Lapis 5 (bag. 1)

Eleanor memasuki dapur yang menjadi bagian rumah mewah itu, dan perasaan familiar kembali menyerbu. Kitchen set mahoni yang lebih tua dari usianya, tapi tetap terawat mengilat. Meja marmer yang berada di tengah, sangat berguna ketika ingin mendinginkan cokelat ataupun melindas adonan. Kompor empat tungku dengan penghisap asap di atasnya berada di satu sisi, bersebelahan dengan dua set oven dengan lebar 120 sentimeter.

Ketika kanak-kanak, dapur ini menjadi tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu. Awalnya dia hanya menyaksikan bagaimana bahan-bahan mentah bisa diolah menjadi makanan yang selalu menimbulkan senyum di wajah para penikmatnya. Semakin lama, dia dipercaya untuk ikut andil dalam prosesnya. Dan di dapur ini, dia menemukan mimpinya.

"Acara baru dimulai satu jam lagi. Sejak kapan kamu di sini?" tanya Damien yang sudah berdiri di dekat dapur yang luasnya sama seperti unit apartemen studio milik wanita itu.

"Aku baru sampai," Eleanor menjawab sambil mengenakan celemeknya dan mulai bergerak di sekitar dapur, membuka kulkas dan kitchen set yang menjadi tempat penyimpanan bahan.

"Tak ada mobilmu di depan dan aku tak melihatmu masuk." Ela melihat sekilas lelaki yang mulai menginterogasinya. Pakaian Damien masih sama dengan semalam, bahkan bekas lipatan akibat cengkeraman tangan Ela di sekitar kerah juga masih terlihat meski samar. Pria itu tak pulang semalam. Lamat-lamat Ela bisa mencium wewangian bunga dari tubuh atasannya, wangi yang semalam tak dia endus ketika....

Ela membuang pikirannya. Berada di tempat ini sekarang cukup menjadi pengingat tentang hubungan mereka berdua. Lagipula, sepertinya semalam Damien bersenang-senang dengan perempuan lain. Bukan hal baru, dan seharusnya tak mengusik ketenangannya.

"Aku tak suka menyetir di Sabtu-Minggu, dan aku masuk dari pintu samping," wanita itu menjelaskan sambil menata bahan pembuat kue di meja. Beberapa jenis tepung, gula, santan cair, dan bahan-bahan lainnya.

"Itu pintu untuk pelayan," geram Damien.

"Kebiasaan," tukas Ela pendek.

"Kita sudah membahas ini dulu...."

"Kalau kamu ingin berdebat, hentikan. Aku sibuk." Wanita itu mulai menimbang tepung. Dari tadi, dia menghindari tatapan Damien. Berusaha fokus pada pekerjaan di hadapannya. Berusaha tak terganggu pada kenyataan bahwa Damien bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Tak seperti dirinya yang semalam harus berendam dengan air dingin sebelum tidur. Mungkin dia harus mulai menghubungi beberapa sex partner-nya yang terdahulu. Namun, kesibukannya dengan proyek baru membuatnya urung.

"Apa yang kamu lakukan?" Damien melangkah hingga tepat di samping Ela dengan tangan bersedekap.

"Membuat kue talam," ujar Ela sambil melangkah menjauh, kembali mengambil tempat pengaduk adonan, padahal dia telah mempersiapkannya tadi. Dia butuh alasan untuk mengambil jarak dengan Tuan Muda rumah ini.

"Kamu diundang sebagai tamu, hentikan!" Damien menarik tangan Ela yang sedang menakar tepung, mengakibatkan bubuk putih itu terhambur, mengotori meja, celemek, celana Damien, hingga lantai. Tetapi lelaki itu tampak tak peduli.

"Bu Haryanto yang memintaku datang kemari, lebih tepatnya, beliau memintaku membantu menyiapkan kue ini," ucap Ela datar sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan yang membuatnya kehilangan konsentrasi. Saat Ela kembali tengadah, ada amarah di mata Damien.

"Aku tak mengizin...."

"Damien?" sebuah panggilan menghentikan Damien, "Ela?" suara itu menunjukkan wujudnya. Seorang wanita dengan gaun merah muda masuk ke dapur, rambut hitam sepundaknya digerai, di wajahnya terdapat riasan ringan, menjadikannya tampak seperti wanita di akhir tiga puluh padahal sebenarnya sudah hampir empat puluh.

"Bu Haryanto," jawab Ela kikuk dan akhirnya tangannya terbebas, tapi sengatan dari sentuhan mereka masih tinggal.

"Ada masalah?" tanya istri keenam Haryanto Sastranegara yang lebih cocok menjadi kakak sepupu Damien dibanding menjadi ibu tirinya. Wanita itu adalah wanita kedua yang berhasil mempertahankan pernikahannya hingga lebih dari empat tahun dengan ayah Damien, selain Annette Blanco. Kesamaan Annette dengan Indah adalah keduanya berhasil memiliki anak dalam pernikahan mereka.

"Mengapa menyuruhnya membantu di dapur?" tanya Damien dengan rahang yang tegang, pandangannya beralih dari Ela ke Indah.

"Kamu tahu sendiri Damien, tradisi ulang tahun ayahmu tak akan lengkap dengan kue talam," jawab Indah lembut memandang dua orang yang ada di depannya.

"Kue talam buatan Nenek. Tiga tahun lalu Beliau meninggal, jadi ini semua tak perlu lagi." Tangan Damien menyapu ke arah bahan-bahan yang telah Ela siapkan. Sementara itu Ela melangkah menjauh perlahan, tak ingin masuk dalam perdebatan para tuan rumah.

"Aku hanya ingin memberi hadiah yang lengkap untuk ayahmu," Indah masih berujar sabar pada anak tirinya, "di antara semua orang, talam Ela yang paling mendekati buatan mendiang Nenekmu, mungkin karena dialah yang selalu membantunya."

Damien masih hendak membantah sepertinya, tetapi terhenti ketika seorang bocah laki-laki tiga tahun masuk ke dalam dapur.

"Abang!" panggil Juna yang langsung memeluk kaki Damien dan bergelayut di ikat pinggang pria itu. Wajah tegang yang dari tadi Ela lihat langsung berubah, Damien tersenyum ramah sambil menggendong pria itu dalam dekapannya.

"Halo jagoan!" balas lelaki yang lebih pantas menjadi ayah dibanding dengan kakak si bocah.

"Robot Juna mana?" tanya bocah itu yang menjadi penanda berakhirnya perdebatan. Damien kembali menatap Indah, lalu Ela, menyatakan ketidaksetujuannya sebelum melangkah keluar dari dapur sambil mendengarkan celoteh Juna.

"Kalian bertengkar lagi?" tanya Bu Haryanto sambil mendekati bahan-bahan yang telah Ela siapkan.

"Lagi?" Ela balik bertanya, tangannya kembali bekerja. "Kami selalu bertengkar, jadi bukan hal baru."

"Maaf kalau kemarin aku memaksa. Kalau kamu keberatan, kamu tidak perlu melakukannya." Wanita itu mengambil tangan Ela, berbeda dengan Damien yang melakukannya dengan kasar, tangan Indah melingkupi tangan Ela. Untuk sesaat Ela merindukan ibunya.

"Saya sama sekali tak keberatan. Ini bukan hanya tradisi untuk Pak Haryanto, tapi juga tradisi untuk saya. Mengobati kangen saya ke Nenek Nyonya." Ela tersenyum mengingat wanita yang masih bisa mengolah berbagai makanan hingga usia delapan puluh tahun. Wanita yang mengajarinya berbagai macam resep dan mematrikan mimpi di kepalanya.

"Sayang sekali, aku tak punya bakat memasak. Sudah belajar berkali-kali, aku hanya membuat dapur berantakan." Indah tertawa kecil yang diikuti oleh Ela. Mereka hanya berbicara sebentar sebelum Indah pergi meninggalkan dapur untuk memeriksa halaman belakang yang menjadi tempat pesta.

Ela memandang tepung yang tadi berhambur di meja dan mengotori celemeknya, sebelum dia mengambil alat pembersih dan menyapunya. Bayangan dari masa lalu datang lebih dulu.

***

Pipi Ela telah sakit, perutnya masih juga terguncang, air mata yang bermuara di ujung matanya bertemu dengan tepung kanji yang menutupi wajah. Gadis lima belas tahun itu berusaha menghentikan tawanya tapi pemandangan di lantai dapur membuatnya semakin terpingkal.

Damien terbaring di sana, dengan seluruh tubuh tertutupi tepung. Namun, bukan itu yang membuatnya tertawa, melainkan baskom yang kini sedang menutupi kepala bocah lelaki itu. Saat baskom berwarna biru muda itu diangkat, beberapa kuning telur hinggap di rambut Damien. Tawa Ela semakin berderai.

Damien berusaha berdiri, meskipun kesal, lelaki yang baru mengalahkan tinggi Ela dua tahun itu juga tertawa, menertawakan diri sendiri. "Awas ya...," geram Damien sambil menyiapkan kuda-kuda, dan dengan tawa yang melengking Ela bersiap lari.

Sepuluh menit lalu Damien mendatangi dapur, mengganggu Ela yang sedang membantu neneknya menyiapkan hidangan untuk ulang tahun ayahnya yang ke-43. Saat sang nenek meninggalkan dapur untuk membersihkan diri dan bersiap menyambut tamu, Damien memulai serangan pertama dalam perang tepung--yang sudah menjadi ritual mereka berdua setiap tahun.

"Apa-apaan ini?" sebuah suara yang lebih tinggi dari tawa Ela menghentikan mereka berdua. Wanita muda yang belum lengkap tiga puluh tahun melotot marah pada dua remaja yang sedang berdiri berseberangan, terpisah oleh meja dapur. Rambutnya tergelung dengan hiasan mutiara, gaun brokat warna giok membungkus tubuhnya dengan pas, wajah ovalnya berhiasan berbagai kosmetik dengan pewarna bibir berwarna merah.

"Bu Haryanto," ujar Ela gugup, berusaha menunjukkan hormat dengan sedikit menundukkan kepala. Di antara semua tuan rumah kediaman megah ini, istri kedua Haryanto ini yang paling menuntut penghormatan dari orang-orang yang bekerja di sana.

"Damien, lihat penampilanmu!" pekik Bu Haryanto I melihat keadaan anak tirinya, sementara yang diperhatikan hanya mendengkus kesal. "Segera mandi! Kamu harus tampil nanti. Hani sudah menunggumu untuk latihan." Damien tetap diam di tempat, tangannya bersedekap. "Damien!" Lagi-lagi suara melengking.

Lelaki itu mulai bergerak, dengan kesal yang sangat jelas.

"Mandi air panas, agar bau amis telurnya hilang," bisik Ela sambil menahan tawa ketika Damien melewatinya untuk berjalan keluar dapur. Mata dua warna itu menatapnya curiga, tapi tetap berlalu. Cengiran Ela semakin lebar ketika melihat si tuan muda masuk kamar.

"Kamu!" bentak Bu Haryanto I yang ternyata masih berdiri di tempatnya. Ela menelan ludah. Wanita di depannya sudah beberapa kali memarahinya. Namun, melihat kerutan di dahi yang biasanya halus itu semakin dalam, Ela tahu dia dalam masalah. Ketuk hak sepatu terdengar ketika sang nyonya yang baru masuk rumah ini tujuh bulan mendekat. Gadis lima belas tahun itu meremas celemek yang digunakan. "Tahu diri! Kamu ini cuma anak pesuruh. Jangan sok akrab dengan majikanmu! Semua orang baik memang baik ke kamu, tapi jangan melonjak." Ujung jari yang terawat sempurna itu menunjuk wajah Ela yang sudah memerah. "Yang pantas bergaul dengan Damien itu cuma anak-anak terhormat. Jadi jauh-jauh dari Damien. Kamu bikin malu dia!"

Buku-buku jarinya semakin putih dan celemeknya semakin kusut, tapi Ela muda tetap menunduk. Majikan tak pernah salah, dia ingat apa yang dikatakan Bi Itan saat Ela hendak membantah Bu Haryanto I beberapa bulan lalu.

"Paham?" desis wanita itu dan Ela jawab dengan anggukan. Meskipun setelah itu sang nyonya segera pergi, Ela masih terpaku di tempatnya berdiri. Mengatur napas supaya tidak menangis, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

"ELEANOR!!!" Teriakan Damien membahana dari dalam kamar, disusul dengan pintunya yang terbuka. Damien hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya yang sudah basah. "Kamu sengaja ya?" Bocah lelaki itu menunjuk kepalanya yang penuh gumpalan kekuningan. Sepertinya dia menuruti 'saran' Ela untuk menyiram rambutnya yang penuh kuning telur dengan air panas. Saran yang sebenarnya adalah jebakan, karena kuning telur mentah akan langsung matang bila terkena air panas. Ela sengaja mengerjai Damien tadi. "Kubalas nanti!" ujar Damien lalu kembali menutup pintu kamar.

Biasanya Ela akan terkikik hebat ketika berhasil mengerjai Damien. Mereka sering melakukannya. Namun, saat ini Ela hanya bisa tersenyum lemah sambil menatap pintu yang tertutup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top