Lapis 20 (bag. 3)

A/n: akan sangat amat lambat update, dan jangan tanyakan tentang part yang lompat-lompat, belum saya tentukan apakah akan dihilangkan secara permanen atau nanti akan muncul tiba-tiba.

—-
Aliran udara hangat menggoda pipi Eleanor. Semuanya telah gelap, wanita itu mengerjap, memastikan bahwa dia sudah membuka mata. Cahaya dari gedung sebelah dan langit yang masih menyisakan merah membantunya menyadari dia masih di ruangannya. Kepalan pening, tenggorokan kering.

"Damien?" bisikan itu mampu membangunkan pria yang tidur di hadapannya. Saat kepala berambut kecokelatan itu mulai tegak, baru Ela sadari, bahwa dia berbantal lengan yang berlapis lipatan blazer si lelaki. Dulu Damien sering melakukannya, memberi bantal pada Ela yang tertidur tidak pada tempatnya. Dulu, sebelum kesalahan mereka waktu itu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Wanita itu mencoba duduk, bersandar pada punggung sofa di ruang kerjanya.

"Bukan apa-apa." Damien menggosok mukanya dengan telapak tangan kanan, mencoba memperoleh kesadarannya secara penuh.

"Berapa lama kamu di sini?" Ela mengganti pertanyaan, melihat jam tangan di pergelangan sendiri. Hampir jam tujuh malam.

Mengapa Risa tidak membangunkannya tadi jam lima?

"Belum terlalu lama."

Ela ingin mempercayai itu. Lebih mudah bagi hatinya jika dia bisa percaya Damien baru sebentar di ruangannya dan memberikan lengan sebagai bantal Ela. Sayangnya, tidak. Ela tidak bisa percaya bahwa Damien tidak peduli.

Lelaki itu masih peduli. Damn it.

Dalam gelap Ela masih bisa melihat Damien berusaha melemaskan lengan kirinya tanpa terlalu kentara. Jari-jari yang terbuka dan tertutup, lengan yang dicoba diluruskan. Damien berusaha mengembalikan aliran darah di tangan kirinya.

"Berapa lama kamu di sini?" Kali ini Ela mengambil tangan Damien. Dingin.

"Aku tidak perlu menjelaskan apa pun. Kamu yang berhutang penjelasan padaku." Lelaki itu menarik tangannya lalu berdiri. Sedari tadi Damien duduk di lantai dengan kepala dan separuh tubuh di sofa, memberi kenyaman untuk Ela. "Yang ingin kamu lupakan tadi pagi...," lelaki itu berujar dingin, "... soal Pak Purnomo'kan?"

Di sekitar mereka gelap, Ela tidak bisa melihat ekspresi atasannya, tapi dia tahu, mata dua warna itu sedang menatapnya tajam.

"Kamu sudah tahu." Seharusnya Ela tahu, Damien akan segera mendengar kabar itu. Tapi tadi pagi, Ela benar-benar butuh jeda itu. Dia butuh pengalih perhatian sejenak dari sakit Purnomo dan kenyataan bahwa ayahnya tidak mau menjalani prosedur penyembuhan. Jika dua hari ini ayahnya begitu egois tidak memedulikan kecemasan Ela, apakah salah jika untuk beberapa menit saja, wanita itu memikirkan kesenangannya sendiri. Dan dia pun butuh oksitosin yang memenuhi darahnya setelah orgasme untuk membuatnya lebih tenang dan rileks.

"Kamu tidak mau menjelaskan apa pun padaku," tuduh Damien ketika Ela mulai berdiri, melewatinya untuk menuju meja kerja.

"Tidak ada penjelasan karena aku pun sama butanya sepertimu!" Wanita itu berteriak, tangannya tergenggam rapat. "Bapak tidak mau diperiksa, susah minum obat ...." Eleanor menyemburkan semua bebannya selama dua hari di hadapan Damien yang hanya diam.

"Sudah?" tanya lelaki itu lembut, tapi berhasil membuat Ela jengah. Dia tidak seharusnya melampiaskannya pada Damien. Sejak tadi pagi, lelaki itu menjadi samsak emosinya.

"Aku harus ke rumah sakit."

"Aku antar."

"Aku bisa sendiri."

"Dua malam ini kamu tidak tidur, kan?" Pertanyaan Damien mengundang tatapan heran dari Ela, bagaimana dia bisa tahu? "Dulu, ketika Nenek di rumah sakit, kamu juga tidak tidur." Damien mengambil tas Ela. "Dan tidur dua setengah jam tidak menjamin kamu tidak akan tertidur ketika menyetir."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top