Lapis 18 (Bag. 1)
a/n: kalian bertanya di mana Damien? Dia akan datang di saat tepat, bikin kalian gemez maksimal.
Menurut kalian ada apa dengan Aidan di part ini? Siapkah kalian dengan lapis-lapis yang dokter seksi ini simpan?
***
Langkah Aidan terhenti setelah menutup pintu kamar rawat Purnomo. Mata cokelatnya menyapu taman yang dikelilingi oleh paviliun rawat inap di salah satu sudut Aswin Hospital. Semua aktivitas terkesan lambat, para penjenguk maupun petugas kesehatan berseragam lalu lalang tanpa terburu-buru. Ranting bugenvil jingga terayun bersama angin malam.
Kaki lelaki itu membawanya ke tengah taman yang remang, menuju salah satu bangku yang diduduki Ela. Perempuan itu memeluk dirinya sendiri, tertunduk, wajah tertutupi oleh rambut. Aidan telah memberinya waktu untuk menenangkan diri sebelum menyusul.
"Maaf, seharusnya aku tidak menangis." Suara parau menyambutnya ketika dia duduk di bangku semen yang mulai dingin. Ada rasa kesal yang tersulut ketika mendengar kalimat itu.
"Kamu tidak salah. Menangis bukan hal yang salah." Tangan kanannya merengkuh bahu, menarik tubuh Ela. Berharap wanita keras kepala itu tahu, ada tempat bersandar untuknya. Aidan ingin dipercaya. Bukan 'ingin', Aidan membutuhkannya.
Ela tidak menjauhkan diri, tapi wanita itu juga tidak membuka diri. Bersandar diam dalam rengkuhan Aidan yang tidak ingin melepaskan. Setulus apa pun tindakan Aidan, dirinya sendiri tahu, ini hanyalah manifestasi keegoisan. Yang dia lakukan saat ini bukan hanya untuk Ela, tapi juga untuk dirinya sendiri.
Sehingga ketika Ela mulai rileks dalam pelukannya, ketika Ela mulai melepaskan bebannya dan memberikannya pada Aidan, ketika isak Ela kembali terdengar dan air mata menembus kemeja yang Aidan kenakan, sang Dokter tahu, luka lama yang selalu dia abaikan kini meminta perhatian. Dia ingin mengobatinya, berharap bisa mengobati diri sendiri sekaligus mencegah Ela mengalami luka yang sama.
Angin malam yang menegak kuduk mengingatkan Aidan bahwa mereka telah duduk terlalu lama. Isak telah reda, lembap air mata di kemeja perlahan pudar.
"Terima kasih." Suara wanita itu lebih parau. Wajah Ela makin kuyu, matanya sembab dan merah, bibirnya--meskipun masih meneror kewarasan--makin pucat.
"Tidak perlu." Ucapan Aidan bukan basa-basi. Jika bukan ketulusan yang mendasari tindakannya, Aidan merasa tidak pantas mendapatkan terima kasih. "Segera masuk, sudah mulai dingin." Meski pelukan mereka terlepas ketika berdiri, jari-jari mereka saling mencari. Namun, sebelum langkah Aidan terbentuk, bayangan di sudut koridor menghentikannya.
"Masuklah dulu." Kepala Ela terangkat, memandang bingung atas ucapan Aidan. Wanita itu terlihat bingung dan ragu, menjadikannya begitu lugu. "Ada seseorang yang harus kutemui, nanti aku menyusul."
Ela tidak berkata apa pun, mulai melangkah. Saat Ela telah keluar dari taman, wanita itu menoleh, seperti meyakinkan diri bahwa Aidan tidak pergi. Pria berkacamata itu tersenyum, dia akan menepati janji.
***
"Kamu tidak bisa praktek di sini." Suara menyebalkan Adam terdengar dari punggung Aidan setelah Ela masuk kembali ke ruang rawat ayahnya.
"Aku kemari bukan untuk menjadi dokter ...," sanggahnya saat berbalik dan berhadapan dengan kakak yang delapan tahun lebih tua darinya.
"Lalu apa? Menjadi teman? Keluarga? Atau kekasih?" potong Adam cepat. "Jangan bilang ini bukan urusanku. Karena ini adalah urusanku."
"Bagaimana Abang tahu aku di sini?" Aidan bertanya retoris, dia sudah tahu jawabannya.
"Mungkin kamu lupa, kalau tembok pun punya telinga." Adam menjatuhkan diri di kursi yang baru saja Aidan duduki. "Dan ngomong-ngomong soal telinga, selamat atas beasiswamu...," Sang adik menanti kalimat yang akan diucapkan selanjutnya, Aidan paham sinisme kakaknya, "Selamat! Sudah membuat Ayah marah."
"Bukankah itu memang sudah jadi bagianku? Aku yang membuat Ayah marah, Abang yang membuat dia bangga?" Aidan tertular sinisme.
"Temui Ayah sebelum kamu berangkat," kali ini Adam berucap lembut, lelaki 36 tahun itu selalu peduli dengan kesejahteraan ayah mereka.
"Akan kuusahakan."
"Prioritaskan!" perintah kakaknya, "jika kamu sempat menemani Ela di sini, seharusnya kamu sempat bertemu Ayah beberapa jam."
Aidan tidak membantah, semua yang dikatakan Adam benar. Namun, marah yang masih dia simpan pada ayahnya menahan setiap langkah yang dapat mendekatkan mereka. Dia juga marah pada Adam, pada sifat kakaknya yang sangat menuruti perintah orang tua, sehingga mengkhianati adiknya sendiri.
"Apa kamu serius dengan Ela?" tanya Adam memecah sunyi.
"Apa Abang pernah melihatku tidak serius?" Aidan balik bertanya.
"Kamu yakin dengannya?" Si adik melipat tangan di dada, defensif, tetapi tatapannya tetap menantang. "Dia bukan perempuan untukmu. Dia bukan wanita...."
"Bukan wanita baik-baik?" potong Aidan cepat, kesabarannya terusik.
"Aku tidak akan bilang Ela bukan wanita baik-baik. Let's be fair, dia punya sisi baik. Dia temanku." Adam kembali berdiri, menepuk pundak Aidan yang tegang. Lelaki berkacamata itu menghela napas, dia tidak ingin beradu argumen dengan siapa pun malam ini, ada seseorang yang harus menjadi fokusnya. Orang yang sama yang menjadi pembicaraannya saat ini.
"Aku tahu bagaimana sikapmu kepada para wanita, Nala." Ketika Nala disebut, Aidan tahu, Adam sedang menunjukkan bahwa Adam adalah kakak yang berhak memberi nasehat dan Aidan wajib mendengarkan. "Sedangkan Ela, dia jauh dari kata lugu."
Lugu, bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan Eleanor Wijaya, Aidan setuju. Namun, mengapa Aidan selalu melihat itu? Berulang kali.
"Bagaimana kalau aku bilang, aku melihat apa yang tidak semua orang lihat dari Ela?" tanya Aidan mantap, seketika cara pandang Adam kepadanya berubah. "Bukankah itu juga yang Abang katakan ketika melamar Loretta?"
"Kamu menggunakan kata-kataku sendiri untuk menyerangku, Nala. Well done!" Tepukan Adam ke pundak adiknya semakin berat. "Kurasa, apa pun yang akan kukatakan, tidak akan mengubah keputusanmu." Direktur Aswin Hospital itu mundur satu langkah, bersiap mengakhiri pertemuan mereka.
Namun, langkah pria itu terhenti, seperti baru mengingat sesuatu. Pandangan santai yang tadi sempat muncul beberapa detik kembali hilang.
"Meskipun kamu adikku, dan aku tidak ingin kamu kecewa dengan hubunganmu, tapi Ela juga temanku. Aku tidak ingin dia terluka, terutama oleh adikku sendiri." Kalimat Adam berhasil membuat jantung Aidan berdetak lebih cepat, perasaan was-was mulai merasuk. Was-was, karena ini adalah kali pertama dia diingatkan, bahwa dia juga bisa melukai Ela.
"Jangan jadikan semua ini hanya sebagai penawar lukamu, Nala."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top