Lapis 18 (bag. 2)

Tidak ada perkembangan berarti dalam pengobatan Purnomo. Itu yang disampaikan Wawan ketika Aidan menemuinya. Sehari sebelumnya, Aidan menemani Ela menunggu sang ayah. Memastikan wanita itu tetap memberikan hak kepada tubuhnya untuk beristirahat. Sayang, Eleanor terlalu keras kepala.

Subuh tadi, Ela menelepon dia--yang diusir dari ruang rawat pukul sepuluh malam--untuk menjenguk Purnomo pagi ini. Seperti dugaan mereka berdua, Purnomo memaksa Ela untuk bekerja di hari Senin. Senior Account Executive itu sudah bercerita tentang pengabdian ayahnya pada pekerjaan, dan berharap sang anak meneruskannya.

Saat Aidan masuk ke ruang rawat, seorang suster sedang membuka semua tirai yang ada di kamar. Sinar matahari yang masih hangat menjadi penerang ruangan. Awalnya wajah Purnomo berbinar, tetapi langsung hilang ketika suster tersebut pamit kepada Aidan dengan menyebutnya "Dokter Aswin".

"Kejutan apa lagi yang ingin kamu berikan? Aswin?" Kalimat itu dilanjut sebuah guman serak.

"Aswin." Aidan mengulang kata itu, kata yang jarang disebut ketika mengenalkan diri, kecuali pada momen tertentu. "Apakah itu akan membuat saya berbeda?"

"Apa Ela sudah tahu tentang ini?"

"Pada pertemuan kedua." Aidan menarik bangku hingga ke samping ranjang lalu duduk.

"Sabtu lalu, ketika sampai aku sampai di sini?" Pria tua itu menekan salah satu tombol pengaturan ranjang, membuat bagian atas matras terangkat sehingga dia berada pada posisi duduk.

"Sebelum itu, kamu sempat bertemu pertengahan minggu lalu." Bibir Aidan merasakan rindu.

"Seberapa jauh hubungan kalian? " ucapan Purnomo membuat Aidan tidak bisa mengelak, tapi dia memang tidak ingin mengelak. "Kalau kamu menganggapku sebagai pasienmu, kamu tidak akan menemani Ela dua hari ini."

"Pak Purnomo bukan sekedar pasien untuk saya." Tangan Aidan menyentuh pundak si pria tua yang hari ini masih sama pucatnya dengan kemarin. Purnomo masih menolak tes lanjutan, menyulitkan tim medis untuk memberikan pengobatan yang lebih baik.

"Aku tahu bukan hanya itu alasanmu. Perutku sakit, tapi mataku tidak buta." Mata yang telah menguning itu menatap Aidan tajam, meminta kejujuran. Aidan menelan ludah, dia belum pernah membicarakan apa yang telah berada di ujung lidahnya.

"Salah satu penyesalan terbesar saya," Aidan akan berbicara sebagai seorang dokter yang sedang memberikan saran kepada pasiennya. Di dalam kepalanya, terbayang dia sedang duduk di meja dinasnya di ruang periksa puskesmas. Lebih mudah menyampaikan semua ini sebagai seorang profesional daripada pribadi. "Saya tidak sempat mendampingi ibu saya di hari-hari terakhir kehidupannya."

"Waktu itu kamu sedang di Sulawesi kan? Kamu pernah cerita."

"Iya, waktu saya internship di Palopo. Ibu yang menyarankan pemilihan kota itu. Dan saya juga yang menurut untuk fokus di sana. Saya percaya Ibu baik-baik saja ketika kami berbicara di telepon." Aidan menarik napas, menarik batas mana yang harus dia ceritakan, mana yang tidak akan membawa perubahan.

"Tapi kepulangan saya hanya untuk berpamitan." Lelaki muda itu mencoba tersenyum pada sosok yang telah dianggap sebagai ayah di depannya; berusaha menutup gerbang memori yang menampakkan ibunya berbaring di ranjang rumah sakit. "Saya tahu, alasan Ibu. Beliau tidak ingin fokus saya terganggu, tidak ingin saya khawatir, tidak ingin merepotkan, tidak ingin membuat saya kesulitan." Aidan membersihkan tenggorokan, ingin menghilangkan perasaan tidak nyaman yang mulai mencekik jalan napas. "Mungkin itu juga alasan Pak Purnomo merahasiakan semua ini kepada Ela."

"Aku telah meletakkan banyak beban untuk langkahnya."

"Apa Ela terlihat terbebani dengan merawat Bapak?" Aidan bertanya retoris. "Dia akan lebih terbebani jika tidak tahu kondisi ayahnya sendiri dan tidak diberi kesempatan untuk mengabdi."

Purnomo mengambil napas panjang, Aidan yakin, lelaki tua itu sudah tahu semua hal yang dia katakan. Namun, terkadang, dibutuhkan orang lain untuk mengatakannya.

"Kuharap Ela punya seseorang sepertimu untuk menjaganya." Restu yang tidak langsung diucapkan menambah beban di pundak Aidan. Pasiennya seperti sudah bisa merasakan apa yang akan terjadi.

"Jika Pak Purnomo benar-benar mengkhawatirkan keadaan Ela, Bapak harus sembuh, jadi bisa menjaganya sendiri." Aidan masih keras kepala, jam dinding mengingatkan jadwal kerjanya.

"Aku benar-benar meletakkan terlalu banyak beban ke Ela, Dan." Suara tua itu terdengar jauh. "Aku ingin dia bisa segera bebas dari utang budiku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top