Lapis 2
A/N:Di cover dan blurb tertulis 18+, tapi mengapa masih belum centang 'mature content'? Karena, sampai saat ini, belum ada bagian tulisan ini yang mengharuskan saya untuk centang 'mature content' berdasarkan 'content guidelines' dari Wattpad. Kalau suatu saat nanti, berdasarkan 'content guidelines', materi saya harus ditandai 'mature content', maka akan saya centang.
----
Sebuah tangan mencegah pintu lift untuk tertutup dengan sempurna. Ketika sepasang pintu alumunium itu kembali terbuka, sosok setinggi lebih dari 180 sentimeter melangkahkan kaki bersepatu cokelat suede ke dalam kotak logam. Ela yang sebelumnya adalah satu-satu penumpang, sama sekali tak menutupi rasa tidak sukanya ketika melihat siapa teman seperjalanannya dari lobi menuju lantai dua puluh. Dengkus dan ekspresi malas milik Ela menyambut lelaki yang kini berdiri di sampingnya.
"Ke mana kamu semalam?" tanya suara bariton sehalus beludu itu mengisi ruang sempit antara mereka berdua.
"Saya tak perlu melaporkan apa yang saya lakukan di luar jam kerja kepada Anda," jawab Ela dengan suara yang bertaburan pemanis buatan.
"Kamu melewatkan rapat dengan satu klien penting." Damien, pria yang memegang jabatan tertinggi di Lit Advertising itu berbicara dengan tenang ketika lift mulai bergerak membawa mereka ke lantai atas.
"Saya sudah memastikan agenda saya clear sebelum meninggalkan kantor." Ela membela diri. Dia biasa meninggalkan kantor, paling cepat, pukul tujuh malam, meskipun jam kerja resminya berakhir pukul lima sore. Kemarin dia pergi dari kantor ketika Victor menjemputnya untuk merayakan perpisahan mereka pukul enam sore. Seharusnya tak ada yang dia lewatkan.
"Kamu tahu apa gunanya kantor memberikan ponsel dan tunjangan komunikasi?" Untuk pertama kalinya sepasang mata eksotis itu menatap mata Ela. Sepasang mata yang selalu membuat bingung lawan bicaranya harus fokus ke arah mana. Iris mata kanan Damien berwarna biru kelabu, seperti warna air laut yang tenang tapi memberi peringatan akan badai yang siap menerjang, yang diwarisi dari ibunya. Sedangkan iris kirinya berwarna cokelat gelap, warisan dari sang ayah.
"Kutebak, kamu belum juga menyalakan ponselmu." Kali ini Ela tak bisa membantah lagi, dia sengaja mematikan ponsel begitu meninggalkan gedung kantor. Tak ingin kebersamaan terakhirnya dengan si Pria Jerman terganggu. Meski pun kesal, Eleanor hanya bisa diam. Namun, gengsinya yang besar membuatnya enggan untuk meminta maaf atau pun membenarkan ucapan Damien.
"Apa argumenmu kali ini?" tantang Damien yang kini menghadap langsung pada wajah Ela.
Embusan napas panas di ubun-ubun membuat wanita itu jengah. Sebelum dia berubah menjadi sebagian besar wanita yang akan meleleh di bawah tatapan mata heterochromia milih Damien, Ela mengalihkan pandangan sejenak, mengambil napas, memastikan semua kewarasannya terkumpul, sebelum membalas menatap.
"Kenapa? Seseorang mengambil lidahmu?" Pandangan Damien turun di bibir bersaput pewarna lawan bicara. Dan tanpa menyentuh, ada denyut yang Ela rasa di ujung bibir yang tersambung langsung dengan jantung dan seluruh titik sensitifnya.
Entah karena ingin menantang, atau karena rasa panas yang muncul di permukaan, lidah Ela menyapu bibir. Napas yang sedari tadi bertiup di ubun-ubunnya kehilangan irama, iris biru kelabu itu menyempit bersamaan dengan pupil yang melebar. Ceruk senyum tertahan di ujung bibir si wanita.
"Aku masih memiliki lidahku. Dan aku akan memakainya sesukaku," ujar Ela culas. Dia tahu, di ruangan itu, bukan hanya dia yang sedang berusaha mengendalikan denyut jantung.
"Ck...," hanya suara itu yang terlepas dari mulut berbingkai bibir tipis milik Damien, sebelum pandangannya semakin turun dan berhenti lama di dada Ela. Namun, kini tatapannya berbeda, ada bahaya yang menyala.
"Kancingkan blusmu sampai atas!" perintah Damien sambil melangkah mundur dan kembali menghadap pintu lift, rahangnya ketat.
"Saya tidak melanggar aturan berpakaian, jadi Anda tidak berhak mengatur lebih jauh bagaimana saya berpakaian!" Ela defensif.
"Aku memang tidak berhak mengatur kegiatanmu di luar jam kerja atau pun cara berpakaianmu. Tapi jika kamu memamerkan apa yang kamu lakukan di luar dengan caramu berpakaian, dan menimbulkan gosip di antara karyawan sehingga kinerja mereka menurun, aku punya hak untuk mengingatkan," ujar Damien panjang.
Sebelum Ela memproses apa yang dimaksud, denting terdengar, pintu lift perlahan terbuka, Damien melangkah keluar.
Ela tak segera menyusul, tapi dia menunduk dan mencari apa yang salah dari caranya berpakaian. Dua kancing teratas blusnya memang terbuka, tapi sama sekali tak memperlihatkan bagian tubuhnya dengan tak sopan. Tapi ketika matanya menyusuri rantai kalungnya, tepat di belakang untaian berlian, kulitnya memerah pekat.
Kiss mark.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top