Lapis 4 (Bag. 1)


Ela sedikit bersyukur bahwa proyek Puspita hadir tepat setelah Victor kembali ke Jerman. Sehingga dia bisa memiliki fokus seratus persen untuk proyek tanpa khawatir ada seseorang yang akan menunggu kehadirannya. Selain itu, ketika seluruh pikirannya tercurah untuk pekerjaan, dia tak perlu terlalu pusing memikirkan hubungannya yang berakhir.

Victor bukan pria pertama yang mengundangnya ke tempat tidur, bukan pula pria kesekian yang tak cukup dihitung dengan jari. Hal ini karena sulit mencari pria yang bersedia untuk memenuhi syarat menjadi teman tidur Ela. Wanita itu tak mencari pria yang mencintainya, tapi pria yang bersedia untuk menahan diri dari wanita lain ketika berhubungan dengannya. Ela mengharapkan sebuah hubungan yang eksklusif. Dia tak ingin mengambil risiko dengan pria yang terlalu bebas. Dia terlalu mencintai dirinya sendiri untuk terpapar penyakit.

Di awal setiap hubungan, Ela selalu menyampaikan, hubungan mereka akan selesai jika salah satu dari mereka tertarik pada orang lain. Dia selalu bertekad hubungannya dengan para pria tanpa melibatkan hati dan emosi, meski di penghujung setiap relasi pasti meninggalkan ruang kosong yang sebelumnya terisi. Yang berbeda, dia tak perlu menghadapi drama patah hati.

Bahkan, beberapa di antara pria itu tetap bisa berteman dengannya. Seperti Victor yang selama tiga malam setelah sampai Jerman masih juga meneleponnya.

"Overtime?" tanya lelaki itu dengan aksen yang memanjakan telinga ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam.

"I'm heading home," jawab Ela meski baru melangkah keluar dari ruangannya. Dia tak ingin mendengar protes dari Victor seperti yang selama tiga bulan dilakukan jika Ela harus lembur di atas pukul sembilan malam. Ela tak pernah menanggapinya.

"Apa kamu sendirian?" tanya Victor dengan bahasa Inggris yang langsung Ela iyakan. "Apa yang sedang kamu pakai?" lanjutnya yang langsung dijawab dengan tawa. Sebagian besar lampu di kantornya telah padam, termasuk ruangan Damien. Sepertinya dia adalah penghuni terakhir lantai yang menjadi kantor Lit Advertising.

Ela baru menjawab setelah menekan tombol lift, "My boring office attire."

"Kubayangkan itu adalah rok pencil dengan belahan, blus longgar warna kulit, dan sepatu hak tinggimu. You're smooking hot in them" Victor mengerang, dan Ela mulai merindukan saat-saat pria itu memuja tubuhnya.

"Lalu yang kupakai di baliknya, apa imajinasimu?" Ela berkata dengan suara lembut dan serak, berharap terdengar seksi.

"Mau memberiku petunjuk?"

"Tak ada petunjuk, karena tak ada apa pun," bisik wanita itu menghasilkan geraman di ujung telepon.

"Touch yourself for me, I miss your throaty voice while I touched you." Suara Victor mulai serak. Biasanya kuduk Ela akan meremang ketika dia melakukannya, tapi kali ini tidak. Mungkin karena jarak, atau kelelahan.

Wanita itu menghela napas, menghentikan permainan mereka. "Aku terlalu lelah, bahkan untuk sekedar menyentuh diriku sendiri." Layar menunjukkan jika lift telah sampai lantai tujuh belas. Di antara sekian banyak pria, Victor salah satu yang paling Ela sukai, dan cukup membahayakan perasaannya. Hatinya sedikit berat, tapi jika tidak dihentikan sekarang, maka akan semakin berat.

***

"Victor," wanita yang berdiri di depan lift itu berkata lembut.

Damien sudah berniat pulang dari setengah jam lalu, tapi melihat lampu ruangan Eleanor menyala, dia membatalkan niat dan memilih duduk di bilik pegawai terdekat dari lift.

Ketika dia tak memiliki agenda apa pun di malam hari, sang CEO memilih memperpanjang jam kerja, menyertai para pegawai yang lembur. Dia bukan pimpinan yang akan bersantai ketika anak buahnya bekerja keras.

"Go and find another girl." Sepertinya Eleanor tak menyadari keberadaan Damien yang tersembunyi. Wanita itu membicarakan urusan kamar dengan suara keras. Meskipun berusaha mengabaikan tapi cukup mengganggu kewarasan.

Ponsel di tangannya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Monica, salah satu teman kencannya, mengiyakan pinta yang Damien sampaikan ketika dia mendengar suara menggoda Eleanor yang mengalihkan aliran darah menuju bawah tubuhnya. Dia butuh pelampiasan.

"Bye." Eleanor mengakhiri panggilan bersamaan dengan denting lift.

Damien menyambar tasnya dan berjalan cepat menuju pintu logam yang perlahan terbuka. Kehadirannya yang dirasa terlalu tiba-tiba oleh Eleanor membuat wanita itu terkinjat dan melompat masuk ke dalam lift. Mata dengan bingkai bulu mata yang lentik dan lebat itu melebar. Wajah yang sedari tadi tak sempat Damien lihat tampak pucat. Kedua tangannya bersatu di dada, tubuhnya mengerut bersamaan dengan napas yang cepat dan kasar.

"Demi Tuhan...," Eleanor hanya mampu berbisik sambil menatap Damien yang menyusulnya masuk ke dalam lift. Tubuh semampai yang kini dibalut rok di atas lutut dan atasan tanpa lengan itu bersandar di dinding logam.

"Kamu masih takut hantu?" Damien berusaha menahan tawa, tapi decak dan senyum kecil berhasil terlepas. Dia tak ingin menertawakan Eleanor, tapi ketakutan konyol yang belum hilang ketika wanita itu telah dewasa terlalu kekanakan.

Sampai pintu lift tertutup Eleanor masih mengatur napas, sementara Damien hanya bersandar di dinding yang berseberangan. Tak ada satu pun dari mereka yang bergerak untuk menekan tombol penunjuk ke mana mereka hendak pergi.

"Tak ada hantu, tenanglah!" Tangan Damien terangkat dan membelai kepala Eleanor. Tak ada lagi rambut kusut karena terlalu asyik berlarian di halaman belakang yang luas. Tak ada lagi lecet di siku dan lutut akibat terguling di atas rumput setelah Damien menakuti Eleanor kecil dengan berpura-pura menjadi hantu.

Napas Eleanor mulai teratur, tapi kemudian mereka berdua mematung. Menyadari apa yang mereka lakukan. Damien menarik kembali tangannya dan memasukkan ke saku. Berharap tangannya tahu sopan santun. Eleanor sendiri butuh waktu beberapa detik untuk kembali pada gestur angkuhnya.

"Sekarang aku lebih khawatir pada makhluk kasar dibanding makhluk halus," ujarnya sinis sembari menekan tombol lift, matanya tak lepas monitor petunjuk angka.

"Lift ini tidak akan bergerak lebih cepat meski kamu memelototi layar," sindir Damien yang sedang membuka ponsel karena sebuah pesan masuk. Dari Indah Herawati, istri terbaru ayahnya, yang lebih cocok menjadi kakak Damien daripada ibu tirinya. "Ayah mengundangmu ke pesta ulang tahunnya besok." Ia menyampaikan pesan yang baru saja dibacanya pada Eleanor.

"Bu Haryanto sudah chat aku tadi siang, minta aku untuk datang."

Damien berdecak sebelum berkata, "Bu Haryanto? Kamu memanggil yang sebelum ini juga 'Bu Haryanto', terlalu malas menghapal nama mereka?"

"Mungkin."

"Bagaimana kamu membedakan mereka?"

"Bu Haryanto satu sampai lima," Eleanor mengulum senyum, "jangan beritahu mereka atau ayahmu."

"Hanya sampai lima? Kamu melupakan satu orang," timpal Damien, mengingat para wanita yang pernah menikah dengan Haryanto. Ada enam orang.

"Aku hanya memanggil 'Bu Haryanto' ke lima orang," jawab Eleanor yang menatapnya sayu. Damien berharap ekspresi itu hanya karena si wanita kelelahan, bukan yang lain. Namun, harapan itu tak terkabul. "Aku tak pernah memanggil Mama dengan sebutan itu," wanita itu berkata lembut, membuat Damien jengah.

Eleanor memiliki tiga sikap dasar ketika berhadapan dengan Damien. Jika berhubungan tentang Lit Advertising, wanita itu akan bersikap dan berbicara dengan profesional. Ketika Damien mengusik kehidupan pribadinya, seperti yang sedang terjadi akhir-akhir ini, maka dia akan mendapatkan sinisme yang kental. Namun, jika berhubungan dengan keluarganya, wanita itu seperti kelebihan empati. Hingga membuat Damien merasa sedang dikasihani.

"Mama sedang...."

"Aku tak ingin mendengar apa pun tentang dia," potong Damien cepat. Dia ingin menulikan telinga atau pun melangkah pergi dari sisi wanita itu sekarang, tapi dia terjebak untuk beberapa menit ke depan.

"Bisakah sekali saja mendengarkanku?"

'Mama' yang Eleanor maksud adalah istri pertama Haryanto Sastranegara sekaligus ibu kandung Damien. Eleanor telah mengenalnya sejak lahir, bahkan nama 'Eleanor' adalah pemberian dari ibu Damien. Ketika hubungan ibu dan anak itu meregang, ibunya menggunakan Eleanor untuk mengetahui kabar Damien.

"Untuk urusan ini, tidak," jawab si lelaki tegas, kini giliran dia yang memelototi monitor penunjuk angka lantai, masih tiga lantai lagi.

"Damien!" seru Eleanor tak sabar, "Ibumu...."

"Diam." Pandangan Damien menghunus, mengancam. Untuk sejenak Eleanor terlihat terkejut. "Atau aku terpaksa menutup mulutmu!" Pandangannya turun ke bibir penuh tak tertutupi oleh lipstik. Sekarang dia ingin membungkam bibir itu, tak peduli apa yang akan pemiliknya bicarakan.

Damien benar-benar membenci mata birunya. Pertama, karena itu mengingatkannya pada Annette Blanco, ibunya yang tak ingin dia bicarakan. Kedua, karena iris berwarna terang itu memudahkan orang untuk mengetahui perubahan emosi yang berhubungan dengan pupil mata. Seperti saat ini, Eleanor membersihkan tenggorokan karena merasakan perubahan suasana bersamaan dengan mata Damien yang menggelap.

Mereka tak bicara lagi hingga pintu lift terbuka di rubanah yang berfungsi sebagai lahan parkir gedung. Ketukan hak sepatu Eleanor menggaung di tempat yang mulai sepi. Hanya tersisa belasan mobil di sana, tanpa ada orang lain. Damien memfokuskan pikiran pada rencana pertemuannya dengan Monica, berusaha mengabaikan keberadaan Eleanor yang semakin mengganggu ketenangannya. Sayangnya mobil mereka berdua bersebelahan.

"Damien," panggil Eleanor penuh simpati, membuat Damien makin tak suka. Mereka telah sampai di mobil masing-masing. "Cobalah bicara dengan Mama, mungkin dengan begitu perasaanmu akan lebih baik."

Damien menghentikan gerakan tangannya yang sedang meraih kunci mobil di saku. Sejenak menarik napas sebelum berbalik dan melangkah cepat ke arah Eleanor.

"Kamu ingin tahu apa yang akan membuat perasaanku lebih baik?" Damien menarik lengan Eleanor yang hendak membuka pintu mobil, membuat mereka berdua kembali berhadapan. Tatapan mereka terkunci setelah keterkejutan Eleanor reda.

Damien tak yakin mana yang lebih dulu terjadi, apakah dia yang menunduk lebih dulu bersamaan dengan tangannya yang meraih pinggul Eleanor. Ataukah wanita itu yang berjinjit saat tangan lembutnya merengkuh leher Damien. Yang pasti, bibir mereka bertemu. Dan Damien yakin, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, tak akan membuat perasaannya lebih baik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top