperti perintah.
Mulut Ela hampir terbuka untuk melayangkan protes, sebelum Purnomo kembali berkata, "Gantikan aku kencan dengan Ela."
Aidan terlihat menelan ludah, sementara Ela menggaruk pelipisnya. Apakah ayahnya tahu, apa makna kencan bagi Ela?
---
siap-siap menentukan pilihan, #teamdamien atau #teamaidan ?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top